Masyarakat
Paradigma Kepemimpinan Kuat dan Amanah
Berbicara tentang kepemimpinan, ada tiga hal yang harus dimiliki: (1) kualitas dan integritas orang yang memimpin (person); (2) sistem yang diterapkan; dan (3) sikap pihak yang dipimpin.
Pertama: pemimpin. Islam menegaskan pentingnya kualitas dan integritas diri pemimpin. Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi menjadi pelayan masyarakat yang dicintai dan mencintai dengan syariah Islam, bukan dengan mengeksploitasi ambisi. Rasul saw. bersabda:
«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَ.سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Sesungguhnya kalian akan memiliki ambisi untuk dapat memegang suatu jabatan. Padahal pada Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi suatu penyesalan. (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Sebaliknya, pemimpin yang menipu rakyat, bermuka dua, atau menjadi antek asing tidak bisa diharapkan dapat mendatangkan kebaikan. Karena itu, wajar Allah mengharamkan baginya surga. Rasul saw. bersabda:
«مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Baldah thayyibah akan terwujud jika pemimpinnya mendudukkan diri untuk melayani umat dengan sepenuh hati, melindungi masyarakat dengan sekuat tenaga, memenuhi kebutuhan pokok individu dan memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier, serta merealisasikan tujuan luhur syariah dengan menerapkan syariat Islam.
Kedua: sistem. Nabi Muhammad saw., jauh sebelum diangkat sebagai nabi, sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari ‘Al-Amin’. Namun, Allah Swt. tidak hanya mencukupkan pada karakter pemimpin semata. Dia menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Beliau mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Tentu diperlukan sistem dan aturan yang juga baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat Yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem Kekhilafahan. Ketika kerusakan terjadi, manusia disuruh kembali pada aturan dan hukum-Nya. Bukankah Dia Yang Mahaperkasa menyatakan:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, jalan Allah). (QS ar-Rum [30]: 41).
Ketiga: koreksi dari rakyat, termasuk ulama. Pemimpin bukanlah malaikat. Karenanya, ia bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kezaliman akan menjadi hal yang dianggap wajar belaka. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Kata Nabi saw., “Siapa saja yang melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah, menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan perkataan ataupun perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat mereka masuk.” (Lihat: Ath-Thabari dalam At-Tarikh).
Ringkasnya, baik-buruk, benar-salah, dan kuat-lemah pemimpin bergantung pada pemimpin itu sendiri, sistem yang diembannya, dan sikap dari masyarakat yang dipimpinnya.
Akar Kelemahan Kemimpinan
Berdasarkan kerangka di atas, kelemahan suatu kepemimpinan disebabkan oleh lemahnya pribadi pemimpin, buruknya sistem yang dijalankan, dan sikap rakyat atau masyarakat yang cenderung tak acuh.
Faktor kelemahan pertama seorang pemimpin adalah tidak mandiri. Ia bergantung pada negara besar, bahkan menjadi antek penjajah. Keputusan yang diambil selalu melihat sikap negara besar. Sebagai contoh, yaitu saat Presiden Indonesia mendukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) nomor 1747 yang memberikan tambahan sanksi kepada Iran. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa Amerika Serikat (AS) sedang mencari legitimasi internasional untuk menyerang negeri Muslim Iran. Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng pun mengakui dalam wawancara media
Selain ketergantungan pada negara lain, penguasa yang tidak tegas dan berani akan menjelma menjadi pemimpin yang lemah; tidak akan bisa mengatakan “Tidak!” Sejatinya, ketegasan ini ditunjukkan dengan berpegang pada kebenaran. Salah, katakan salah; benar, katakan benar. Tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah Swt. Konsekuensinya, penerapan hukum tidak boleh tebang pilih. Playboy
Lebih tragis lagi adalah pemimpin yang tidak memiliki visi yang jelas. Arah
Sering kepemimpinan yang lemah adalah karena tidak adanya kesadaran ideologis dan politis. Langkah-langkah yang dilakukan lebih bersifat pragmatis. Pikirannya tertuju pada mempertahankan kekuasaan, memenangkan Pemilu, mengembangkan bisnis keluarga atau partainya, dll; atau aktivitas yang dilakukannya hanya sekadar untuk menyenangkan pihak asing. Jika ini terjadi, hakikatnya pemimpin tersebut merupakan ’budak’ yang tidak memiliki kemandirian. Apalagi jika dalam kepemimpinannya tidak menjadikan Islam sebagai landasan, tidak takut akan siksa Allah ketika melanggar syariah-Nya. Karenanya, pemimpin seperti ini tidak dapat diharapkan membawa kebaikan dalam kepemimpinannya.
Belum lagi sistem yang diterapkannya adalah sistem warisan kolonial. Penjajah angkat kaki, namun aturannya tetap diterapkan. Sekularisme diterapkan. Konsekuensinya, pada masa Orde Lama, umat Islam dipinggirkan. Pada masa Orde Baru, umat Islam dicurigai dan diwaspadai serta dicap dengan tuduhan subversif. Berikutnya, pada masa Orde Reformasi umat Islam distigmatisasi dengan tuduhan fundamentalis dan teroris. Padahal mana ada aturan penjajah yang dibuat untuk memajukan rakyat jajahan? Selama sistem sekular warisan penjajah yang diterapkan, selama itu pula rakyat akan terjajah.
Celakanya, sistem yang buruk dengan pemimpin yang lemah justru dibiarkan. Rakyat tidak mengoreksinya. Ulama diam seribu bahasa. Wajar belaka, jangankan maju di mata dunia, dalam mensejahterakan rakyatnya saja penguasa sempoyongan. Itulah buah pahit kelemahan kepemimpinan.
Kepemimpinan Kuat dan Amanah dengan Islam
Kepemimpinan yang kuat dan amanah hanya akan lahir jika dasarnya adalah kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyah). Artinya, kepemimpinan harus dibangun oleh akidah Islam dan syariahnya. Pemimpin dan rakyat sama-sama memahami dan berpegang pada akidah dan syariah Islam. Pemimpin diikuti bukan karena akhlaknya semata, melainkan juga karena dia pengemban kebenaran. Begitu juga, pemimpin berkuasa bukan karena kekuasaannya belaka, melainkan karena amanahnya untuk menerapkan Islam. Tidak mengherankan, kepemimpinan seperti ini akan melahirkan rasa cinta di antara pemimpin dan rakyatnya. Sebab, tujuannya sama, yakni ingin masuk surga bersama-sama melalui ketaatan pada syariah-Nya. Tegas sekali, penjelasan dari Rasulullah Muhammad saw.:
«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ»
Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian. (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).
Jadi, langkah pertama yang ditempuh dalam membangun kepemimpinan adalah: jadikan kepemimpinan ideologis Islam sebagai landasan.
Kedua: tolak ideologi penjajah dan tegakkan sistem Islam. Rasulullah saw. mencontohkan hal ini. Di Makkah, Beliau menolak kekuasaan karena sistem kejahiliahan Quraisy masih bercokol. Berbeda dengan itu, Beliau justru menerima tawaran kekuasaan di Madinah pasca hijrah dengan menerapkan Islam secara kâffah. Sekularisme yang menopang kapitalisme, pluralisme, dan liberalisme harus ditolak. Pengganti tunggalnya adalah: jadikan akidah Islam sebagai landasan dalam kehidupan dan terapkan syariah Islam yang memberikan rahmat bagi masyarakat plural. Rombak sistem pendidikan materialistik, keluarga konsumeristik, ekonomi kapitalistik, dll dengan sistem Islam.
Ketiga: ciptakan sosok pemimpin yang baik. Untuk itu, perlu dibangun kesadaran ideologis dan politik penguasa. Rasulullah saw. sejak awal mengemban Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh dalam melawan ideologi Quraisy yang mendewakan manusia. Nabi saw. mendidik para Sahabat dengan al-Quran dan Sunnah, bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang harus menyeru manusia pada kebenaran; Islam adalah agama bagi seluruh manusia (kâffah li an-nâs); Islam diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya; kaum Mukmin lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan para penentang Allah; Romawi dan Persia akan ditundukan; Konstantinopel dan Roma akan digenggam kaum Muslim; dll. Lahirlah para khalifah dari kalangan Sahabat, Tâbi‘în, Tâbi‘ at-Tâbi‘în beserta generasi sesudahnya yang memiliki kesadaran ideologis dan politis.
Dicetak pula para pemimpin yang memiliki visi dan misi serta tegas dan berani. Mereka ditempa dengan akidah, sembari melaksanakan dan memperjuangkan syariah. Ketakutan mereka hanya kepada Allah. Sebaliknya, mereka gagah berani menghadapi kaum kafir imperialis. Betapa gagah beraninya Khalifah Abdul Hamid saat didesak oleh pimpinan Yahudi dukungan Inggris, Hertzl, yang meminta Beliau mengakui imigrasi orang-orang Yahudi ke Palestina. “Tanah Palestina bukanlah milikku. Ia adalah milik umatku,” tegasnya. Betapa canggihnya visi Khalifah Harun ar-Rasyid dengan membangun pusat ilmu pengetahuan di
Di antara misinya adalah melayani rakyat. Pemimpin Islam dicetak bukan untuk menjadi ahli kompromi politik atau mengadopsi kepentingan politisi, melainkan untuk menjadi pelayan rakyat. Caranya, terapkan sistem Islam yang menjamin hal tersebut terlaksana, mulai dari pemilihan sampai pengoreksian penguasa. Dengan cara itu, umat Islam dapat melahirkan Umar bin Abdul Aziz abad kini yang berhasil mengentaskan kemiskinan hingga tidak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat.
Keempat: ciptakan tradisi amar makruf nahi mungkar. Salah satu bentuk penting dari amar makruf nahi mungkar adalah mengoreksi penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Dalam Islam, masyarakat didorong untuk berkata baik sekalipun pahit, dan mengoreksi penguasa (QS Ali Imran [3]: 104). Partai politik/ormas maupun individu, termasuk ulama, akan meluruskan penyimpangan penguasa dari Islam.
Khatimah
Dengan cara seperti ini, berbagai kebaikan akan hadir di tengah umat. Kalau kita membaca buku-buku sejarah di seputar syariah dan Khilafah Islam yang ditulis oleh para sejarahwan yang jujur, kita akan segera menangkap sebuah kesimpulan, bahwa Khilafah Islam, dengan seluruh aspek syariah yang diterapkannya, telah mampu menciptakan kesuksesan dalam berbagai bidang. Banyak ilmuwan sejarah yang jujur, bahkan dari kaum non-Muslim sekalipun, yang mengakui kehebatan dan keagungan Khilafah dan syariahnya dalam menciptakan peradaban manusia yang penuh dengan kegemilangan. Will Durant, misalnya, menyatakan:
Sepanjang masa Kekhilafahan Islam para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya; menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya; memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka; menjadikan pendidikan menyebar luas hingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang membuat Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant, The Story of Civilization).
Wallâhu a‘lam. d