Tahun 2006 bukan masa yang menyenangkan bagi penduduk Eropa. Beberapa peristiwa yang terjadi pada masa sebelumnya, seperti kerusuhan rasial di Perancis, pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di surat kabar Denmark, hingga serangan bom di kereta listrik London dan Madrid, masih tetap membayang-bayangi kehidupan masyarakat.
Di Inggris, misalnya, aparat keamanan tak henti-hentinya mengepung dan menangkap orang-orang yang diduga merencanakan serangan teror. Sebagian besar mereka yang ditangkap adalah warga berdarah Pakistan
Pemerintah Inggris berulang kali melakukan pengamanan ekstra ketat di Bandara Internasional Heathrow. Bahkan, pernah setiap penumpang harus digeledah sehingga mengakibatkan keterlambatan dan kacaunya jadwal penerbangan. Semua ini terkait dengan informasi kemungkinan serangan teroris.
Hingga sekarang calon penumpang dilarang membawa benda berbentuk cairan jelly ke dalam pesawat. Di bandara Indonesia hal ini mulai diterapkan awal April lalu. Langkah pengamanan itu dilakukan setelah aparat keamanan Inggris menemukan dokumen teroris mengenai bahan peledak berbentuk cair.
Pemerintah Inggris sendiri berulang kali menyatakan keberhasilannya menggagalkan rencana serangan teroris. Ribuan orang ditangkap dalam lima tahun terakhir. Mereka dicurigai terlibat jaringan teroris. Namun, sejauh ini baru beberapa orang yang diproses secara hukum karena kurangnya bukti-bukti.
Di Spanyol, Italia, Perancis, dan Belanda, ratusan orang ditangkap tahun lalu. Aparat keamanan setempat mencurigai keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok militan Islam.
Namun, apakah kelompok teroris yang berideologi Islam sudah sedemikian gawatnya mengancam keamanan benua Eropa, atau ini sekadar imajinasi?
Kelompok separatis
Laporan Organisasi Penegak Hukum Uni Eropa (UE) tahun 2006 tentang aksi terorisme menunjukkan fakta-fakta yang justru berbeda dari apa yang dihebohkan selama ini.
Laporan yang dirilis Selasa (10/4) menyebutkan, dari 498 aksi teroris sepanjang tahun 2006 di negara-negara yang tergabung dalam UE, hanya satu yang tercatat berkaitan dengan kelompok Islam. Peristiwa yang satu itu pun gagal karena bom dalam tas jinjing tidak sempat meledak di kereta listrik Jerman. Tersangka utamanya, Jihad Hamad, bersama tiga rekannya, ditangkap di Lebanon. Seorang lagi ditangkap di Jerman.
Masalah terorisme
Anehnya, media Barat yang selama ini gencar memberitakan masalah terorisme tidak berminat memberitakan laporan tersebut. Mengutip laporan organisasi Penegak Hukum UE, Spiegel Online (11/4) yang berbasis di Jerman menulis, mayoritas serangan teroris dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis dengan sasaran Perancis dan Spanyol.
Selebihnya, serangan teroris dilakukan kelompok-kelompok anarki dan kiri di Jerman, Yunani, Italia, dan Spanyol. Laporan tersebut mencatat, dari semua negara yang tergabung dalam UE, yang paling merasakan dampak terorisme adalah Perancis, Spanyol, dan Inggris.
Ditambahkan, hampir semua serangan teroris tahun 2006 hanya menimbulkan kerusakan material, seperti bangunan. Kelompok pelaku memang tidak bermaksud membunuh manusia.
Ironisnya, walaupun tahun lalu hanya satu dari 498 kasus yang melibatkan kelompok Islam, lebih kurang separuh dari 706 orang yang ditangkap terkait dengan kelompok teroris yang membawa bendera agama Islam. Jumlah terbesar ditangkap di Perancis, Spanyol, Italia, dan Belanda.
Dalam hal ini Organisasi Penegak Hukum UE mempunyai alasan tersendiri. Disebutkan, aksi teroris yang gagal di Jerman maupun terungkapnya di Inggris, rencana teroris meledakkan pesawat terbang sipil dimaksud untuk menimbulkan korban jiwa sebanyak mungkin. Dengan demikian, aparat keamanan memprioritaskan penyelidikan terhadap kelompok teroris yang membawa-bawa nama Islam.
AS ancaman perdamaian
Penangkapan sewenang-wenang warga Muslim di Eropa mengundang banyak protes di negara-negara Islam. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai sikap bermusuhan Barat terhadap umat Muslim.
Pemimpin negara-negara Eropa mulai menyadari bahwa posisinya terperangkap dalam dilema. Maka, tahun lalu Menteri Luar Negeri Inggris menyarankan agar Pemerintah Inggris tak menggunakan lagi kata teroris demi menjaga hubungan baik dengan negara-negara Islam.
Penggunaan kata teroris mengundang banyak kritik setelah Presiden AS George W Bush menyatakan perang melawan teroris, sebagai respons terhadap peristiwa 11 September. Sejak itu, kata teroris menjadi stigma, musuh yang harus diperangi. Dengan alasan perang melawan teroris, AS kemudian menginvasi Afganistan dan Irak.
Sementara itu, Oxford Research Group baru-baru ini merilis laporannya berjudul Beyond Terror: The Truth About the Real Threats to Our World. Disebutkan, akibat kebijakan Inggris dan AS yang keliru dalam perang melawan teror, Irak justru berubah menjadi zona latihan tempur jihad.
Dampaknya akan lebih berbahaya dalam 5–10 tahun mendatang, bahkan berisiko mendorong serangan teroris dalam skala mirip peristiwa 11 September.
Laporan tersebut menambahkan, saat ini makin meningkat pandangan bahwa AS merupakan ancaman terbesar bagi perdamaian dunia.[Maruli Tobing, Kompas, 30-4-2007]
Kehancuran AS dan sekutunya tinggal menunggu waktu. Kita sudah bosan dengan kerusakan yang ditebarkan sistem Kapitalis. Saatnya Islam dan kaum muslimin memimpin dunia. Allahu Akbar!
subhanallah, padahal belum muncul daulah khilafah musuh2 allah swt sudah ketakutan.wahai saudaraku demi allah keberadaan khilafah akan musuh2 allah swt akan takut menyentuh umat islam.selamat berjuang saudaraku.sungguh khilafah sudah dekat.allahuakbar.
Allahuakbar…!!!
semoga Allah memberikan kemudahan dalam pelaksanaan acara ini And dapat menyadarkan umat untuk memperjuangkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Rosyidah. Amin.