Budayakan Muraqabah, Segera Tegakkan Syariah!

BULETIN AL-ISLAM EDISI 357

Diakui atau tidak, berbagai penyimpangan dan kemaksiatan makin banyak dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, baik di kalangan masyarakat umum maupun pejabat pemerintah/penguasa. Semua itu mereka lalukan seolah-olah Allah SWT tidak melihatnya.

Di tengah-tengah masyarakat, hidup bebas tanpa aturan sudah menjadi gejala umum. Sikap individualis, hedonis (sekadar mencari kesenangan) dan permissif (bebas) kian melekat dalam perilaku keseharian. Standar halal dan haram makin tergerus dalam berbagai aspek kehidupan. Di bidang ekonomi, misalnya, orang hanya berpikir bagaimana meraih untung, tidak peduli dengan cara apa. Pemalsuan produk, pembalakan hutan, pengoplosan BBM sampai penggunaan bahan-bahan campuran yang haram akhirnya dilakukan demi meraup untung. Semua itu mereka lakukan seolah-olah Allah tak melihatnya.

Dunia pendidikan juga dipenuhi segudang masalah. Di antaranya: akhlak peserta didik yang kian menipis dan tak sedikit pula anak sekolah/remaja yang terjerembab dalam kehidupan seks bebas. RCTI (25/5/2007) mewartakan, seks bebas di kota-kota besar sudah melampau batas. Seks bebas di kalangan remaja Makasar di SMP sudah mencapai 40–50 persen, di kalangan SMA 60–90 persen, dan di tingkat mahasiswa sudah mencapai angka 90 pesen. Sementara itu, lebih dari 2 juta remaja kita telah terperosok ke dunia hitam narkoba.

Adapun di tingkat elit pejabat/penguasa, termasuk wakil rakyat, gejala tak peduli terhadap aturan-aturan Allah dan abai terhadap batasan halal-haram semakin terang-terangan. Birokrasi di negeri ini sudah biasa dipenuhi dengan budaya sogok-menyogok. Tanpa “uang pelicin” perkara mudah menjadi sulit dan rumit. Korupsi pun dilakukan secara ‘berjamaah’. Setiap instansi seolah punya “kerajaan” dan “kekuasaan” tersendiri sehingga legal untuk melakukan berbagai pungutan. Tidak kurang dari 1.366 Perda tentang pajak dan retribusi (pungutan) tidak dilaporkan ke Depkeu, yang akhirnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (Kompas, 22/5/07).

Kebijakan-kebijakan politik penguasa dan wakil rakyat pun semakin tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah dan DPR, yang sejatinya menjadi wakil rakyat, rela meloloskan berbagai undang-undang yang justru menyengsarakan rakyat. UU SDA, UU Energi dan terakhir UU Penanaman Modal hanyalah di antara sekian UU yang diduga hanya akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak asing untuk menguasai berbagai sumber kekayaan milik rakyat. Bahkan kerjasama pertahanan antara Pemerintah RI dan Singapura pun diduga hanya merugikan kedaulatan Indonesia dan menjadi ancaman bagi keutuhan negeri ini. Singkatnya, para pengkhianat dan komprador asing dari kalangan elit ini semakin tak terkendali.

Sementara itu, peran partai politik tidak banyak diharapkan. Kepentingan kelompok dan golongan masih mendominasi. Perebutan jabatan dan kursi masih menjadi arus utama perjuangan partai dan para aktivisnya. Saat mereka dirundung persoalan, seperti tuduhan menerima dana kampanye, mereka segera berkelit dan dengan keras membantahnya. Lalu perseteruan tokoh politik dan penguasa di seputar dana DKP dan dana asing dalam Pemilu 2004 pun, yang sempat mencuat akhir-akhir ini, berakhir dengan sebuah antiklimaks; seolah-olah selesai hanya dengan kompromi kedua belah pihak. Pendekatan politik dipisahkan dari pendekatan hukum dalam mengatasi perseteruan tersebut. Ini semakin menunjukkan bahwa politik seolah-olah melulu berkaitan dengan bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh; bukan ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat. Akibatnya, ketika kompromi politik di kalangan elit terjadi, masalah seolah dianggap selesai; padahal masalah yang dihadapi rakyat (seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan dll) tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan.

Kalaulah nanti pendekatan hukum yang dipakai, ini pun tidak terlalu bisa diharapkan. Sudah bukan rahasia umum bahwa hukum dan peradilan sekular di negeri ini selalu gagal dalam mengadili kasus-kasus yang melibatkan para pejabat atau penguasa. Karena itu, pengusutan kasus dana dari DKP dan pihak asing kepada para capres dan cawapres pada Pemilu 2004 akan sulit dilakukan, sebagaimana sulitnya memberantas kasus-kasus korupsi para pejabat/penguasa selama ini. Di samping karena sistem hukum dan peradilannya bobrok, moralitas para aparat penegak hukumnya pun runtuh. Jaksa Agung Hendarman Supandji hari Jumat (25/5) di Jakarta mengungkapkan, “Jaksa-jaksa di DKI paling tinggi melakukan pelanggaran.” Ada 166 jumlah laporan jaksa nakal se-Indonesia hanya dalam jangka waktu Januari-Maret saja (Republika, 26/05/07). Sekali lagi, semua itu mereka lakukan seolah-olah Allah SWT tidak melihatnya.

Budayakan Sikap Murâqabah

Jelas, ada suatu yang salah dari keberislaman umat di negeri ini. Dalam hal ini, sikap murâqabah (selalu merasa dekat dan diawasi Allah), sebagai konsekuensi keimanan seorang Muslim, seolah tidak tampak dalam kehidupan kaum Muslim saat ini.

Mungkin dari kita hari ini sudah lupa tentang ihsân yang telah berabad-abad diajarkan Baginda Rasul saw. Diriwayatkan, ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul—yang ternyata adalah Malaikat Jibril—tentang ihsân. Laki-laki itu bertanya kepada Rasul, “Ceritakanlah kepadaku tentang ihsân.” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kita juga mungkin lalai bahwa segala gerak lahiriah dan batiniah kita akan dimintai tanggung jawabnya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلئَِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. (QS al-Isra’ [17]: 36).

Sabda Nabi saw. dan firman Allah SWT di atas seharusnya menjadikan setiap Muslim, rakyat biasa ataupun pejabat/penguasa, di mana pun dan kapan pun berada, harus memiliki kesadaran bahwa dia selalu diawasi oleh Allah SWT. Allah tidak pernah lengah terhadap segala apa yang kita perbuat. Singkatnya, sikap murâqabah harus membudaya.

Sikap dan budaya murâqabah ini tidak akan muncul jika tidak didorong oleh keyakinan dan keimanan yang kuat dan produktif. Keimanan semacam ini didapat melalui proses berpikir yang mendalam, bukan karena faktor pewarisan. Terdapat ratusan ayat bertemakan keimanan yang senantiasa dikaitkan dengan proses berpikir. Banyak ayat al-Quran sering mengambil tema tentang lingkungan, kehidupan, alam semesta, dan apa saja yang ada pada diri manusia untuk menuntun dan mengajak manusia berpikir, yang mengarahkan pada keimanan yang hakiki. Imam Syafii pernah menyatakan, “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk makrifat kepada Allah…Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

Dengan proses berpikir yang mendalam inilah akan muncul sebuah keimanan yang kokoh dan produktif. Keimanan yang demikian akan menjadi landasan bagi ketundukan dan kepatuhan hawa nafsu seorang Muslim terhadap syariah Allah SWT. Dengan begitu, seorang Muslim, dengan penuh kesadaran, sekuat tenaga selalu berusaha menyelaraskan segala aktivitasnya dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Lebih dari itu, Islam tidak pernah membiarkan seseorang yang mengaku beriman tanpa ada kejelasan tolok ukur dalam perbuatannya. Baginda Nabi saw. menjuluki orang yang tidak bisa mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik dan lisan sebagai orang yang lemah iman (adh‘af al-imân). Lalu bagaimana kadar keimanan orang yang jelas-jelas menganjurkan kemungkaran dengan menerapkan hukum-hukum asing di negeri ini? Bagaimana tingkat keimanan seorang yang mencabik-cabik hati dan perasaan kaum Muslim dengan menyetujui Resolusi PBB No 1747 yang menghukum Iran? Adakah masih tersisa keimanan seorang Muslim yang menjual harta dan kekayaan umat kepada asing melalui berbagai UU yang mereka sahkan?

Budaya Murâqabah Harus Disertai dengan Penerapan Syariah

Mewujudkan sikap dan budaya murâqabah (selalu merasa diawasi Allah SWT) dalam kehidupan bukanlah perkara mudah. Peran bersama individu, kontrol masyarakat dan penegakkan hukum Islam oleh negara mutlak diperlukan.

Secara individual, agar kesadaran individu terwujud diperlukan adanya upaya pendidikan dan pembinaan serius yang berkesinambungan dengan berbagai cara dengan wasilah yang beragam. Pembinaan yang dilakukan harusnya memiliki karakter mendasar dengan proses berpikir yang jernih. Dengan begitu, keimanan yang mendalam bisa ditanamkan. Dengan itu pula seorang Muslim akan selalu terdorong untuk terikat dengan seluruh aturan Allah SWT.

Namun demikian, karena karakter manusia yang mudah berubah, hawa nafsunya pun sering cenderung memerintahkan kejahatan, maka jelas diperlukan kontrol dari sesama Muslim atau masyarakat. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).

Yang lebih penting dari sekadar peran individu dan kontrol masyakat, tentu saja adalah penegakan hukum oleh negara (pemerintah/penguasa). Hukum yang dimaksud tentu adalah hukum Allah, bukan hukum sekular buatan manusia yang terbukti lemah dan tidak bisa diharapkan dalam mengadili manusia sekaligus mengatasi berbagai persoalan mereka. Di sinilah penting dan wajibnya negara menerapkan syariah Islam. Hanya syariah Islamlah, yang notabene merupakan hukum Allah, yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan manusia, karena memang bersumber dari Pencipta manusia.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Murâqabah tanpa kontrol masyarakat dan penegakkan syariah oleh negara hanya akan seperti upaya tambal-sulam; tentu tidak akan bisa diharapkan dapat mengatasi segala penyimpangan dan pelanggaran terhadap syariah-Nya.

Karena itu, masihkan kita berpangku tangan dan belum tergerak untuk segera menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan?!

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika dia menyeru kalian pada sesuatu yang bakal memberikan kehidupan bagi kalian (QS al-Anfal [8]: 24). []

Komentar Al-Islam:

Presiden SBY: Umat Islam terlihat lemah karena dianggap lemah (Republika, 29/5/07).

Umat Islam lemah karena pemimpinnya juga lemah, mudah tunduk pada kekuatan asing.

11 comments

  1. Introspeksi yuk …

  2. nashrullah-Sda

    Saudaraku, Maha Suci Alloh yang telah mengkaruniakan kita akal, akal yang membedakan kita dengan hewan, Alloh mengkaruniakan akal tidak lain dalam rangka menopang pengabdian kita pada Alloh SWT, yang merupakan tujuan utama kita diciptakan Nya,
    sungguh bisa dibayangkan seandainya kita yang Alloh berikan potensi ruhiyah (ghorizah tadayyun) hidup tanpa modal akal, mungkin kita saat ini tengah khusuk menyembah ibu kita, karena dalam pandangan kita dialah yg menyebabkan kita ada, atau mungkin kita saat ini tengah asyik “menggauli” anak perawan kita sebagai salah satu bentuk ritualisme yang kita buat sendiri, na’udzubillah.
    Artinya, seluruh potensi yang Alloh berikan kepada kita harus ada dalam kendali akal kita, akal pula yang berperan menggali kebenaran dan memahami aqidah yang lurus. sehingga kita bisa mengenal Alloh, mengenal aturan-aturanNya, mengenal hukum-hukum Nya.
    Saudaraku, berbagai fonemena memprihatinkan di negeri kita disebabkan karena pemimpin-pemimpin kita jelas tak menjadikan aqidah islam sebagai dasar pemikiran mereka, atau lebih ekstrim karena pemimpin-pemimpin kita belum sadar bahwa untuk memimpin ummat ini mereka harus jangan enggan menggunakan akal mereka, jangan karena terlalu sibuk dengan “politik kerakusan” menjadikan petensi akalnya terkebiri, saya yakin kalau akal yang merupakan nikmat terbesar dari Alloh mereka gunakan pasti mereka akan menemukan pemikiran yang sesuai dgn fitrah, logis, serta menenangkan hati. yaitu pemikiran islam.
    Yang menyedihkan lagi arah pendidikan di lembaga pendidikan formal pun tak sedikitpun mengarah pada penyadaran. akhirnya siklus kemungkaran betul-betul telah tersistemik. Saat ini kita mendapatkan petak wilayah dakwah penyadaran umat di luar sitem, di luar kubangan lumpur, manfaatkanlah semaksimal mungkin. insya Alloh kita berharap sebentar lagi anak-anak yang kita lahirkan tak pernah berjumpa dan tak pernah mengenal sistem bobrok ini . Amin

  3. galuh sawitri

    qta sebagai seorang muslim ato muslimah harus percaya dan yakin bahwa seluruh prilaku kita setiap saat selalu dilihat oleh Allah SWT. kalo qta sll yakin dan percaya akan hal tersebut maka insya allah ga bakal tercipta pribadi yang punya sifat suka korup, suka nilep duwit rakyat, ga mikirin penderitaan orla. seandainya saja pada diri para penguasa terdapat kesadaran muraqabah, pasti mreka pasti takut klo mau maksiat.

  4. betul kata mba galuh…seharusnya memang setiap muslim menyadari akan hubungannya dg Alloh, dan selalu merasa diawasi..karena keyakinannya bahwa segalanya akan dipertangungjawabkan kelak dihadapan Alloh…jika ini sudah tertanam di benak para pejabat kita..maka yakinlah..bukan saja korupsi akan tuntas..tapi mereka akan berbondong2 unruk segera mengganti sistem kufur di negara kita dengan sistem Alloh (Syari’ah Islam)

  5. nindya kayla

    sayang disayang…. kita banyak menghujat tentang berbagai kerusakan dan keterpurukan umat, tapi kita jarang mengaitkannya dengan kedekatan diri sendiri dengan al-Khaliq. seolah tak ada sebab-akibat di antara keduanya.
    mereka berani bilang: politik tentang kepentingan orang banyak, dan karena itulah politik sering tidak memuaskan; tanpa menilik lebih jauh bahwa ketidakpuasan orang thd politik bukanlah karena politik itu sendiri melainkan karena ketidakbecusan “sistem politik yang diberlakukan”. yah… apa boleh buat, kita harus selalu menyampaikan, karena, kata “politik” sudah telanjur ditemukan….

  6. Saya suka dengan ulasan ini yang merupakan cerminan interna terhadap kaum/agama sendiri.
    Menurut saya keterbukaan untuk menilai agama sendiri itu merupakan wujud kejujuran kita. Yang bisa mengendalikan orang Islam tidak berbuat maksiat adalah orang Islam sendiri. Demikian juga dengan kaum lain. So,,,,mulailah dari diri ANDA dan SAYA untuk berbuat baik.

  7. terapkan syariat Islam dan tegakkan Khilafah Islamiyah maka muroqobah akan benar2 terwujud di seluruh permukaan bumi

  8. masalahnya budaya bangsa kita menyikapi krisis ini dengan keburukan bukannya hijrah menuju sistem yang baik.

  9. Astaghfirullahal’adziim
    Wallahu a’lam bisshawab.

  10. Ya Allah, berikanlah Rasa Cinta di hati dalam menjalankan segala Perintah-Mu dan berikanlah Rasa Takut di hati jika hamba melakukan maksiat kepada-Mu.

  11. Hutzzz, ada 4JJ1 yang melihat kita. Lakukan yang benar saja sesuai dengan syari’at Islam. Btw, aku sendiri masih labil. Tp g pa-apa, kan g ada manusia yang sempurna. Sure, semaksimal mungkin aku usahain jadi hamba Allah yang takwa. Doain yah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*