Saatnya Peduli Ibu dan Generasi

Oleh Kholda Naajiyah

Kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu yang tak tergantikan oleh siapapun ini, bahkan sudah menjadi trend di negara maju sejak lama. Di Amerika (yang sering menjadi barometer penggiat Feminisme), gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak.

Mula-mula muncul Moms Offering Mom Support Club yang berdiri sejak 1983. Lalu Yayasan Mothers at Home yang berdiri 1984, Mothers & More tahun 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah public terus menurun (USA Today, 10/05/1991).

Di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah pada tahun 2004 (Republika, 16/12/04). Sayang, gaungnya ditenggelamkan oleh jargon yang didengungkan oleh para aktivis perempuan. Entah tidak mengapa, adanya titik balik perjuangan kaum Feminis internasional yang terbukti telah gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan tidak dijadikan pelajaran bagi Feminis di tanah air untuk merevisi gerakannya. 

Akibatnya, Feminis di tanah air masih juga dengan lantang mengajak kaum ibu untuk berbondong-bondong keluar rumah dan mencari eksistensi diri di ruang publik. Dengan dalih kemandirian, khususnya kemandirian ekonomi, kaum perempuan dipaksa meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu, pengatur rumah tangga sekaligus pendidik anak-anak.

Betapa tidak, kini lebih banyak anak-anak yang dibesarkan di Tempat Penitipan Anak (TPA), play group, kindergarten dan sejenisnya. Anak-anak tumbuh berkat sentuhan baby sitter dengan imbalan rupiah yang menggiurkan, bukan di tangan ibunya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan serta gratis. Maklum, ibu yang semakin sibuk hanya punya waktu akhir pekan saja untuk memperhatikan buah hatinya. Itupun kalau tidak ada PR dari kantor atau tidak dinas ke luar kota.

Ibu-ibu juga semakin merasa benar dan tenang keluar rumah karena diperkuat oleh apologi yang salah kaprah, seperti “saya bekerja kan juga demi anak” atau “yang penting kan kualitas, bukan kuantitas.”Ah, benarkah anak-anak yang masih kecil-kecil itu mereka tanya dan memang menghendaki ditinggal ibunya? Juga, benarkah kualitas dapat dicapai tanpa memperhatikan kuantitas? Sebuah asumsi yang layak diperdebatkan kebenarannya.

Potret Buram Anak

Terabaikannya peran ibu sebagai pelahir generasi dan pendidik utama anak-anak, telah melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak. Memang, terabaikannya peran ibu bukanlah “penyebab” tunggal, karena ada faktor sistemik seperti lingkungan dan negara yang berpengaruh. Namun fakta membuktikan, banyak anak-anak “gagal” lahir dari sebuah rumah tangga dimana tidak ada figur sentral sebagai pendidik.

Ketika kedua orang tua sama-sama sibuk mencari nafkah, ketika seorang ibu mengalihkan tugas pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain, lahirlah generasi-generasi bermasalah yang haus akan kasih sayang. Ya, kepribadian anak-anak dewasa ini cenderung labil, semakin tidak cerdas dan bahkan cenderung liar.

Kasus bunuh diri pada anak-anak, bahkan balita adalah contohnya. Selanjutnya anak-anak banyak yang terlibat seks bebas, narkoba, hamil di luar nikah, aborsi, hingga tindak kriminalitas. Bayangkan, di Kediri anak usia 12 tahun membunuh balita berusia 4 tahun. Dari mana inspirasi membunuh itu ia peroleh? Apakah orang tuanya mengajarkan? Tentu tidak.

Semua itu terjadi karena anak-anak kurang mendapatkan pelajaran dari orang tuanya, khususnya ibu. Sementara banyak sekali “pelajaran” yang ia serap dari mana saja, khususnya di luar rumah. Anak yang belum sempurna akalnya itu, sejatinya membutuhkan bimbingan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Ironisnya, ”bimbingan” itu mereka serap dari sumber yang salah. Entah dari teman-teman, artis idolanya, majalah, buku atau bahkan televisi.

Kembalikan Fungsi  Keluarga dan Ibu

Ketika lahir, seorang anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat tergantung pada orang yang terdekat dengan dirinya. Dan, idealnya orang terdekat itu adalah ibunya. Menurut Neuman (1990)  usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut.

Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan. Mengentaskan anak-anak bermasalah harus dimulai dengan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama.

Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu dan suami istri. Mereka  hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya  semula.

Penutup

Bangsa ini sedang mengalami krisis rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Semua menyadari itu. Bahkan semua sepakat –termasuk negara— akan pentingnya melahirkan generasi-generasi yang berkualitas, baik dari sisi pendidikan, sain maupun moral. Generasi seperti itu hanya bisa terwujud dengan memberikan ruang yang nyaman bagi kaum ibu untuk mendidik anak-anaknya, khususnya pada usia dini. Sebab pada usia kritis inilah masa depan anak ditentukan. Untuk itu negara harus memberikan support demi keberlangsungan peran dan tugas kaum ibu. Inilah saatnya untuk peduli ibu dan generasi!(*)

Peminat masalah anak-anak, remaja dan wanita, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia

One comment

  1. Subhanallah !!! Saya bangga menjadi seorang ibu rumah tangga, setelah 22 tahun lebih menjadi wanita karier. Terima kasih ya Allah, kini tugas mulia ‘kan menjelang ‘tuk mengantar anak-anak menjadi generasi Tauhid, generasi Pejuang Islam yang senantiasa memperjuangkan tegaknya Syariah, yakin akan berdirinya kembali Khilafah atas rido dan pertolongan Alloh Yang Maha Perkasa. Allahu Akbar!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*