Dengan tajuk “Demokrasi Kaum Islamis”, majalah New York Times mengupas perkembangan politik dan Ham di Mesir. Menurut laporan New York Times dalam edisi pekan ini, di Mesir telah terjadi penangkapan massal terhadap lawan-lawan politik penguasa dan mereka ditahan di dalam penjara.
Tapi, menurut makalah yang ditulis oleh James Traweb, hal itu bukan hal baru bagi Mesir. Perguliran kekuasaan di Mesir beberapa kali sebelumnya, sejak tahun 1952 sudah menerapkan tradisi serupa.
Dalam tulisan itu juga disebutkan, bahwa kaum pendukung demokrasi sekuler di Mesir juga mengalami nasib yang sama dengan kaum Islamis. Mereka juga menjadi target penangkapan massal dan dipenjara sebagaimana yang dialami kelompok pergerakan Islam semacam Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir. Karena itulah, menurut analisa New York Times, Mesir merupakan negara paling represif menekan musuh-musuh politik penguasa di seantero Arab.
Secara khusus, laporan itupun mengulas soal organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang sebenarnya memiliki jumlah kursi parlemen terbesar di kalangan oposisi. Namun justru posisi yang menonjol dari Al-Ikhwan itulah yang menyebabkan penguasa Mesir merasa terusik dan lantas unjuk “taring” dengan menangkap para aktifis Al-Ikhwan. Mubarak sebagai penguasa Mesir menyebut anggota Al-Ikhwan sebagai kelompok fundamentalis yang merencanakan revolusi mengganti sistem sekuler Mesir menjadi negara agama. Hingga kini, tambah New York Times, mengutip ungkapan para pengamat, Al-Ikhwan merupakan musuh politik terbesar bagi pemerintah Mesir.
Mesir bukan hanya merupakan negara wilayah Arab yang pemerintahnya paling keras menentang lawan-lawan politiknya. Baru-baru ini, Tim Perlindungan wartawan juga menguraikan sejumlah negara yang paling buruk bersikap terhadap kebebasan wartawan sepanjang 202-2007. Dan Mesir, termasuk dalam tujuh negara pertama dunia yang paling mengekang kebebasan pers. Secara urut, negara yang ditengarai sebagai negara paling buruk menghalangi kebebasan pers adalah: Ethiopia, Jambia, Rusia, Kongo, Kuba, Pakistan, Mesir, Azerbeijan, Maroko dan Thailan. (Eramuslim 4 Mei 07)
Kenyataan ini merupakan bukti bahwa demokrasi hanyalah salah satu utopia dari sederet utopia lainnya di dunia ini, selain komunisme-sosialisme. Di satu sisi sistem ini begitu mengedepankan kebebasan (kedaulatan) bagi manusia. Namun di sisi lain malah kerap memberangus prinsip kebebasan tersebut, terutama ketika ada pihak-pihak yang mencoba untuk mengkritisinya. Fakta di Mesir menunjukkan pemerintah sekuler yang mengusung demokrasi tidak memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk memberikan kritikan ideologis terhadap demokrasi dan penguasa yang menerapkannya. Maka jelaslah demokrasi dengan sendirinya tidak akan berhasil mewujudkan kebebasan bagi seluruh umat manusia secara sempurna, karena kebebasan yang dibawanya hanya diperuntukan bagi pihak-pihak yang mengagungkannya.