Pengantar
Krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi di negeri ini, juga di negara lain. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu juga sudah memberikan warning tentang kemungkinan bakal muncul krisis ekonomi jilid 2. Bagaimana ini bisa terjadi ? Bagaimana pula solusinya yang sangat mendasar menurut Islam ? Untuk menjawab pertanyaan diatas , Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto memberikan pandangan yang tajam seputar persoalan ini. Berikut petikan wawancara redaksi dengan beliau.
Krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi di negeri ini juga negara lain. Krisis ekonomi kelihatannya menjadi siklus yang terus berulang secara berkala. Bagaimana menurut pandangan Ustadz?
Benar, krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu juga sudah memberi warning, tentang kemungkinan bakal munculnya krisis ekonomi jilid 2. Dan benar pula bahwa krisis ekonomi ini memang akan terus berulang secara berkala. Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku Ilajul Musykilah al-Iqtishadiyah bi al-Islam, menyebut krisis dalam sistem ekonomi kapitalis itu memang bersifat siklik. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah putaran menuju puncak untuk kemudian jatuh ke lembah krisis kembali. Begitu seterusnya.
Krisis ekonomi yang bersifat siklik itu terjadi di semua negara di seluruh dunia. Hanya saja, kurun siklusnya berbeda-beda. Untuk negara-negara maju dengan fundamental ekonomi yang cukup baik seperti Jepang atau negara di Eropa dan Amerika Serikat, kurun siklusnya sekitar 25 tahunan. Sementara Indonesia, Thailand dan negara serupa, kurun putarannya sekitar 7 tahun. Indonesia pernah mengalami krisis meski tidak terlalu parah di tahun 90-an. Perbaikan terus berlangsung, tapi pertengahan 97, seperti kita tahu, krisis ekonomi hebat melanda Indonesia. Setelah itu, seperti yang terjadi sebelumnya, di saat recovery belum lagi sempurna, goncangan kembali terjadi di sekitar tahun 2005, utamanya setelah kenaikan BBM. Menerus hingga sekarang. Ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan yang terus meningkat, pertumbuhan ekonomi yang melambat sehingga pengangguran terus membengkak.
Apakah itu memang menjadi karakter sistem ekonomi kapitalis?
Ya. Salah satu penyebab utama adalah adanya praktik riba dan judi, dimana keduanya itulah yang membentuk sektor non riil dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (dan juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran mereka, baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital harus menghasilkan uang. Dan “investasi” di sektor bukan produksi atau di sektor non riil, saat ini memang cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai ekonomi balon (bubble economy).
Ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Allais Maurice, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1997, yang melibatkan 21 negara besar, menunjukkan bahwa uang yang beredar di masyarakat (sebagai private goods) jauh lebih banyak dari pada yang berputar di sektor riil (sebagai public goods). Menurutnya, uang yang beredar di sektor non riil tiap hari mencapai lebih dari 440 milyar US dollar, sedang di sektor riil hanya sekitar 30 milyar US dollar atau kurang dari 10% nya. Dan yang paling menghawatirkan adalah adanya praktik kredit derivatif sebagai salah satu instrumen keuangan mutakhir. Menurut data Morgan Stanley (S. Sairin, 2002), nilai kredit derivatif pada Desember 1998 hanya Rp 500 trilyun, tapi pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 trilyun atau naik 47.000%. Hal ini membuat fungsi uang sebagai lokomotif penggerak kegiatan ekonomi tidak lagi efektif karena telah berubah fungsi menjadi komoditas. Bila beredarnya uang diharap akan menyebarkan kemakmuran dan mengurangi pengangguran, maka harapan itu kini tidak lagi dapat diujudkan.
Keadaan serupa terjadi di Indonesia. Ada lebih dari Rp 230 triliun dana masyarakat yang dikumpulkan oleh berbagai bank dengan susah payah, juga Rp 90 triliun dana milik Pemda seluruh Indonesia, yang ternyata idle (menumpuk tak bergerak) di Bank Indonesia. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Bila di tahun 2000, setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja, tahun 2003 menurun menjadi hanya 253.000, tahun 2001 turun lagi hanya 248.000, bahkan tahun 2006 lalu pertumbuhan 1% hanya membuka 42 ribu.
Sementara itu, di lantai bursa setiap hari beredar uang hingga Rp 3 triliun. Kapitalisasi bursa saham di Indonesia memang terus meningkat. Bila tahun 2005 lantai bursa menyumbang 36% dari PDB, tahun 2006/2007 ini, bursa saham Indonesia menyumbang 42 % PDB atau sekitar Rp 1.800 triliun. Tapi meski begitu, keadaan ini tidak menggembirakan Wapres Jusuf Kalla karena perfomance bursa saham Indonesia yang katanya termasuk paling bagus di dunia, tidak otomatis mempengaruhi sektor riil. Bila pasar modal tidak dapat menggerakkan sektor riil, maka pasar modal tidak ada artinya, cetus Jusuf Kalla di depan Indonesia Investor Forum di Jakarta akhir Mei lalu. Karenanya ia menghimbau agar bursa saham memperhatikan sektor riil – sebuah himbauan yang sia-sia karena keduanya memang tidak berhubungan.
Apakah bisa dikatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis itu sistem yang rapuh Ustadz?
Ya, sangat rapuh. Bukan hanya rapuh, sistem ekonomi kapitalis juga bersifat self-destructive (menghancurkan diri sendiri). Inilah watak dasar dari sistem sekuler apapun. Dia tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan manusia secara menyeluruh dan secara benar. Alih-alih bisa menyelesaikan persoalan, sistem ekonomi kapitalis secara faktual justru telah menimbulkan berbagai persoalan yang bukan alang kepalang di berbagai belahan dunia. Kemiskinan dan kesenjangan kaya miskin, kerusakan lingkungan, proses dehumisasi, bahkan perang dan penindasan ada di mana-mana.
Faktor apa saja yang menyebabkan kerapuhan itu? Bisa dijelaskan Ustadz?
Banyak. Tapi saya ingin menyebut dua faktor utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri, sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Dan bila mata uang tidak stabil, maka kegiatan ekonomi secara keseluruhan juga tidak akan pernah stabil karena mata uang ibarat kereta adalah lokomotif penggerak gerbong kegiatan ekonomi. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing), dijadikan komoditas judi (dalam bursa saham dan kegiatan sejenis – yang oleh Allaise Maurice disebut a big casino) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Dengan kata lain, yang menjadi pemicu terjadinya krisis ekonomi adalah sektor non riil atau moneter, yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik dan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dollar AS.
Dari pengalaman krisis tahun 1997 lalu, jelas terbukti bahwa bunga bank memang selalu akan memberikan tekanan kepada kegiatan ekonomi. Maka dengan sendirinya jelas pula bahwa sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah tidaknya, serta sehat tidaknya kegiatan ekonomi masyarakat. Riba memang akan selalu menjadi sumber labilitas ekonomi. Tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat.
Kalaupun suatu ketika tampak sehat, ia sesungguhnya sedang menuju ke satu titik kolaps setelah mencapai puncaknya dari sebuah siklus krisis ekonomi, dimana kemajuan ekonomi yang dialami terus menerus selama beberapa tahun akan berbalik dan terhenti sebagaimana sudah disinggung di muka.
Maka dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al Qur’an menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan setan. Ketidakstabilan ini sering disebut dengan random walk, suatu istilah statistik yang mengambarkan langkah-langkah yang tidak berpola persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat.
Dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan dari Allah, diancam akan dimasukkan ke neraka. “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata sesngguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 275-276).
Dan yang terpenting dari semua itu, adalah bahwa memperlakukan uang sebagai komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah dosa besar, yang dosanya menurut hadits lebih besar dari berzina dengan ibunya sendiri. Allah mengutuk orang yang terlibat dalam mekanisme keuangan ribawi. Ketentuan ini secara empiris bisa difahami, karena dijalankannya sistem ribawi akan membawa kehancuran seluruh tatanan ekonomi masyarakat secara luas seperti yang kini tengah terjadi. Rosulullah SAW sudah memperingatkan ancaman ini dalam hadistnya :
« الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا ، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ »
Riba itu terdapat 73 pintu, dan yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seorang laki-laki yang mengawini ibunya (Hr. al-Hakim dan al-Baihaqi);
“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi, saksi-saksinya dan penulisnya” (HR Bukhari dan Muslim)
Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan praktek ekonomi ribawi. Bila tidak, ancamannya di dunia dan akherat sungguh sangat pedih.
« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »
Jika telah nampak nyata zina dan riba di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan sendiri (diturunkannya) azab Allah (kepada mereka) (Hr. al-Hakim)
Seperti apa solusi Islam terhadapnya? Dan bagaimana penjelasan secara rasional ketahanan ekonomi itu bisa diwujudkan oleh sistem ekonomi Islam Ustadz?
Secara i’tiqadi, sebagai sistem yang diturunkan oleh Allah, sistem ekonomi Islam pasti paling baik dan memiliki ketahanan tinggi. Islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat dan pemikiran Islam serta hukum Islam. Membatasi perbuatan ekonomi dengan syariat Islam sebagai undang-undang yang membolehkan apa yang dibolehkan Islam dan membatasi apa yang harus dibatasi. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak berhenti di dunia saja, tapi sampai ke negeri akhirat karena semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sana kelak.
Keyakinan Islam juga mengatakan bahwa syariah pastilah membawa rahmah. Artinya, di dalam syariat pasti terkandung kebaikan-kebaikan. Bila syariah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka kebaikan-kebaikan itu akan dirasakan baik oleh individu maupun masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah (al-hasan ma hassanahu al-syar’u, al-qabih ma qabbahahu al-syar’u). Jadi, melaksanakan sistem ekonomi Islam berarti adalah melaksanakan syariah Islam di bidang ekonomi.
Dalam hal moneter, Islam membedakan antara money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedang capital sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat, maka penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian maka akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, dishadaqahkan atau dipinjam(qard)kan tanpa memungut riba, dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.
Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syarikah, yakni melakukan kerjasama bisnis dengan orang dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syarikah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.
Apakah sistem ekonomi Islam bisa mensolusi semua problem itu?
Tentu bisa. Sangat bisa. Mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang paling penting adalah meluruskan pandangan yang keliru tentang uang tadi. Bila uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dibuat dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham dimana 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar’iy beratnya 2,975 gram perak), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan oleh hanya sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar (misalnya bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti saat ini.
Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa — bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat sehingga lapangan pekerjaan terbuka, pengangguran bisa ditekan, kesejahteraan masyarakat meningkat.
Dan pada akhirnya, krisis sosial (kriminalitas, perceraian, stress pada masyarakat dan sebagainya) dapat dihindari. Semua pertumbuhan itu berlangsung secara mantap (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi balon (bubble growth) yang semu dalam sistem kapitalistik yang bersifat siklik tadi.
Dengan mata uang dinar dan dirham, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997 Insya Allah juga tidak akan terjadi.
Apakah nilai dinar atau dirham bisa menurun ?
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang di samping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin. Di sinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar’iy pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Bagaimana dengan institusi perbankan ?
Dunia perbankan juga harus segera ditata. Mempertahankan keberadaan bank konvensional yang berbasis riba jelas merupakan kebijakan yang wajib dipersoalkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional. Akibat krisis itu, 16 bank dilikuidasi pemerintah, dan 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997. Sementara 13 bank diambil alih (BTO). Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada akhir Desember 2000. Jumlah bank swasta menciut dari 160 bank menjadi hanya 81 bank. Bank pemerintah dari 7 menjadi 5 (Kompas, 29 Juli 2001). Kondisi perbankan nasional saat ini, ibarat pasien, memang belum jadi mayat, tapi sudah terbaring koma di Unit Gawat Darurat, dan sewaktu-waktu bisa kritis lagi.
Bila bank diidealkan sebagai lokomotif penarik laju kegiatan usaha masyarakat, kini lokomotif itu justru harus didorong dan ditarik untuk bisa melaju dengan energi yang sangat besar. Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember 2000 pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 trilyun. Jumlah itu sudah termasuk dana yang dikeluarkan pemerintah untuk penjaminan (blanket guarantee) atas simpanan pihak ketiga dan kreditor di bank-bank bermasalah. Rinciannya, untuk penjaminan pemerintah Rp 218 trilyun, kredit program Rp 10 trilyun, untuk rekapitalisasi bank-bank pemerintah Rp 283 trilyun, rekapitalisasi tujuh bank swasta Rp. 33 trilyun, rekapitalisasi bank yang diambilalih pemerintah (BTO) Rp 106 trilyun, rekapitalisasi bank-bank pembangunan daerah (BPD) Rp 1 trilyun serta obligasi untuk bank-bank non rekap Rp 9 trilyun.
Sampai kapan pemerintah akan terus menerus mem-back-up bank-bank konvensional yang nyata-nyata memang telah demikian terpuruk, yang ibarat lokomotif tadi, jangankan untuk menghela gerbong panjang perekonomian nasional, untuk menarik tubuhnya sendiri saja rasanya berat sekali? Dan berapa banyak lagi uang yang harus digelontorkan untuk itu semua, sementara untuk sekadar menghemat dana subsidi BBM yang paling banyak berjumlah Rp 17 trilyun, pemerintah tega menaikkan harga BBM lebih dari 100% pada tahun 2005 yang dampaknya sangat memukul perekonomian masyarakat secara keseluruhan?
Fakta empirik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan konvensional yang berbasis bunga ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negative-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank berdarah-darah beberapa tahun lalu, jelas bukan karena faktor moral hazard semata, tapi yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive tadi. Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Dan bagaimana ekonomi akan berjalan baik bila bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil?
Oleh karena itu, demi tercapainya kondisi perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya secara lebih baik, pengelolaan lembaga keuangan sesuai prinsip-prinsip syariah semestinya bukan merupakan salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan. Sehingga dalam setiap regulasi, kebijakan pemerintah dan struktur bank sentral hanya tersedia satu pilihan: bank syariah. Artinya, bank syariah lah anak tunggal dunia perbankan Indonesia, menggantikan bank konvensional berbasis riba yang secara normatif jelas terlarang dan secara empirik seperti yang saat terjadi telah terbukti mempurukkan kita semua.
Na’am.PIlih Sistem kapitalis bikin hidup lebih “miris”, pilih Islam masa depan cemerlang dalam genggaman !!!
Ayo, kita bangun sistem ekonomi berdasarkan Islam agar kita bisa maju seperti negara-negara Islam lainnya.
btw ada negara Islam yang masuk G-8 nggak ya?
Sudah ada sistem ekonomi yg jelas prospektif, malah pilih ekonomi pembangkrutan. (Soalnya yg bangkrut kan orang lain, alias rakyat/negara, asal pejabatnya kaya-raya aja… kan ga papa, ya)