Oleh: Ardiansyah SH MA MH, (dosen Fakultas Hukum Unilak)
Pada 27 April lalu, Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Sebagian kalangan menilai, penandatangan DCA merupakan kompensasi atas kesediaan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi yang diusulkan oleh Indonesia.
Sejak awal, perjanjian DCA RI-Singapura telah bermasalah. Perjanjian itu dengan jelas menyebutkan, tentara Singapura diizinkan untuk menembakkan rudal di wilayah Indonesia, menggelar latihan militer di laut, darat dan udara bersama pihak ketiga.
Pihak ketiga yang dimaksud adalah AS dan Israel. Buktinya, sebelum perjanjian tersebut diratifikasi oleh DPR, implementasinya sudah berjalan. Enam kapal perang Singapura, Malaysia, Inggris, AS dan Jepang telah latihan militer dan masuk ke perairan Riau. Namun, mereka mengubah haluan ke Natuna setelah diusir oleh Patroli TNI AL (Jawa Pos, 23/5/2007).
Banyak kalangan menilai, perjanjian DCA telah mengkhianati bangsa Indonesia. Mantan Ketua MPR, Amien Rais menyatakan, dengan menyetujui DCA itu berarti pemerintah telah memasilitasi tentara asing untuk menginjak-nginjak kedaulatan negara. Menurut Amien, sesungguhnya Singapura sudah lama ingin menguasai politik Indonesia melalui berbagai sisi sejak tahun 1980-an.
Dalam setiap manuver politik luar negerinya, mereka selalu mengandalkan modal, teknologi, sumber daya manusia, dan pasar internasional. Indonesia dibebani untuk menyiapkan lahan, sumber daya alam, buruh murah, dan lain-lain.
Singapura malah ingin retorialisasi. Jadi, DCA ini untuk mengangkangi Indonesia. Amien dengan tegas mengatakan, kita terima DCA itu dengan satu syarat, yakni TNI bisa latihan perang di pusat kota Singapura.
Letjen (Purn) Yogie Supardi mengatakan, DCA telah mengkhianati UUD 1945. Indonesia tidak perlu DCA. Sekuat apapun Singapura, sebagai negara kecil tidak menjadi ancaman bagi Indonesia. Singapura menginginkan operasi militer dan itu bertentangan dengan pertahanan RI. Menurutnya, DCA ini konyol dan terang-terangan pemerintah mau memfasilitasi tentara asing di bumi Indonesia, dan ini pelanggaran integritas dan kedaulatan negara.
Berbagai Daerah Tolak DCA
Berdasarkan DCA, wilayah Natuna (Kepri), Baturaja (Sumsel) dan Desa Siabu (Riau) menjadi medan latihan tentara Singapura. Namun, pasca perjanjian DCA, penolakan muncul dari daerah-daerah yang terkena DCA itu.
Menurut Ketua Umum DHD 45 Kepri Mohamad Zen, penolakan didasarkan sejumlah pertimbangan. Pertama, jika areal laut pedalaman, laut teritorial, dan laut ZEE Indonesia di Natuna dan Laut Cina Selatan dijadikan medan latihan militer Singapura berskala besar, akan sangat merugikan mata pencaharian nelayan di Kepri.
Kedua, latihan tentara Singapura akan merusak lingkungan dan ekosistem laut. Ketiga, demi keamanan dan pengamanan pulau-pulau terluar Kepri dan pengamanan sumber daya laut yang perlu dirahasiakan Indonesia.
Peneliti LIPI, Alfitra Salamm minta keseriusan kalangan DPRD Riau untuk menolak secara tegas DCA, karena tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi Riau. Suara penolakan juga muncul dari anggota DPR RI asal Riau, Bulyan Royan.
Dengan kritis Bulyan mengemukakan, Singapura itu hanya menjadikan Riau sebagai ladang perburuan. Setelah negara itu dibangun dengan pasir dari Riau, kini Riau mau dijadikan tempat latihan perang. Menurutnya, Singapura itu adalah representasi AS dan Israel di Asia (Riau Pos, 25/6/2007).
Dalam implementasinya, belum apa-apa Singapura telah bertindak kurang ajar. Secara sepihak Singapura berkeras ingin mengatur sendiri latihan militer di wilayah Bravo (laut Natuna) tanpa melibatkan TNI.
Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra menilai, ulah Singapura tersebut tidak menghargai posisi Indonesia sebagai pemilik wilayah. Menurutnya, sikap Singapura yang tidak mau diatur di daerah Bravo sangat disesalkan. Sebagai peminjam, harusnya Singapura bicara baik-baik dengan Indonesia, bukan keras kepala, apalagi menggertak dengan kompensasi perjanjian ekstradisi.
Sikap yang Harus Ditempuh
Penandatangan DCA lebih menguntungkan Singapura. Sebaliknya, Indonesia lebih banyak dirugikan. Oleh karena itu, Indonesia perlu mencermati berbagai hal.
Pertama, Singapura adalah negara kecil yang tidak memiliki area untuk latihan militer. Bertahun-tahun Singapura menyewa area di sejumlah negara dengan harga yang sangat mahal. Dengan penandatanganan DCA, Singapura tidak perlu lagi menyewa area untuk latihan militernya.
Kedua, dalam penggunaan wilayah latihan, Singapura bisa mengikutsertakan pihak ketiga, meski terlebih dulu meminta izin Indonesia. Pihak ketiga itu adalah AS.
Perjanjian itu akan menjadi alat legitimasi masuknya militer AS ke wilayah Indonesia dengan kedok latihan militer bersama. Kehadiran AS tentu mengancam kedaulatan Indonesia. AS memiliki ambisi politik di kawasan Asia Tenggara.
AS sendiri pernah menawarkan diri membangun pangkalan militer di Thailand Selatan dengan dalih ingin membantu menghancurkan gerakan militan Islam yang makin intens melakukan gerakan di wilayah Pattani yang memang didominasi Muslim.
Upaya AS untuk menghadirkan armada militer di kawasan itu tentu saja merupakan bagian dari grand strategy AS untuk mengontrol kawasan Asia Tenggara yang memang sangat strategis, baik secara militer, politik maupun ekonomi.
Namun, Malaysia dan Indonesia menolak rencana itu, karena kedua negara tegas menentang setiap kehadiran militer asing manapun di Selat Malaka. Karenanya, AS yang telah melakukan kerja sama militer yang kuat dengan Filipina dan Thailand mencoba cara lain, yakni lewat Pemerintah Singapura, melalui perjanjian kerja sama pertahanan yang baru saja ditandatangani itu.
Sebenarnya, AS telah lama menggunakan Singapura sebagai corong untuk menyuarakan ambisinya. Dengan dalih Singapura terganggu dengan aksi-aksi bajak laut yang berhubungan dengan gerakan terorisme di Selat Malaka, AS menekan Indonesia dan Malaysia supaya mengizinkan membangun pangkalan militernya.
Singapura juga telah berulang kali mendesak AS untuk memainkan peran militernya di Selat Malaka. Sebelumnya, Singapura pernah mendekati Indonesia agar mau mengizinkan kehadiran militer AS di Selat Malaka dengan dalih aktivitas terorisme makin meningkat di perairan tersebut.
Dari paparan di atas, tampak sekali AS ingin mengontrol wilayah Indonesia, baik secara tidak langsung dengan memanfaatkan Australia dan Singapura yang kedua-duanya merupakan ”sherrif” AS di Asia Tenggara, maupun secara langsung dengan kehadiran militer AS di wilayah Indonesia.
Perjanjian DCA akan semakin menguatkan cengkeraman AS di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perjanjian DCA berarti Indonesia telah membayar terlalu mahal perjanjian ekstradisi dengan Singapura.
Pemerintah Indonesia harus mengkaji ulang perjanjian ini, karena secara nyata bisa digunakan sebagai alat legitimasi masuknya kekuatan militer asing ke wilayah Indonesia dengan dalih latihan militer bersama. Diserukan kepada DPR untuk tidak meratifikasi perjanjian yang justru akan membahayakan negeri Muslim terbesar ini.***
Singapura itu, kecil-kecil tapi negara berbahaya bagi entitas negeri Muslim yang terbesar ini. Karena dibelakang Singapura ada AS, Israel dan negara sekutu lainnya. Jangan pernah percaya pada embel-embel kerjasama yang ditawarkan mereka karena sejatinya hanya merugikan kita, kaum Muslim. Sebagai kaum Muslim yang mencintai Islam dan saudara seakidah lainnya, maka sangat pantas dan wajib kita menolak DCA. Tolak!!!.
Seharusnya ganti aja presidennya gitu!kita mah udah muak liatin kebijakan yang pada nga’ bener and belain rakyatnya betul tidak?trus ganti UUD 45 and pancasila dengan Al-Quran dan Hadits bagaimana?
Selamatkan Indonesia dari pemimpin yg ber-qiyadah fikriah kafir barat.