Oleh Sofian Arsyad Siregar, S.TP
Bagaikan api dalam sekam, demikian peribahasa yang sangat tepat untuk menggambarkan tentang polemik dana nonbujeter DKP (Departemen Kelautan & Perikanan). Tak urung Presiden SBY turut berkomentar atas lemparan bola panas dana DKP. Walaupun ‘gencatan senjata’ telah berlangsung antara Presiden SBY dan mantan Ketua MPR RI, Amien Rais, namun polemik dana DKP belumlah berakhir. Di tengah krisis ekonomi jilid kedua yang mulai berlangsung di negeri yang bergelar zamrud khatulistiwa ini, kucuran dana DKP tersebut yang mengalir ke kantung-kantung yang tak berwenang tentu sangat memprihatinkan. Hampir semua calon pemimpin negeri ini pada kampanye 2004 diduga menikmati dana DKP yang berjumlah 1,5 miliar rupiah. Sayangnya, banyak pihak yang justru mengharapkan agar polemik ini diakhiri karena sangat kental dengan nuansa politis.
Kenaifan Demokrasi
Fenomena penyelewengan atau penyimpangan dana non-bujeter sepertinya sudah menjadi tradisi di negeri ini. Bulog merupakan salah satu contoh instansi yang sering menjadi sasaran empuk bagi para peminat penyimpangan keuangan negara. Namun instansi-instansi yang lain tak menutup kemungkinan juga terjadi penyimpangan. Penyimpangan dana non-bujeter DKP dan instansi lainnya di negeri mayoritas muslim dunia ini kian menunjukkan bahwasanya demokrasi yang dipaksakan tersebut adalah sebuah kenaifan atau sekadar ilusi. Kenaifan demokrasi tersebut kian tampak jelas saat para politisi menjalankan agenda-agenda politiknya. Tujuan menghalalkan segala cara adalah jargon utama di dalam sistem politik demokrasi. Refleksi dari jargon tersebut akan menghasilkan para politisi yang senantiasa akan bertindak-tanduk tanpa memperhatikan lagi nilai-nilai moral atau wahyu Ilahi. Di benak para politisi yang berpaham chauvinisme tersebut adalah tercapainya kepentingan pribadi maupun kelompoknya walaupun harus mengorbankan kepentingan rakyat atau mengumbar janji-janji manis yang pahit dalam realitasnya.
Tak bisa dipungkiri para politisi dalam sistem demokrasi lebih mengedepankan politik kepentingan dibandingkan politik pelayanan. Para politisi hanya gelisah pada saat Parpolnya atau kader Parpolnya dicopot dari jabatan menteri atau pejabat tinggi negara. Sayangnya ketika harga sembako meroket, kian merebaknya pornografi dan pornoaksi, tingginya biaya pendidikan dan sejuta problematika sosial lainnya, hampir semua politisi yang berpaham demokrasi memalingkan wajah alias masa bodoh. Agenda kunjungan para politisi ke konstituen atau rakyat mungkin hanya sekadar menjadi rutinitas seremonial. Bahkan tak jarang justru semakin merepotkan rakyat dalam proses penyambutan atau pelayanan ekstra luar biasa atas kedatangan para politisi. Biasanya rakyat baru akan diperhatikan dan dimanjakan ketika menjelang Pemilu atau Pilkada. Siapa pun yang mengajukan proposal dana kegiatan dipastikan akan menuai hasil berupa kucuran dana dari para politisi dengan syarat utama adanya acara kampanye terselubung.
Polemik dana DKP ini juga memperlihatkan kenaifan demokrasi lainnya berupa lemahnya supremasi hukum. Tebang pilih penegakkan hukum atau pengusutan kasus korupsi kian terlihat dalam kasus dana DKP ini. Kasus-kasus korupsi yang bersentuhan dengan pejabat tinggi negara tampaknya hanya sekadar dijadikan komoditas politik bagi pihak oposisi namun proses hukumnya hanya jalan ditempat atau berakhir dengan ketidakpastian.
Politik Pelayanan
Fenomena polemik dana DKP ini sepantasnya menyadarkan kita khususnya para politisi untuk mengubah paradigma atau pola pikir dalam berpolitik. Agar kita tak terjebak atau terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka sewajarnya politik berbasis kepentingan untuk ditinggalkan dan diabaikan. Maka sebaiknya perlu digagas politik yang berlandaskan pelayanan kepada masyarakat. Secara konseptual, menurut pemikir Islam abad modern, Syaikh Abdul Qadim Zallum didalam kitab Afkaru Siyasiyyah, politik atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Negara adalah institusi (lembaga) yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat berperan untuk mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Menilik dari definisi politik di atas, paradigma politik pelayanan akan senantiasa berusaha untuk menggapai kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Penguasa yang menjalankan institusi politik akan selalu memperhatikan urusan-urusan kemasyakaratan dengan penuh keseriusan dan dilandasi nilai-nilai luhur teologis. Pengawasan dan pemantauan terhadap aktivitas penguasa akan dilakukan oleh rakyat melalui institusi pemikiran (Parpol) atau secara individual dalam bingkai kemaslahatan kolektif. Sinergi penguasa, Parpol maupun rakyat yang berusaha untuk mewujudkan politik pelayanan akan dapat mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang sulit terwujud dalam politik kepentingan. Secara historis, politik pelayanan (baca: politik Islam) telah terbukti mampu meningkatkan ketinggian taraf berpikir umat manusia dan melahirkan peradaban yang indah dan gemilang.
Seorang penulis non-muslim, Will Durant telah melukiskan tentang keberhasilan institusi politik pelayanan, ‘Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, di mana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad’ (lihat: The Story of Civilization, vol. XIII, p 151).
Ringkasnya, polemik dana DKP dan penyimpangan keuangan negara yang tak tepat sasaran akan tetap berlangsung jika paradigma politik kepentingan masih diadopsi oleh negeri kita. Hanya dengan mereshuffle sistem politik Indonesia menjadi sistem politik yang berbasis pelayanan yang dapat menyelesaikan persoalan dana DKP dan problematika bangsa lainnya. Walhasil, diperlukan keberanian dan keseriusan secara komunal untuk membebaskan Indonesia dari kenaifan demokrasi agar kehidupan anak negeri menjadi lebih baik.(Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan). (wns)
Sumber : Opini – Artikel 17 Jun 07 19:59 WIB WASPADA Online
http://waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=93581
cukup pak rokhmin yg jadi korban. hati-hati ini jebakan asing. krn satu-satunya sektor riil di negeri ini yang belum dihancurleburkan memang sektor perikanan-kelautan. segera terapkan islam untuk mengelola SDHL. itu adalah bagian dari kepemilikan kaum muslimin, jgn sampe dicuri jg oleh orang asing. rasanya kasus freeport sudah cukup jd tamparan yang sangat keras…
esensi bernegara adalah ketaatan pada hukum yang diciptakan oleh lembaga negara. Hukum yang diciptakan haruslah berintikan keadilan. Hukum yang ada di Indonesia secara normatif dapat mengawal agar penyelenggara negara tidak melakukan korupsi. Namun, pada penegakan hukumnya, terlihat tidak pernah istiqamah. Berbeda sikap pada mereka yang lemah dengan yang kuat. Perlu rezim yang istiqamah dan tak kenal lelah menegakkan hukum. Dari pusat hingga daerah. Demokrasi yang dianut Indonesia harus dikawal dengan komitmen menegakkan hukum dan memberantas korupsi sampai keakar-akarnya. Bagi pejuang Islam juga dituntut untuk menjadi teladan.
Ass.
menurut saya hukum yg diciptakan tidak cukup hanya ‘bercirikan’ keadilan spt yg dikatakan saudara husnu abadi, tetapi betul-betul lahir dari aqidah Islam. Maka bentuk nyata hukumnya murni dari syariat yg digali dari proses ijtihad bukan musyawarah mufakat spt di lmbaga yudikatif, itu mutlak, tidak ada tawar menawar.
Tidak pula dengan mengawal sistem demokrasi agar berjalan sebagaimana mestinya, karena antara sistem demokrasi dan Islam menurut ana ada banyak perbedaan fundamental, terutama dr asas mana mereka berpijak.
Wallahu a’lam.
Wass.