Indonesia dalam Cengkeraman Neoimperialisme dan Neoliberalisme

Siapapun tidak bisa membantah fakta bahwa negeri ini sungguh dikaruniai oleh Allah SWT kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Namun sayang, limpahan kekayaan alam itu sampai kini belum dapat dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia. Meski diliputi oleh limpahan kekayaan alam, puluhan juta rakyat negeri ini tergolong miskin. Mayoritas rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Negeri ini juga dilanda aneka masalah di segala bidang: ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dsb.

Negeri ini sesungguhnya tak pantas mengalami nasib seperti itu. Tentu semua orang bertanya-tanya mengapa kondisi seperti ini dapat menimpa negeri Indonesia kita? Jawabannya: kondisi ini adalah akibat Indonesia berada dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme.

Cengkeraman Neoliberalisme

Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Menurut paham neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu, swasta atau korporat (perusahaan). Pengurangan peran negara dilakukan melalui privatisasi (penguasaan oleh swasta/asing) atas sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state atau negara korporat (korporatokrasi). Artinya, pengelolaan negara dikendalikan oleh korporat (perusahaan swasta/asing).

Dalam negara korporat, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Hubungan negara dengan rakyat dikelola layaknya hubungan perusahaan dengan konsumen, antara penjual dan pembeli. Rakyat pun diposisikan layaknya pembeli yang harus membeli kepada negara dan perusahaan yang menyediakan berbagai pelayanan kepada masyarakat.

Di sisi lain, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik. Karena itu pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi oleh kepentingan asing.

Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM, misalnya, adalah bukti kebijakan yang sarat kepentingan asing. Apalagi akhirnya rezim Jokowi-JK menunjukkan maksud sebenarnya di balik kebijakan tersebut, yaitu mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang diinginkan oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tetapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun.

Cengkeraman Neoimperialisme

Di lapangan legislatif, kita juga dapat melihat bagaimana campur tangan asing terjadi dengan sangat nyata. Ada lebih dari 76 UU yang draft-nya berasal dari pihak asing seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga sedang dalam cengkeraman neoimperialisme. Neoimperialisme adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dalam penjajahan model lama dikenal semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani). Dalam penjajahan model baru saat ini, kepentingan ketiga (gospel) tidak begitu menonjol dan bergeser menjadi misi penyebaran ideologi sekularisme, demokrasi, kapitalisme dan liberalisme. Adapun kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) saat ini nyata sekali masih berjalan.

Dampak Buruk

Neoliberalisme dan neoimperialisme ini berdampak sangat buruk bagi kita semua. Di antaranya: tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi sumberdaya alam di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya. Mereka membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh perusahaan swasta maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang zalim seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, juga lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misanya, adalah bukti nyata bahwa aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.

Harus Segera Diselamatkan!

Indonesia kita jelas sekali harus segera diselamatkan. Ini adalah tanggung jawab kita, umat Islam, tanpa kecuali. Untuk menyelamatkan negeri ini umat Islam harus memiliki setidaknya dua macam kesadaran. Pertama: kesadaran atas akar persoalan yang terjadi; yakni bahwa penyebab utama semua persoalan di atas adalah penerapan ideologi Kapitalisme sekular beserta turunannya: demokrasi, liberalisme, dsb. Dengan kata lain, semua problem di atas adalah akibat penerapan sistem dan hukum yang menyimpang dari sistem dan hukum Islam. Allah SWT berfirman:

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا[

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).

Kedua: Kesadaan atas solusi yang hakiki, yaitu bahwa solusi yang benar untuk menyelesaikan berbagai problem yang melanda negeri ini adalah dengan kembali pada al-Quran. Allah SWT berfirman:

]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusi, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Ali ash-Shabuni di dalam Shafwah at-Tafâsîr menjelaskan, “bima kasabat aydinnâs yakni disebabkan oleh berbagai kemaksiatan dan dosa-dosa mereka.” Kemaksiatan yang menyebabkan negeri ini dicengkeram oleh neoimperialisme dan neoliberalisme adalah kemaksiatan dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya yang menyalahi syariah; yaitu kemaksiatan berupa penerapan ideologi, sistem dan hukum selain Islam.

Karena itu solusinya, menurut Imam asy-Syaukani di dalam Fathu al-Qadîr, adalah “la’allahum yarji’ûn” (agar mereka kembali) dari berbagai kemaksiatan mereka dan bertobat kepada Allah SWT.” Dalam konteks ini, bangsa ini harus segera bertobat dari kemaksiatan ideologis, sistemik dan hukum sekular itu; lalu kembali pada ideologi, sistem dan hukum Islam, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah proyek dan agenda utama dan vital untuk menyelamatkan negeri ini. Proyek ini sudah sangat mendesak untuk segera diwujudkan. Ini menjadi tanggung jawab keimanan dan tanggung jawab sejarah kita, umat Islam.

Alhasil, Save Indonesia with Sharia and Khilafah (Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah)! WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam

Pemerintah mengatakan akan terus menjaga defisit anggaran di kisaran 2,2 persen dari PDB pada 2015. Namun, Pemerintah enggan melakukan pemotongan anggaran pada awal tahun ini. Bagaimana cara Pemerintah menutup defisit? Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro membocorkan strategi Pemerintah itu. Katanya, kemungkinan Pemerintah mengambil opsi mencari dana pinjaman secara bilateral atau multilateral (Kompas.com, 7/5/2015).

  1. Padahal negeri ini sudah tenggelam dalam utang. Utang Pemerintah pusat per Maret 2015 sudah mencapai Rp. 2.702,29 triliun. Sampai kapan Pemerintah akan benar-benar sadar?
  2. Sudah terbukti utang luar negeri menjadi alat penjajahan dan digunakan untuk memaksakan berbagai UU dan kebijakan yang sesuai keinginan asing. Namun, Pemerintah justru terus saja menarik utang luar negeri. Itu sama saja dengan melempangkan jalan bagi penjajahan asing terhadap negeri ini. Kapan Pemerintah mau belajar?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*