Diasuh oleh: Drs. Hafidz Abdurrahman, MA.
Soal:
Di masyarakat kita, terutama di kalangan tradisionalis, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah cukup populer. Sayang, istilah ini tidak jarang memicu konflik horisontal karena masing-masing orang/kelompok mengklaim Ahlus Sunnah dan menuduh yang lain bukan Ahlu Sunnah—bahkan sesat—hanya karena perbedaan dalam masalah-masalah furû‘iyyah (cabang). Jika demikian, siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Jawab:
Ahlus Sunnah wal Jamaah, secara harfiah, berarti orang yang berpegang dan mengikuti tuntunan dan kelompok Nabi saw. Sebab, secara harfiah sunnah berarti tharîqah (tuntunan), maslak (rute yang dilalui) dan mawrid (sumber air); [1] juga bisa berarti tharîqah mahmûdah mustaqîmah (tuntunan yang terpuji dan lurus). Karena itu, Fulan disebut Ahlus Sunnah, maksudnya adalah orang yang menjadi pengikut tuntunan yang terpuji dan lurus [2]. Mereka inilah yang juga disebut ahl al-haq (pengikut kebenaran), lawan dari ahl al-ahwa’ (pengikut hawa nafsu) [3]. Ahlus Sunnah juga bisa berarti orang yang mengikuti sunnah Nabi saw., lawan dari ahl al-bid‘ah. Hanya saja, penggunaan istilah Ahlus Sunnah kemudian mengalami reduksi sedemikian rupa setelah istilah ini diadopsi oleh Ahli Kalam hingga hanya berlaku untuk tiga kelompok yang menjadi pengikut: Maturidi, Asy’ari, Thahawi; ditambah Salafi (pengikut Ibn Taimiyah). Prof. Rawwas Qal’ah Ji, misalnya, dalam Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’ menyatakan, bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang dalam berakidah terikat dengan al-Quran dan as-Sunnah, bukan pandangan para filosof. Mereka kembali kepada tiga kelompok, yaitu para pengikut Maturidi al-Hanafi (w. 333 H), para pengikut Asy’ari (w. 330 H) dan pengikut Salafi yang digagas oleh Ibn Taimiyah (w. 728 H) [4].
Karena itu, istilah Ahlus Sunnah telah mengalami transmisi dari istilah umum untuk semua orang—termasuk mazhab yang mengikuti tuntunan Nabi saw. dan para Sahabat—menjadi istilah khas; hanya dibatasi untuk mazhab tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah. Dulu orang-orang NU, misalnya, mengklaim dirinyalah Ahlus Sunnah, karena mereka menggariskan akidahnya mengikuti Asy’ari dan Maturidi. Mereka menganggap Muhammadiyah bukan Ahlus Sunnah karena tidak mengikuti kedua mazhab tersebut. Sebaliknya, Muhammadiyah pernah menganggap orang-orang NU sebagai ahl al-bid‘ah, dan karenanya tidak layak disebut Ahlus Sunnah; yang layak disebut Ahlus Sunnah hanya orang-orang Muhammadiyah. Klaim seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus Sunnah sebagai mazhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak mengikuti mazhab tersebut dianggap bukan Ahlus Sunnah. Pihak lain menganggap Ahlus Sunnah bukan sebagai mazhab tertentu, tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa saja yang menyimpang dari tuntunan tersebut disebut ahl al-bid‘ah, bukan Ahlus Sunnah. Dengan kata lain, Ahlus Sunnah menurut Muhammadiyah adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab tertentu. Sebaliknya, menurut NU, Ahlus Sunnah adalah istilah khas, yang merujuk pada mazhab tertentu.
Dalam teori usul fikih, istilah tersebut bisa dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah. Nah, dalam kasus NU dan Muhammadiyah, bisa disimpulkan, bahwa NU menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara Muhammadiyah menggunakannya dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.
Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, bahwa sifat orang Mukmin yang disebut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah:
Siapa saja yang bersaksi, bahwa tidak ada tuhan melainkan hanya Allah Swt., tiada sekutu bagi-Nya, serta Muhammad saw. adalah hamba dan Rasul-Nya. Dia juga mengakui semua yang dibawa oleh para nabi dan rasul, tidak ada sedikitpun keraguan dalam keimanannya. Dia tidak mengkafirkan satu orang pun yang masih bertauhid karena satu dosa. Dia mengharapkan semua perkara yang hilang darinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menyerahkan urusannya hanya kepada-Nya. Dia meyakini bahwa apa saja berjalan menurut qadha’ dan qadar Allah, semuanya, baik dan buruknya. Dia juga mengharapkan kebaikan untuk umat Muhammad dan mengkhawatirkan keburukan menimpa mereka. Tak seorang pun umat Muhammad masuk surga dan neraka karena kebaikan yang dilakukannya, dan dosa yang diperbuatnya, sampai Allah SWT-lah yang memasukan ciptaan-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Dia mengetahui hak orang salaf yang telah dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mendahulukan Abu Bakar, Umar dan Utsman serta mengakui hak Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail atas para Sahabat yang lain. Merekalah sembilan orang yang telah bersama-sama Nabi saw. berada di atas Gunung Hira’. Dia menceritakan keutamaan mereka dan menahan diri terhadap apa yang mereka perselisihkan di antara mereka. Dia shalat Idul Fitri dan Adha, Khauf, shalat berjamaah dan Jumat bersama semua pemimpin, baik yang taat maupun zalim. Dia mengusap dua sepatu ketika bepergian dan ketika tidak, meng-qashar shalat ketika bepergian. Dia meyakini al-Quran kalam Allah, dan diturunkan, bukan makhluk. Dia meyakini bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Dia meyakini bahwa jihad tetap berlanjut sejak Allah mengutus Muhammad saw. hingga sisa generasi terakhir yang memerangi Dajjal, saat tak akan ada yang bisa mencelakakan mereka kezaliman orang yang zalim. Dia menyatakan, bahwa jual-beli halal hingga Hari Kiamat sesuai dengan hukum Kitab dan Sunnah. Dia shalat jenazah dengan empat takbir dan mengurus umat Islam dengan baik. Dia tidak melakukan perlawanan terhadap mereka dengan pedang Anda. Jangan berperang karena fitnah. Diamlah di rumah Allah. Dia mempercayai azab kubur; mengimani Malaikat Munkar-Nakir; meyakini adanya telaga, syafaat; meyakini bahwa orang-orang yang mempunyai tauhid akan keluar dari neraka setelah mereka diuji, sebagaimana sejumlah hadis telah menyatakan hal ini dari Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu banyak contoh untuk semuanya tadi. Inilah yang disepakati oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia. [5]
Dengan demikian, Ahlus Sunnah wal Jamaah itu tidak identik dengan mazhab tertentu, tetapi siapa saja yang memenuhi kualifikasi di atas. Maksud dari Imam Ahmad di atas, menurut Qadhi Iyadh, adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan siapa saja yang meyakini mazhab ahli hadis. Karena itu, menurut Ibn Abd al-Barr, mereka adalah para ahli hadis dan fikih. [6] Bahkan menurut Ibn Hajar, mereka adalah semua ahli ilmu syariah. [7] An-Nawawi juga menyatakan, bahwa boleh jadi kelompok ini berserakan di antara berbagai ragam kaum Mukmin; ada yang pemberani dan pasukan perang; ada yang ahli fikih, hadis, zuhud, dan orang-orang yang memerintahkan kemakrufan serta mencegah kemunkaran; ada juga ahli kebaikan yang lain. Tidak mesti, mereka terkumpul di satu tempat. Sebaliknya, boleh jadi mereka berserakan di berbagai belahan bumi. [8]
Wallâhu a’lam. []
Catatan Kaki:
- Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., XIII/226.
- Ibid, 226.
- Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, Dar al-Bayan li at-Turats, ed. Ibrahim al-Abyari, t.t., 57-58.
- Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Ji, Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’: ‘Arabi-Injelizi-Ifrinji, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 76.
- Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad, al-Maqshad al-Arsyad fi Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1990, II/336-339.
- Ibn ‘Abd al-Barr, at-Tamhid li Ibn ‘Abd al-Barr, ed. Mustafa ‘Alawi, Wizarah ‘Umum al-Auqaf, Maroko, 1387, V/115.
- Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379, XIII/316.
- Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Abu al-Ala, Tuhfah al-Ahwadzi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/360.
saya mahu beli 20 naskah setiap bulan .no tel 0197710101. alamat no 34 impian emas 16 .taman impian emas ,81300 ,skudai ,johor ,malaysia
Assalamu alaikaum Wr.Wb.
saya mau tanya masalah NU dan Muhammadiyah terkaid masalah Qunut apa sebenarnya dasar mereka ?
Wassalam Wr. Wb.
terima kasih
assalamu’alaikum wr.wb.
ust. perkenalkan nama saya Rohmadi, mahasiswa UNIDA Bogor. Mau tanya, bagaimana pandangan ust. tentang konsep pendidikan Multikulturalisme? apa metode untuk menelaah konsep tersebut, kebetulan judul kajian : ” Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalamperspektif pendidikan Islam” apakah perbedaan antara pluralisme dengan multikulturalisme?, jazakumullah khoiran.
Assalamualikum, ustadz saya mohon penjelasan, tentang perkataan imam Ahmad bin hambal yang menyatakan bahwa salah satu ciri ahli sunnah wal jamaah adalah mempercayai adanya siksa kubur, mohon penjlasannya. Trima kasih
Afwan, bukan ustadz tapi ngomentari Abu Faiq: siksa kubur itu memang dibenarkan sesuai kualitas dalilnya. Dalil yang menetapkan siksa kubur lebih kuat dari pada dalil yang menafikannya. Membenarkannya lebih mudah daripada menolaknya. Jadi, menurut saya, orang yang menolak siksa kubur sama sekali itu tidak benar.
Hanya saja dalam aqidah tidak cukup dengan sesuatu yang rajih. Aqidah harus didalili dengan dalil yang qoth’i. Sebab yang dimaksud dengan aqidah islam adalah sesuatu yang harus dibenarkan secara pasti dan apabila ditolak maka yang menolaknya akan kafir. Sehingga sesuatu yang dibenarkan dengan dalil yang rajih tidak bisa dikategorikan aqidah, meski tetap harus dibenarkan sesuai kualitas dalilnya. Hnya saja, orang yang menolak sesuatu yang rajih tidak bisa dijatuhi hukuman murtad. Sebab, hukuman murtad itu hanya bagi orang yang keluar dari aqidah islam, yakni denan menolak sesuatu yang jelas qoth’i dalam agama. wallaahul muwaffiq
Umat jangan berpecah hanya karena perbedaan Furu’iyah, to perbedaan itu sebuah rahmah yang memperkaya hazanah islam Ok…!!