Bolehkah mengkritik penguasa di depan umum? Apakah tidak termasuk ghibah yang dilarang Islam? (Adiyat, Bima NTB)
Jawab :
Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua; Pertama, dalil-dalil mutlak mengenai kritik kepada penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.
Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misal sabda Nabi SAW :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ، كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).
Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah : al ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 60).
Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para Khalifah secara terbuka. Diriwayatkan dari ‘Ikrimah RA, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas RA, maka berkatalah Ibnu Abbas RA :
لو كنت أنا لم أحرقهم، لنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تعذِّبوا بعذاب الله. ولقتلتهم، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: من بدَّل دينه فاقتلوه
”Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda,”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW,’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no 6524). Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Wasa’il Al I’lam fi Al Daulah Al Islamiyah, hlm.25).
Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi SAW yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari hukum asal ghibah (haram).
Misalnya, hadits dari ‘A`isyah RA bahwa :
عن عائشة رضي الله عنها أن رجلاً استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رآه قال: (بئس أخو العشيرة، وبئس ابن العشيرة)
“Seorang laki-laki minta izin (untuk bertemu) Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda,”Dia adalah saudara yang paling jahat bagi keluarganya atau anak yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari no 5685 & Muslim no 2591). Hadits ini menunjukkan Nabi SAW telah melakukan ghibah, yaitu menyebut seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.
Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah di hadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Abi Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An Nakha`i (seorang tabi’in) yang berkata :
ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع والفاسق المجاهر بفسقه
“Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para shahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”
Al Hasan Al Bashri (seorang tabi’in) juga berkata :
ثلاث ليس لهم غيبة : صاحبهوىوالفاسق المعلن بالفسق والامام الجائر
”Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).
Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi SAW berkata
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له
”Barangsiapa hendak menasehati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al Musnad, Juz III no. 15369). Namun hadits ini dha’if sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena dua alasan : (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy. (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a’lam.[]