Oleh :
Muhammad Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)
“Nasihati Dr Hertzl supaya jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.
Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Begitulah jawaban Khalifah Sultan Abdul Hamid II menanggapi upaya kaum Zionis Yahudi untuk mendirikan Negara Israel di bumi Palestina. Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, setidaknya telah enam kali mengunjungi Istambul, ibukota Khilafah Utsmaniyah di Turki untuk maksud tersebut. Kondisi itu sangat kontras dengan Palestina saat ini.
Jangankah untuk membantu masalah Palestina, melindungi Masjid Al Aqsha yang sedang menghadapi ancaman keruntuhan akibat pembangunan terowongan di bawahnya pun tak dilakukan oleh para penguasa negeri-negeri Islam di sekitar Palestina, termasuk otoritas Palestina sendiri. Padahal mereka tahu bahwa itu adalah tanah suci kaum Muslimin. Mereka menganggap seolah persoalan ini tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah menciptakan perdamaian.
Mereka tidak ada yang berani melawan Israel, meski hanya dengan kata-kata, sebagaimana dulu Khalifah Abdul Hamid bersikap. Yang keluar dari mulut hanya kecaman, sekadar untuk menutupi pengkhianatan mereka di hadapan rakyatnya. Dan yang lebih parah dari itu, beberapa pemimpin Arab justru mengakui keberadaan Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan mendorong otoritas Palestina dari semua faksi yang ada untuk mengakui Negara Israel.
Sikap para pemimpin Arab dan dunia Islam pada umumnya juga tercermin pada Organisasi Konferensi Islam (OKI). Mereka tidak setuju dengan aksi para pejuang intifadhah yang berjihad untuk membebaskan tanah mereka. Sebaliknya mereka menggiring rakyat Palestina agar mau duduk bersama di meja perundingan sejajar dengan penjajahnya, Israel.
Membebaskan Palestina
Sejauh ini penyelesaian Palestina bersandar pada arahan Barat. Kwartet Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB menyodorkan peta jalan damai. Isi peta jalan damai ini terdiri atas tiga hal yang harus dilewati dalam penyelesaian masalah Palestina. Tahap pertama (hingga Mei 2003), Palestina harus mengakhiri segala bentuk aksi, melakukan reformasi, dan pemilu; sedangkan Israel harus menarik pasukannya dan membekukan pemukiman Yahudi di wilyah Palestina.
Tahap kedua (Juni-Desember 2003) masuk pada tahap pembentukan negara Palestina merdeka, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan konferensi internasional. Tahap ketiga (2004-2005) adalah penyelenggaraan konferensi internasional kedua; kesepakatan status akhir dan diakhirinya konflik; kesepakatan mengenai perbatasan; penyelesaian masalah Yerusalem, pengungsi, dan pendudukan, serta dijalinnya normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel. Sebelumnya juga ada usulan perdamaian Konferensi Madrid (Oktober 1991) dan Perjanjian Oslo (September 1993). Namun semua itu tidak berdampak apapun bagi Palestina, kecuali krisis yang terus memakan korban kaum Muslim.
Fakta ini menunjukkan, tidak mungkin krisis Palestina diselesaikan lewat perundingan damai dengan Israel. Sebab, perjanjian damai yang terjadi selama ini tidak pernah menyentuh persoalan substansial dari krisis berkepanjangan ini. Negara Zionis bukanlah entitas yang terkenal patuh terhadap sebuah perjanjian, justru sebaliknya mereka adalah kaum yang suka melanggar perjanjian. Dan secara historis, masalah substansial Palestina sebenarnya adalah perampasan tanah Palestina oleh Israel dengan dukungan Inggris, AS, dan PBB. Jadi, keberadaan negara Israel yang didukung oleh Barat itu sendirilah yang menjadi pangkal persoalan Palestina dan krisis Timur Tengah. Dengan demikian, selama negara Israel berdiri, persoalan Palestina tidak akan selesai.
Karena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, mau tidak mau kita harus mendudukkan Palestina pada posisinya semula sebagai wilayah yang dicaplok oleh Israel. Pilihannya tidak lain adalah mengusir Israel dari bumi Palestina, sebagaimana halnya kita mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, mengobarkan jihad fi sabilillah merupakan pilihan yang rasional. Sebaliknya, dialog perdamaian dalam segala bentuknya merupakan jebakan Barat dan Israel untuk mengulur-ulur penyelesaian persolan ini secara tuntas.
Pemecahan Palestina tentu tidak pernah terlaksana hanya dengan mengandalkan para penguasa negeri-negeri Arab, sebab mereka adalah agen-agen Barat yang melestarikan penghinaan terhadap kaum Muslim. Mau tidak mau, beban ini jatuh pada diri kaum Muslimin sendiri baik yang ada di Palestina dan di seluruh dunia.
Dalam konteks ini, jihad harus terus dikorbankan di bumi Palestina. Tidak boleh ada upaya berdamai sedikitpun dengan penjajah. Bersamaan dengan itu kaum Muslim harus membangun kekuatan alternatif yang tidak bersandar pada kekuatan asing atau kekuatan para pengkhianat. Kekuatan ini haruslah kekuatan nyata yang bisa berhadapan dengan Israel dan negara pelindung Zionis. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyah yang lenyap sejak 3 Maret 1924. Negara inilah yang akan mempersatukan umat Islam seluruh dunia untuk membebaskan tanah Palestina dan Masjid Al Aqsha pada khususnya dari cengkeraman Israel la’natullah. Di sinilah relevansi antara Masjid Al Aqsa, Palestina, dan penegakan Khilafah. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.republika.co.id
saya mendukung perjuangan antum hti,semoga allah membatu kita.amin.
Khilafah yang layak untuk menyelamatkan masalah palestina secara sempurna, bukan PBB, OKI, Liga Arab dll.
Maka tegakkan syariah dibawah payung Khilafah, niscaya permasalahan invasi yang dialami kaum muslimin oleh kafir penjajah akan enyah.
sudah dinyatakan dalam hadits bahwa …..nanti akan berdiri sebuah negara yg bersistem islam, lalu Nabi diam. Setelah saya melihat video dari HT malaysia semakin kuat semangat saya untuk ikut serta dalam penegakkan syariat islam dan khilafah