Soal:
Ada yang berpendapat bahwa Khilafah tidak akan tegak, kecuali dengan jihad. Benarkah demikian? Apakah jihad juga merupakan metode dakwah?
Jawab:
Pertama: harus didudukkan dulu, bahwa dakwah, jihad dan Khilafah adalah tiga hukum syariah yang sama-sama wajib atas setiap kaum Muslim. Meskipun ketiganya sama-sama wajib atas kaum Muslim, masing-masing merupakan hukum syariah yang berbeda; sekalipun satu sama lain saling terkait. Ini sebagaimana karakteristik hukum syariah secara umum; satu sama lain tidak bisa dipisah, karena merupakan satu kesatuan sistem. Namun, mencampuradukkan satu-sama lain juga tidak proporsional.
Kedua: syariah menetapkan bahwa jihad tidak lain kecuali berperang di jalan Allah dalam rangka menjunjung tinggi kalimah-Nya, baik secara langsung maupun tidak. Inilah pendapat jumhur fukaha, termasuk empat mazhab.1 Memang, ada sejumlah ayat makkiyah yang menyebut kata jihad, yang notabene turun sebelum turunnya perintah berperang, yaitu: QS al-’Ankabut [29]: 6, 8 dan 69, Luqman [31]: 15, dan an-Nahl [16]: 110. Namun, dalam ayat-ayat tersebut—kecuali dalam QS an-Nahl [16]: 110—kata jihad berkonotasi bahasa (al-ma‘na al-lughawi), yaitu mengerahkan seluruh kemampuan.2 Adapun dalam kasus QS an-Nahl [16]: 110, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah ayat Madaniyah yang terdapat di dalam surah Makkiyah.3 Dengan kata lain, konotasi kata jihad di dalam surat-surat Makkiyah tersebut tidak seperti yang dikemukakan oleh al-Buthi, yang menurutnya bisa juga berarti dakwah.
Ketiga: jihad mempunyai metode, hukum dan adab yang khas. Di antara metodenya, disebutkan dalam hadis riwayat Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, yang menyatakan bahwa jihad harus dilakukan sebagai alternatif terakhir, yaitu setelah kaum kafir yang hendak diperangi tidak mau menerima dakwah (ajakan) untuk memeluk Islam, atau tunduk di dalam pemerintahan (Khilafah) Islam, dengan kewajiban membayar jizyah.4 Ini dipertegas oleh hadis lain, yaitu riwayat ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib, bahwa dakwah merupakan salah satu metode yang harus ditempuh, sebelum berjihad.5 Namun, tidak berarti bahwa dakwah sama dengan jihad, dan begitu sebaliknya; meski dua-duanya merupakan hukum syariah yang terkait dengan metode untuk mengemban dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Yang benar, masing-masing tetap wajib atas kaum Muslim, sesuai dengan peruntukan dan proporsinya.
Keempat: dakwah, meski sama dengan jihad sebagai hukum syariah yang terkait dengan metode untuk mengemban dan menyebarkan Islam, peruntukan dan proporsinya berbeda. Dakwah adalah metode untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sistem kufur yang ada di tengah masyarakat, agar menjadi pemikiran, perasaan dan sistem Islam; sementara pemikiran, perasaan dan sistem itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat non-fisik. Karena itu, Allah memerintahkan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
Menyeru ke jalan Tuhanmu—dengan hikmah, maw‘izhah hasanah dan mujâdalah billati hiya ahsan—adalah menyeru ke jalan Allah (dakwah) dengan menggunakan kekuatan intelektual. Sebab, hikmah yang dimaksud di sini adalah argumentasi logis; maw‘izhah hasanah adalah menyeru akal dengan mempengaruhi hati, dan menyeru hati dengan mempengaruhi akal; sementara mujadalah billati hiya ahsan adalah meruntuhkan logika dan argumentasi lawan, dengan membangun logika dan argumentasi yang baru. Dengan kata lain, perintah dakwah tersebut merupakan perintah yang terkait dengan aktivitas non-fisik, yaitu aktivitas intelektual.
Kelima: Khilafah adalah hukum syariah yang terkait dengan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia untuk melaksanakan hukum Islam di dalam negeri dan mengemban Islam ke seluruh dunia. Khilafah juga merupakan entitas politik Islam yang berfungsi untuk melaksanakan semua pemahaman, standarisasi dan keyakinan Islam yang telah diterima dan diyakini oleh umat Islam. Sebagai pelaksana pemahaman, standarisasi dan keyakinan Islam yang telah diterima dan diyakini oleh umat Islam, entitas politik tersebut tidak mungkin terwujud, kecuali setelah pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang telah diterima dan diyakini oleh umat saat ini berubah: dari pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang tidak bersumber dan bertentangan dengan Islam menjadi pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang bersumber dan sesuai dengan Islam. Karena itu, aktivitas menegakkan Khilafah juga bukan merupakan aktivitas fisik, melainkan aktivitas intelektual dan politik.
Dari fakta-fakta di atas, dengan mudah bisa disimpulkan, bahwa dakwah untuk menegakkan kembali Khilafah adalah dakwah yang bersifat intelektual (fikriyyah) dan politik (siyâsiyyah). Selain itu, fakta sirah Rasulullah saw. juga menunjukkan hal yang sama. Meski didukung oleh orang-orang berpengaruh (ashhab fa’aliyyah), seperti Umar, Hamzah, Abu Bakar as-Shiddiq, dan lain-lain, juga orang-orang yang mempunyai kekuatan (ahl al-quwwah) seperti suku Aus dan Khazraj, Rasulullah saw. tidak pernah melakukan perlawanan secara fisik, sekalipun mereka siap dan mampu melakukannya. Padahal dakwah Nabi saw. ketika itu menghadapi fitnah, ujian bahkan pemboikotan secara fisik. Satu-satunya alasan Nabi saw., bukan karena tidak mampu, tetapi karena Beliau berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah. Pada saat itu, belum ada perintah untuk melakukan perlawanan (berperang). Pada saat yang sama, sepanjang 13 tahun di Makkah, Nabi saw. terus-menerus melakukan aktivitas intelektual dan politik. Inilah karakteristik dakwah Rasulullah saw.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa jihad bukanlah metode dakwah untuk menegakkan Khilafah. Jika ada yang berpendapat bahwa Khilafah tidak akan tegak kecuali dengan jihad, maka pendapat ini bertentangan dengan fakta jihad, dakwah dan Khilafah itu sendiri. Selain itu, ia juga bertentangan dengan metode dakwah Rasul untuk mewujudkan Negara Islam yang pertama di Madinah. Betul bahwa dakwah, jihad dan Khilafah adalah hukum syariah yang sama-sama wajib bagi setiap Muslim. Namun, masing-masing ada peruntukan dan proporsinya sendiri-sendiri; meski ketiga-tiganya saling terkait satu sama lain. Wallâhu a‘lam.
Catatan Kaki:
-
Ibn ‘Abidin, Hâsyiyah Ibn ‘Abiddîn, III/336; al-Kasani, Badai’ as-Shanai’, VII/97; as-Syaikh Muhammad ‘Ilyasy, Manh al-Jalîl, Mukhtashar Sayyidi Khalîl, III/135; Ibn Qudama, Al-Mughni, X/375; as-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/227.
-
Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar‘iyyah, I/40.
-
Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, X/65.
-
HR Muslim, Shahîh Muslim, no. hadits 3261.
-
Al-Haitsami, Majma‘ az-Zawâ’id, V/305. Beliau berkomentar, rijal hadisnya tsiqqah (terpercaya).