Terorisme Pasca Abu Dujana

 munarman.jpg14/06/2007 02:02
Jamaah Islamiyah dinilai tetap akan eksis tapi untuk sementara fokus dalam dakwah dan membangun organisasi. Tim advokasi Forum Umat Islam melihat ada sebuah pola dalam penangkapan Abu Dujana.

Liputan6.com, Jakarta: Petualangan Abu Dujana berakhir di Banyumas. Enam bulan menetap di Desa Kebarongan, Kemrajen, Jawa Tengah, polisi akhirnya mencium keberadaan pria yang disebut-sebut sebagai salah satu perencana serangan teror paling mematikan sepanjang sejarah Indonesia ini. Penangkapan ini mengakhiri pencarian panjang polisi atas gembong teroris nomor satu di Tanah Air.

Penangkapan Abu Dujana dinilai tak berpengaruh besar terhadap kekuatan Jamaah Islamiyah (JI). Sebab JI bukan hanya organisasi teroris tapi punya jaringan sosial dan ekonomi “JI akan eksis walaupun mungkin sementara fokus dalam dakwah dan membangun organisasi,” ujar peneliti terorisme dari International Crisis Group (ICG) Sidney Jones dalam dialog di Topik Minggu Ini, Rabu (13/6) malam.

JI akan merekrut pengganti Abu Dujana. Calon pengganti Abu Dujana yang tahu banyak tentang struktur JI diperkirakan adalah Nuaim alias Abu Irsyad. Pasalnya warga Jakarta ini adalah alumni Afghanistan dan sudah lama bergerak dalam lingkaran komando sentral JI. “Dia kemungkinan besar menjadi tokoh yang top dalam JI,” ujar peneliti asal Amerika Serikat ini.

Tim advokasi Forum Umat Islam, Munarman menilai ada sebuah pola dalam penangkapan Abu Dujana. Sebab opini lebih dulu dipublikasikan lalu konstruksi hukum baru disusun. Munarman mencontohkan perubahan Yusron menjadi Abu Dujana bukan melalui proses hukum tapi pengembangan opini. “Ada kecenderungan perang terhadap terorisme dibimbing sebuah skenario di luar hukum,” ujar dia.

Menurut Munarman, pola ini membuat perburuan para tersangka terorisme hanya mengarah kepada kelompok-kelompok tertentu. “Ini yang membahayakan karena polisi mengerjakan sesuatu dalam skenario yang sangat besar,” kata Munarman. Dia menambahkan, pemberantasan terorisme harus dapat dikaitkan dengan kepentingan bangsa bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan Barat.

Munarman mengaku pernyataannya berdasarkan abtraksi dalam ICG. Dalam abstraksi itu disebutkan, polisi akan menonaktifkan orang yang bertekad menyerang kepentingan Barat. “Orang yang disasar adalah yang ada dalam struktur JI, terlibat atau tak terlibat tidak menjadi soal,” ungkap dia, sambil menambahkan, “Di pengadilan tidak terbukti terkait terorisme yang ada hanya soal pemalsuan KTP (kartu tanda penduduk), paspor, dan lain-lain,”.

Lebih jauh Munarman mengatakan, perang terhadap terorisme ini adalah metode AS dan sekutunya dalam rangka menjaga dominasinya menguasai dunia. Sebab musuh dahulu mereka yakni komunisme berhasil diruntuhkan. “Sekarang AS dan sekutu tak mau terang-terangan menyatakan musuhnya sistem dan ideologi Islam, maka dibuat skenario besar yang menyasar gerakan-gerakan Islam,” kata dia.

Indonesia dinilai menjadi agenda penting skenario itu. Selain posisi strategis, mayoritas warganya adalah muslim. Keberhasilan di Indonesia menjadi pioner bagi sistem pengembangan AS dalam masyarakat Islam. Karena itu, pria yang tak percaya adanya JI ini meminta polisi bekerja sesuai KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan memberi akses ke keluarga dan pengacara tujuh hari setelah penangkapan.

Adanya “tangan-tangan” yang bermain di belakang berbagai peristiwa teror di Tanah Air dibantah keras Jones. Menurut Jones, banyak gerakan yang lahir di Indonesia yang radikal dan ekstrem. Organisasi ini berniat untuk jihad terhadap AS dan negara yang menjadi musuh-musuh Islam. “Saya tidak melihat ada tangan luar di belakangnya ini murni ideologi,” ujar peneliti AS ini.

Menurut Jones, tidak terbuktinya para tersangka dengan aksi pengeboman karena pengadilan di Tanah Air masih lemah. Alhasil mereka hanya divonis bersalah dalam masalah pemalsuan kartu tanda penduduk, paspor dan juga keimigrasian. Selain pengadilan, Jones juga miris dengan para petugas di lembaga pemasyarakatan. Para sipir tidak bisa mengontrol bahasan para tersangka terorisme di bui.

Jones mencontohkan, tersangka terorisme di LP Sukamiskin Bandung dapat dengan mudah mengakses internet kemudian menerjemahkannya dari bahasa Arab ke Indonesia. Kumpulan terjemahan itu lalu dibuat sebuah buku. Selain itu tersangka terorisme juga dapat menjadi narasumber dalam sebuah pengajian. Jones berharap, kerja jaksa serta petugas penjara menjadi lebih baik lagi.

Abu Dujana dikenal sebagai administratur ulung. Di usia yang sangat muda, dia telah menduduki jabatan kunci dalam Jamaah Islamiyah. Dalam bekerja Dujana dikenal rapi dan nyaris tidak pernah meninggalkan jejak. Nama Dujana mulai terdeteksi sejak Bom Bali I. Polisi menyebutkan sebelum bom meledak, Dujana bertemu Muchlas, otak serangan dan Zulkarnaen pimpinan laskar militer JI.

Laporan ICG menyebutkan Doktor Azahari dan Noordin M. Top pernah berkonsultasi dengan Dujana sebelum membom Hotel JW Marriott, Jakarta. Kepemimpinan yang kuat dan keahliannya sebagai administratur membuat posisi Dujana melesat. Dia menjabat sekretaris JI pada 1998. Ketika itu lingkaran dalam JI masih dihuni tokoh senior seperti Muchlas dan Abu Fatih [baca: Yusron Dipastikan Abu Dujana].

Belakangan Abu Dujana disebut telah dibaiat sebagai pimpinan sayap militer JI menggantikan Zulkarnaen. Dujana sempat membuat sebuah tulisan berjudul Manual Kecil untuk Mujahidin Kota. Buku ini berisi panduan teknis serta sangat detail menjelaskan apa saja yang mesti dipersiapkan untuk menjadi mujahidin kota. Selain itu persiapan melaksanakan aksi teror.

Dalam struktur JI, Dujana membawahi Sarwo Edi dan Akhyas. Sarwo Edi adalah salah satu orang kepercayaan Dujana. Lelaki yang ditangkap pekan pertama April silam ini pertama kali bertemu dengan Dujana saat pelatihan militer di Filipina. “Pulang dari sana blank, baru ketemu lagi tahun 2005,” kata lelaki yang bertugas melatih beladiri kader-kader JI ini.

Menurut Sarwo Edi, mereka selalu berpindah-pindah dalam latihan. Materi latihan pun tak melulu soal teknik-teknik tempur. Pasalnya keterampilan yang menunjang untuk bertempur juga diperlukan seperti berenang dan beladiri. “Latihan-latihan yang menjurus militer, setahun paling banter dua kali,” ujar dia. Dia menambahkan, peserta diharapkan menjadi mujahid yang mampu bertempur.

Lebih jauh dia mengatakan, latihan itu adalah bagian dari menjalankan perintah Allah. Sebab ketika jihad belum mampu, maka harus dilakukan persiapan. Selain di Tanah Air, jihad dapat dilakukan di luar negeri karena solidaritas muslim bersifat universal. “Berjihad harus karena merupakan suatu kewajiban. Perintahnya jelas sebagaimana perintah salat,” ujar Sarwo.(JUM)

Sumber : http://www.liputan6.com/view/8,142990,1,0,1183043022.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*