Negara Tanpa Negarawan

Saat membaca naskah akademik Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), penulis merasa seperti melihat sesuatu yang menyebabkan komplikasi kronis, tetapi sebenarnya masih bisa disembuhkan. Saat ini, pembahasan mengenai rancangan UU tersebut menghangat kembali di DPR dan DPD RI.

Kiranya, naskah akademik tersebut mampu mengonfirmasi sejumlah pertanyaan penting akhir-akhir ini, seperti soal keengganan pemerintah mendengar penolakan rakyat dan DPR terhadap Perjanjian Kerja sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Pertanyaan lain yang bisa dijawab adalah soal tidak tuntasnya penanganan gerakan Republik Maluku Selatan dan Organisasi Papua Merdeka; upaya meresmikan hubungan dengan Israel dengan kedok penyelesaian isu Palestina; ketidakadilan penanganan korban dan pelaku terorisme jika beragama Islam; dan sebagainya.

Sebagian pihak mungkin menduga persoalan-persoalan tersebut muncul karena pragmatisme. Dalam arti, sebagian pejabat dan politisi bersedia menggadaikan kedaulatan negara, melanggar Pembukaan UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, menzalimi kaum Muslimin,mengembangkan liberalisme dan sekularisme radikal, dan sejenisya, adalah karena harta dan tahta. Dengan perkataan lain, semuanya karena korupsi. Itu tidak salah sama sekali, namun keliru jika menduga itu sajalah akar penyebabnya.


Akibat globalisasi

Kembali ke naskah akademik RUU BHP. Artikel ini bukan khusus membahas RUU BHP, melainkan lebih terfokus untuk menyoroti halaman 16-18 naskah tersebut. Inilah inti latar belakangnya, yang rencananya mewajibkan satuan pendidikan tinggi untuk berbadan hukum, dan memberikan amar fakultatif bagi satuan pendidikan selain darinya.

Jan Aart Scholte (2000) menyebutkan bahwa isu globalisasi menyebabkan perubahan mendasar dalam lima hal. Kelima hal tersebut adalah menyangkut soal kedaulatan, kepentingan teritorial, garansi kesejahteraan negara, perumusan kembali nilai-nilai kesejahteraan, dan format peraturan hubungan multilateral. Terkait pengaruh pertama dijelaskan, baik secara fisik maupun konsep, negara tidak lagi mampu mengatur wilayah dan urusannya secara mutlak pada semua aspek kehidupan dan bukan lagi penguasa mutlak di suatu wilayah.

Bagi mereka yang mendalami politik dan hubungan internasional, pendapat soal globalisasi tersebut tidaklah luar biasa. Namun, munculnya pernyataan berakhirnya kedaulatan negara (Indonesia) dan diakuinya intervensi negara asing (kekuatan luar, termasuk perusahaan multinasional) jelas menunjukkan pola pikir (sebagian) pejabat Indonesia yang mengakui kedaulatan Indonesia telah tiada. Padahal, logikanya bidang pendidikan lebih sulit diintervensi globalisasi ketimbang bidang politik dan ekonomi, antara lain karena politik dan ekonomi merupakan prioritas para imperialis Barat. Sementara para pendidik dan kurikulum pendidikan dipersiapkan untuk jangka panjang sehingga tidak mudah berubah. Namun, ketika para pelaku pendidikan juga mengakui lenyapnya kedaulatan Indonesia, maka hanya soal waktu anak-anak Indonesia tidak akan peduli lagi dengan bangsa dan negaranya. Mereka menjadi bangsa kuli di rumahnya sendiri, dengan hanya memperoleh sedikit remah-remah makanan milik sendiri.

Kini, terjelaskan gamblang mengapa DCA begitu gampang diteken, dan mengapa semua kritik DPR dan rakyat dianggap bersifat emosional, ketinggalan zaman, atau berbau nasionalisme ala tahun 1957. Begitu pula penanganan terorisme dan separatisme yang terasa sekali menyudutkan umat Islam, dan lain-lain. Ini bukan sekadar soal uang bisa bicara. Lebih darinya, sebagian pejabat telah tercuci otaknya.

Mereka berpikir dan merasa bukan lagi sebagai bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka tidak lagi bekerja dan bicara untuk kepentingan terbaik bangsanya. Mereka pun tidak lagi meyakini eksistensi dan signifikansi bangsa ini. Sangat sulit bagi mereka untuk mau berkorban demi bangsa dan negara. Bila mereka berteriak demi kepentingan NKRI, Pancasila dan sebagainya, yakinlah itu semua kebohongan.

Sejak lama sudah diyakini bahwa operasi intelijen dijalankan secara sistematis untuk mencuci otak (brainwashing) para pejabat, perwira, intelektual, pendidik, dan sebagainya di negeri-negeri Muslim. Operasi cuci otak dilakukan negara imperialis karena mereka sangat berambisi terus menguasai dunia Muslim, tapi terbukti tidak mampu menghadapi orang-orang yang hanya punya dua opsi: hidup mulia atau mati syahid. Dulu mereka merasakan pahitnya jihad Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, dan lain-lain. Kini, sejarah berulang di Irak, Afghanistan, Palestina, dan sebagainya.

Lantas, bagaimana mengambil emas di tengah karpet tanpa menginjaknya dan tanpa membuat pemiliknya marah? Satu-satunya strategi adalah mengubah pikiran, persepsi, dan perasaan pemiliknya, sehingga dia bersedia menggulung karpet itu dan menyerahkannya kepada Anda seraya tersenyum karena diberi recehan. Tambang emas untuk Freeport dan Newmont, tambang migas bagi Exxon-Mobil atau Chevron, tambang nikel untuk Inco, Indosat bagi Temasek, dan sebagainya. Semua itu adalah contoh dari hasil cuci otak yang dilakukan para imperialis. Hal serupa juga terjadi dengan ‘diserahkannya’ teritorial darat, laut, dan udara Pulau Sumatera kepada Singapura. Sebagian pejabat telah memandang bahwa Indonesia memang sudah tidak berdaulat, jadi seperti tutur seorang penandatangan DCA, untuk apa bersikap emosional.


Upaya menangkal

Namun, sebagai Muslim kita tetap wajib optimistis. Meski negara ini hanya punya segelintir negarawan, tentu harus ada ikhtiar strategis untuk mencegah Indonesia menjadi negara yang ada atau tiadanya sama saja. Ikhtiar strategis pertama adalah melakukan penangkalan cuci otak. Ini bisa berarti penggantian personel, sistem penyelenggaraan negara, sistem perekrutan pejabat, politisi dan perwira, serta mencuci ulang semua virus pemikiran imperialisme Barat. Cuci otak kaum imperialius ini telah telah dicangkokkan kepada para pejabat ketika mereka belajar, mengikuti IMET, berinteraksi dengan spooks cum diplomat (diplomat merangkap aparat intelijen), dan lain-lain.

Kedua, kita harus merevitalisasi dan mereaktualisasi ajaran Islam ke dalam ideologi, sistem bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Bagaimanapun, dibutuhkan konsep yang terbukti bersifat global, universal, dan mampu mengayomi semua manusia, apa pun agamanya. Islam sudah membuktikan kemampuannya dalam mencegah separatisme dan memberikan kondisi awal bagi perdamaian dan pembangunan kembali Aceh. Islam pula yang membuat negeri-negeri Muslim lain membantu bangsa ini dalam mencapai kemerdekaannya. Sejarah mencatat bahwa negara-negara Islam di Timur Tengah masuk dalam barisan pertama pendukung kemerdekaan RI.

Ikhtiar untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini memerlukan keteladanan para pejabat dan politisi yang masih mencintai Indonesia. Mereka sangat perlu untuk selalu berpikir dan berperilaku Islami, menjauhi korupsi, dan sebagainya. [Fahmi AP Pane; Anggota Lembaga Penerbitan dan Media Massa DPP PPP, Asisten Anggota DPD RI; Republika; Selasa, 03 Juli 2007]


Ikhtisar

  • Bangsa Indonesia harus lebih serius menangkal upaya cuci otak kaum imperialis yang merusak kedaulatan negeri ini.
  • Operasi intelejen yang berlangsung selama ini menjadi ajang efektif untuk menjalankan cuci otak bagi para elite bangsa.
  • Sebagian elite bangsa mulai memandang bahwa bangsa ini mulai tidak berdaulat.
  • Upaya untuk mengembalikan kedaulatan bangsa memerlukan keteladanan para elite.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*