Tontonan Perseteruan Eksekutif dan Legislatif serta Kekecewaan Rakyat

Ketika resolusi No. 1747 dikeluarkan oleh PBB –dengan AS dan Eropa sebagai bidannya—, untuk memberikan sanksi terhadap pengayaan Uranium yang dilakukan Iran, pemerintah Indonesia dengan serta merta mendukung resolusi tersebut. Sejatinya sedari awal sikap pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif, dan telah melukai mayoritas kaum muslimin di negeri ini, dan negeri-negeri Islam secara umum di seluruh dunia. Seharusnya Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim ini menentang keras resolusi PBB tersebut.

Resolusi tersebut nenurut Hasyim Muzadi sangat jelas arahannya, hanya untuk menghukum Iran. “Kalau Indonesia turut mendukung, berarti kita turut pula menjatuhkan hukuman tersebut”, kata ketua Umum PBNU tersebut.(Republika 4/06/07). Dukungan terhadap resolusi ini sama artinya dukungan terhadap “penjajahan” AS dan Eropa terhadap negeri-negeri muslim. Karena semua orang tau, bahwa PBB merupakan instrumen AS untuk melegalkan kepentingan-kepentingannya menekan suatu negara. Kasus Irak seharusnya menjadi pertimbangan serius, akan dukungan Indonesia terhadap resolusi tersebut.

Wajar kemudian DPR –sebagai wakil rakyat—memberikan perhatian serius dengan mengajukan hak interpelasi, karena rakyat banyak pada prinsipnya juga menginginkan kejelasan dukungan pemerintah tersebut.

Tapi sayang pada perkembangan berikutnya, sampai analisis ini ditulis, substansi dasar penjelasan dari pemerintah belum juga terwujud. Ketika rakyak banyak menunggu, permasalahan justru semakin kabur dan terpolitisasi. Atas perjalanan kasus ini ada beberapa catatan penting bagi kita.

Pertama, bahwa hak interpelasi adalah hak dasar rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, untuk mengontrol jalannya pemerintahan sebagaimana hak lain seperti hak angket, menyatakan pendapat dan lain sebagainya. Hak demikian juga telah diatur dalam Undang-Undang. Dalam Undang-Undang (UU) No.22/2003 Pasal 27 tentang susunan dan ketentuan MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai aturan derivasi konstitusi diterangkan bahwa hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Pasal 171 Tatib DPR juga dikatakan demikian. Dalam Pasal 174 ayat (1) hingga (4) Tatib DPR menyatakan bahwa, apabila usul interpelasi disetujui, pimpinan DPR menyampaikannya kepada presiden dan mengundang presiden untuk memberikan keterangan. Terhadap keterangan presiden itu diberikan kesempatan kepada pengusul dan anggota yang lain untuk mengemukakan pendapatnya. Atas pendapat pengusul dan/atau anggota yang lain, presiden memberikan jawabannya.

Kedua, ketika perkembangan kasus ini berlarut-larut, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap tidak mau hadir langsung untuk memberikan jawaban, menunjukkan betapa sulitnya mengontrol jalannya pemerintahan ini.

Pertangungjawaban pemerintah seharusnya setiap saat bisa diminta, bukan hanya dalam lima tahun sekali menjelang masa akhir jabatan. Padahal Presiden dipilih oleh rakyat, dan ini seringkali digembar-gemborkan sebagai suatu sistem pemilihan yang paling demokratis. DPR sendiri hakikatnya adalah wakil dari rakyat. Tapi kenapa kemudian Presiden tidak mau ketemu dengan wakil rakyat. Sikap Presiden seperti ini harus dicatat oleh jutaan rakyat Indoensia, bahwa, rakyat dalam hal ini hanya diperlukan lima tahun sekali saja. Seolah Presiden hanya lima tahun sekali melakukan atau berbuat kesalahan, karenanya hanya dalam waktu lima tahun sekali diminta pertangungan jawabnya.

Ketidakhadiran Presiden untuk memenuhi panggilan DPR tersebut dinilai kalangan DPR bahwa Presiden tidak menghormati 280 orang anggota DPR. DPR sendiri sudah berinisiatif untuk mendatangi Presiden, melakukan rapat konsultasi, beberapa saat setelah sidang Paripurna pertama dilangsungkan, yang tidak dihadiri oleh Presiden. Ketika sidang ke dua untuk masalah ini akan digelar lagi, Presiden menyatakan untuk tetap tidak akan hadir dalam rapat Interpelasi. Sikap demikian juga mengindikasikan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Presiden. Presiden SBY seharusnya tidak perlu khawatir menghadapi DPR jika memang kebijakan yang dilakukannya benar-benar untuk kepentingan rakyat. Menurut Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, sikap Presiden tersebut menunjukkan bahwa Presiden tidak ksatria (Republika, 04/06/07). Pimpinan DPR sendiri padahal telah menjamin bahwa interpelasi itu jauh dari pemakzulan. Sikap kepala negara ini hakikatnya akan semakin menurunkan citra pemerintah dalam menangani berbagai masalah yang terjadi.

Indikasi lain dari sulitnya mengadakan koreksi terhadap kinerja Pemerintah adalah, sikap pemerintah yang justru melakukan lobi-lobi, seperti lobi di Hotel Darmawangsa dan tempat-tempat lain untuk meluluhkan hak interpelasi ini. Dan hal ini sempat menimbulkan sedikit masalah internal di DPR. Namun dari penjelasan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, di sebuah forum, lobi gagal memuaskan parlemen dan justru membuat jumlah pendukung interpelasi bertambah dan tak terbendung. Presiden juga malah melontarkan ‘bola panas’ dengan menyuruh DPR membenahi urusan internalnya sendiri. Ketika Sidang interpelasi resolusi PBB 1747 tentang sanksi terhadap Iran ditunda DPR dan Presiden SBY tidak hadir. 7 mentri dan kepala BIN utusan Presiden ditolak DPR. Dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan: “Ada masalah di DPR” (Media Indonesia, 06/06/2007).

Ketiga, seringkali perseteruan elit politik seperti ini, hanya berakhir pada sekedar tontonan kegenitan para politisi dalam bermain politik. Harapan rakyat kepada wakilnya di Parlemen akan semakin jauh ketika substansi permasalahan beralih pada masalah prosedural. Polemik yang terjadi saat ini semakin berlarut-larut pada sikap Presiden yang tidak akanmenghadiri Rapat Paripurna secara langsung, dan sikap DPR yang tetap mengharuskan Presiden untuk menghadiri sidang secara langsung.

Kekecewaaan rakyat tersebut pada akhirnya akan semakin sempurnya, ketika perseturuan ini klimaks dengan “penyelesaian politik”. Itulah yang sudah-sudah biasa terjadi. Perseteruan para politisi ini akhirnya tidak lebih dari semakin memperbanyak dan melengkapi kekecewaan rakyat. Wallahu alam bis shawab. [LS]

4 comments

  1. SBY dan kabinetnya terlalu sering “lupa” pada amanah dari rakyat.kebijakan yg dikeluarkan terlalu sering tidak populis.terlalu tipis telinga untuk menerima kritik yg selalu dianggapnya akan berbuntut pemakzulan.ternyata ujung-ujungnya SBY cuma takut jika diturunkan.wahai, sungguh SBY ini pemimpin model apa? sampai berapa lama lagikah kita biarkan orang macam ini mengurusi kepentingan kita? JIka seorang pemimpin dengan jelas-jelas menunjukkan ketidakberpihakannya kepada ummat,dengan logika apakah penilaian atas apa yang kasat mata itu dapat dibelokkan?

    jika ternyata para pejabat itu justru main lempar kata sembunyi otak lalu melipatnya menjadi cukup tentang kasus prosedural saja; kalau bukan naif, apakah layak disebut bebal?

    ya Allah ya Rabb. kuatkanlah kami.

  2. Gak LUCU akh…

  3. Saya telah menyesal telah mendukungmu SBY..!!!
    keputusan2mu telah banyak menyengsarakan rakyatmu..
    saya tidak tau pertanggung jawaban apa yang akan diminta kepadamu di akherat nanti…

  4. tolong diwbsitenya adaaiin cuplikan film dong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*