Menguatkan Peran dan Fungsi Ulama

Oleh Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy

Sejak dulu, ulama memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai peristiwa sejarah penting, terutama sejarah perubahan masyarakat (social engineering). Bahkan nyaris tidak ada satu pun perubahan masyarakat di dunia ini yang tidak melibatkan peran ulama. Mereka jugalah orang pertama yang menyebarkan kesadaran ini di tengah-tengah masyarakat hingga masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk melakukan perubahan. Jika kesadaran terhadap kerusakan masyarakat belum tumbuh di tengah-tengah masyarakat, niscaya tidak akan tumbuh pula keinginan untuk berubah, apalagi upaya untuk melakukan perubahan. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa ulama merupakan sumber dan inspirasi perubahan.

Sayang, seiring dengan kemunduran taraf berpikir umat Islam, yang diimbuhi dengan proses sekularisasi di Dunia Islam, umat Islam mulai kesulitan menemukan sosok ulama yang mampu menggerakkan perubahan, seperti yang pernah dilakukan Nabi saw. Yang kita dapati adalah ulama yang fakih dalam masalah agama, tetapi tidak memiliki visi politik dan negarawan yang handal. Akhirnya, mereka mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Ada pula ulama yang memisahkan diri dari kekuasaan dan politik, dengan alasan, politik itu kotor dan najis.

Akibatnya, mereka tidak mampu memberikan konstribusi bagi perubahan masyarakat dan negaranya. Mereka asyik dengan ibadah-ibadah ritual yang sejatinya justru memberangus predikatnya sebagai pewaris nabi. Ada pula ulama yang, sadar atau tidak, terkooptasi oleh pemerintah kufur dan antek-anteknya. Mereka rela menjual agamanya untuk kepentingan dunia.  Jahatnya lagi, mereka bahkan rela menyerahkan saudara-saudara Muslimnya untuk memenuhi keinginan kaum kafir.  Ada pula yang bertingkah bak seorang artis yang hanya mengejar popularitas belaka. Lantas, apa fungsi dan peran ulama sesungguhnya?

Peran dan Fungsi Para Ulama
Peran dan fungsi strategis ulama dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama: pewaris para nabi. Tentu, yang dimaksud dengan pewaris nabi adalah pemelihara dan menjaga warisan para nabi, yakni wahyu/risalah, dalam konteks ini adalah al-Quran dan Sunnah.  Dengan kata lain, peran utama ulama sebagai pewaris para nabi adalah menjaga agama Allah Swt. dari kebengkokan dan penyimpangan. Hanya saja, peran ulama bukan hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam, baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariah, tetapi juga bersama umat berupaya menerapkan, memperjuangkan, serta menyebarkan risalah Allah.

Dalam konteks saat ini, ulama bukanlah orang yang sekadar memahami dalil-dalil syariah, kaidah istinbâth (penggalian), dan ilmu-ilmu alat lainnya. Akan tetapi, ia juga terlibat dalam perjuangan untuk mengubah realitas rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi saw.

Kedua: pembimbing, pembina dan penjaga umat. Pada dasarnya, ulama bertugas membimbing umat agar selalu berjalan di atas jalan lurus. Ulama juga bertugas menjaga mereka dari tindak kejahatan, pembodohan, dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum kafir dan antek-anteknya; melalui gagasan, keyakinan, dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.

Semua tugas ini mengharuskan ulama untuk selalu menjaga kesucian agamanya dari semua kotoran. Ulama juga harus mampu menjelaskan kerusakan dan kebatilan semua pemikiran dan sistem kufur kepada umat Islam.  Ia juga harus bisa mengungkap tendensi-tendensi jahat di balik semua sepak terjang kaum kafir dan antek-anteknya. Ini ditujukan agar umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.

Ketiga: pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, seorang ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat, hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada konteks ideologis-politis. Dengan demikian, fatwa-fatwanya mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan oleh syaikhul Islam mengenai bolehnya kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan Barat pada akhir Kekhilafahan Islam.  Fatwa ini tidak hanya keliru,  tetapi juga menjadi penyebab kehancuran Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya visi politis-ideologis ulama pada saat itu.

Keempat: sumber ilmu. Ulama adalah orang yang fakih dalam masalah halal-haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran sentralnya adalah mendidik umat dengan akidah dan syariah Islam. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam yang kuat; mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.

Inilah peran dan fungsi sentral ulama di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, sekularisasi dan demokratisasi telah memberangus fungsi dan peran ulama di atas, sekaligus meminggirkan mereka dari urusan negara dan masyarakat.

Ulama: Panutan Umat Sepanjang Masa
Pada masa keemasan Islam, umat Islam tidak terlalu sulit menemukan sosok ulama sejati. Di era Sahabat, misalnya, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Muadz bin Jabal, dan lain sebagainya adalah para ulama besar.  Pada masa awal-awal Islam mereka menjadi panutan dan rujukan kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan mereka. Pada masa tâbi‘în, ulama yang sangat masyhur adalah tujuh fukaha Madinah: Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Abdirrahman bin Haris bin Hisyam, Sulaiman bin Yasar, Ubaidillah bin Utbah bin Mas‘ud, dan Nafi’, maulanya Abdullah bin Umar ra.  Adapun fukaha Kufah adalah Alqamah bin Mas‘ud, Ibrahim an-Nakha’i, Syaikh Himad bin Abi Sulaiman, syaikhnya Abu Hanifah. Fukaha dari kalangan penduduk Bashrah adalah Hasan Bashri.  Kalangan tâbi‘în yang juga terkenal sebagai ulama masyhur adalah Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabi’ah, Thawus bin Kisan, Muhammad bin Sirin, Aswad bin Yazid, Masruq bin al-A’raj, al-Qamah an-Nakha’i, asy-Sya’bi, Syuraikh, Said bin Jabir, Makhul ad-Dimasyqi, dan Abu Idris al-Khaulani.

Abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijrah adalah masa keemasan ijtihad hingga lahir 13 orang mujtahid yang membangun mazhab-mazhab fikih.  Mereka adalah Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan Basri di Bashrah, Syafii dan al-Laits di Mesir, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur dan Ahmad, Dawud azh-Zhahiri, dan Ibnu Jarir di Baghdad. (As-Sayis, Târikh al-Fiqh al-Islâmi, hlm. 86).

Di antara para ulama tersebut, ada empat imam yang pendapatnya menjadi rujukan bagi ulama-ulama selanjutnya, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal.  Pendapat dan pemikiran empat ulama ini paling banyak memberikan pengaruh kepada kaum Muslim. Tidak hanya itu, mereka juga meletakkan dasar-dasar istinbâth dan memformulasikan berbagai disiplin ilmu yang sangat besar manfaatnya bagi generasi Islam berikutnya.

Tidak hanya di bidang keilmuan belaka, ulama dulu juga menjadi garda terdepan dalam melakukan aktivitas dakwah dan mengoreksi para penguasa.  Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya,  pernah disiksa dan diasingkan pada masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq karena penentangan beliau terhadap gagasan kemakhlukan al-Quran.   Imam Ibnu Taimiyah turut berjuang bersama kaum Muslim melawan tentara Mongol. Beliau juga terkenal sebagai ulama yang berani mengoreksi penguasa hingga akhirnya dijebloskan di penjara Damaskus. Masa berikutnya, kaum Muslim juga dianugerahi Allah seorang ulama besar yang mampu menangkis pemikiran filsafat Yunani; beliau adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.

Di kalangan mazhab Syiah, kaum Muslim juga mengenal di antaranya Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain, pendiri mazhab Syiah Zaidiyah. Beliau terkenal sebagai ulama fakih yang sangat menguasai ulumul Quran, qirâ‘ah, dan fikih hingga mendapat julukan “khâlif al-Qur’ân” (wakil al-Quran).

Akan tetapi, saat ini, peran dan fungsi mereka telah dilemahkan oleh sistem demokrasi-sekular hingga mereka tidak lagi berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya.

Sebab-Sebab Ketidakberdayaan Ulama
Ada beberapa faktor dominan yang menyebabkan ketidakberdayaan ulama. Pertama: kurangnya kesadaran ideologis-politis pada diri mereka. Kebanyakan ulama sekarang ini hanya fakih dalam masalah fikih, tafsir, ulumul Quran, hadis, dan ilmu-ilmu keIslaman yang lain; namun visi politis-ideologisnya amat lemah. Akibatnya, mereka sangat gampang dipolitisasi dan dimanfaatkan oleh politikus sekular.

Kedua: depolitisasi peran ulama.  Dalam sistem pemerintahan demokratik-sekular, adanya depolitisasi ulama merupakan sebuah keniscayaan.  Sebab, agama tidak boleh turut campur dalam urusan negara dan publik. Akibatnya, figur ulama tidak lagi memiliki peran politis di level masyarakat dan negara.  Ulama tidak lagi memiliki akses yang luas untuk berbicara agama di ranah masyarakat dan negara.  Ironisnya lagi, masyarakat umum telah terlanjur beranggapan, bahwa agama harus steril dari masalah politik dan negara.  Agama harus dibersihkan dan dijauhkan dari politik dan pengaturan urusan publik.   Akibatnya, ulama tidak lagi memiliki peran signifikan di dalam masyarakat dan negara, terutama untuk mempengaruhi kebijakan dan aturan-aturan publilk.  Kalaupun masih ada pengaruh, yang tersisa hanyalah keberadaan dirinya sebagai tokoh spiritual belaka.

Ketiga: ada upaya sengaja yang ditujukan untuk memarginalisasi peran ulama dari ranah politik dan negara.   Cara kaum sekular untuk memarginalisasi peran ulama di sini cukup banyak, di antaranya adalah menutup akses ulama yang menyerukan diterapkannya syariah Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat. Kaum kafir sekular juga berusaha dengan serius membunuh karakter para ulama ideologis dengan berbagai propaganda hitam.  Semua ini dilakukan agar umat menjauhi ulama ideologis-politis.

Keempat: kaum sekular juga berusaha  keras memecah-belah kesatuan dan kesatuan para ulama, melalui isu khilafiyyah, perbedaan mazhab, Sunni-dan Syiah, dan lain sebagainya. Di negeri ini, pemunculan istilah “ulama khos” dan “ulama kampung” disinyalir oleh sebagian kalangan juga berpotensi memecah-belah. Untuk itu, para ulama harus menyerukan kesatuan dan persatuan kaum Muslim seraya mengajak umat untuk menyibukkan diri persoalan yang lebih penting, yakni menerapkan kembali syariah Islam.

Bagaimana Memberdayakan Peran dan Fungsi Ulama?
Berdasarkan seluruh paparan di atas, dapat dirancang solusi untuk memberdayakan peran dan fungsi ulama untuk kebangkitan umat Islam.  Pertama: membangun dan meningkatkan kesadaran ideologis pada diri ulama.  Kesadaran ini bisa ditumbuhkan dengan cara selalu memantau peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian politik internasional maupun regional, yang kemudian dianalisis berdasarkan sudut pandang akidah dan syariah Islam. Lebih dari itu, ulama juga harus memperhatikan konteks ideologis-politis yang melatarbelakangi peristiwa tersebut.  Misalnya, tatkala Presiden Bush datang ke Indonesia, ulama tidak boleh hanya melihat dari sisi kunjungan itu sendiri, lalu dihukumi menurut hukum syariah; tetapi mereka juga harus mampu menyingkap tendensi politik di balik kunjungan Bush tersebut serta implikasinya bagi kaum Muslim.  Dengan demikian, para ulama akan mengeluarkan fatwa yang berbobot. Melalui fatwanya, mereka mampu menjaga Islam dan kaum Muslim dari kejahatan kaum kafir dan antek-anteknya.

Kedua: mendorong ulama untuk berperan lebih aktif dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan kenegaraan.  Dengan kata lain, ulama harus didorong untuk melakukan peran politis-ideologis.  Peran ini bisa diwujudkan oleh ulama dalam bentuk membina umat dengan ajaran Islam yang utuh, mengajak umat untuk menerapkan kembali syariah Islam secara kâffah, dan mengarahkan umat untuk terlibat dalam upaya mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam.  Ulama juga harus didorong untuk berperan aktif dalam melakukan koreksi dan kontrol terhadap penguasa yang menyimpang dari akidah dan syariah Islam sekaligus mengguncang sistem kufur melalui lisan mereka yang tajam dan terpercaya. Untuk itu, ulama harus ditopang dan didukung sepenuhnya oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, agar apa yang mereka lakukan benar-benar berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga: harus ada upaya serius yang ditujukan untuk menyatukan kembali para ulama dalam satu visi dan misi, yakni penegakkan syariah Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah. Yang dimaksud penyatuan di sini, bukanlah penyatuan ulama dalam sebuah organisasi tertentu, tetapi lebih ke arah membangun visi pemikiran minus konflik dan permusuhan. Artinya, harus ditanamkan pada diri ulama, pemikiran-pemikiran Islam yang inklusif dan terbuka—tetapi dalam koridor syariah—serta berorientasi untuk menyatukan umat Islam. Sebab, keragaman dan perbedaan pendapat di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela selama berada dalam koridor syariah Islam. Begitu pula keragaman organisasi dan kelompok; hal ini juga bukan perkara tercela di dalam Islam selama tetap dalam koridor syariah. Begitu pula tatkala masing-masing kelompok menganggap pendapatnya yang terkuat dan terbenar; ini juga bukan perkara yang tercela.   Yang tercela adalah sikap tidak ingin bersatu dan tidak toleran dengan saudaranya dalam hal-hal yang memang boleh berbeda. Oleh karena itu, para ulama harus lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah yang urgen, yakni kesatuan dan persatuan kaum Muslim dalam menegakkan syariah dan Khilafah.  Sudah seharusnya, ulama tidak mengeluarkan statemen yang justru memancing terjadinya konflik, fanatisme kelompok, dan hal-hal lain yang kontraproduktif dengan persatuan kesatuan.

Keempat: sesungguhnya peran dan fungsi ulama bisa diwujudkan secara sempurna jika telah tegak Khilafah Islamiyah di tengah-tengah umat Islam.  Sebab, Khilafah Islamiyah adalah negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara serta syariah Islam sebagai aturan yang mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat.  Tidak ada pemisahan agama dengan negara (sekular), bahkan urusan negara dan rakyat diatur sepenuhnya dengan syariah Islam. Dalam kondisi seperti ini, ulama sebagai pihak yang paling mengerti risalah Islam akan memegang peran yang sangat besar dalam membina umat dan aparat negara, sekaligus meluruskan penyimpangan rakyat dan penguasa serta melindungi kesucian agama Islam.

Wallâhu a‘lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*