Al Aqsa, Palestina, dan Relevansi Penegakan Khilafah

”Nasihati Dr Hertzl supaya jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Begitulah jawaban Khalifah Sultan Abdul Hamid II menanggapi upaya kaum Zionis Yahudi untuk mendirikan Negara Israel di bumi Palestina. Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, setidaknya telah enam kali mengunjungi Istambul, ibukota Khilafah Utsmaniyah di Turki untuk maksud tersebut.

Sebelumnya, pada tahun 1901 pemilik Yahudi, Mizray Qrasow dan dua orang pemimpin berpengaruh Yahudi lainnya datang menemui Abdul Hamid. Mereka menawarkan kepadanya untuk a) Membayar semua utang Daulah Islam Utsmaniyah yang berjumlah 23 juta pound emas Inggris; b) Membangun angkatan laut Daulah Islam Utsmaniyah untuk melindungi Khilafah yang menelan biaya 230 juta Franc emas; dan 3) 35 juta lira emas tanpa kompensasi apa pun untuk membantu kemakmuran Daulah Islam Utsmaniyah; 4) Membangun sebuah universitas Utsmaniyah di tanah suci. Kompensasi yang diminta atas bantuan itu adalah a) Membolehkan Yahudi berkunjung ke Palestina semau mereka dan diperbolehkan untuk menetap selama mereka dalam rangka untuk ‘berkunjung ke tempat-tempat suci’; b) Membolehkan Yahudi untuk membangun tempat tinggal mereka di mana mereka tinggal dan mereka mau ditempatkan bersebelahan dengan al-Quds (Jerusalem).

Bagaimana tanggapan Sultan Abdul Hamid? Dia enggan menerima tawaran tersebut dan enggan berjumpa dengan mereka. Dia mengirim jawaban kepada mereka melalui Tahsin Pasha. Jawabannya adalah:

”Katakan kepada Yahudi biadab itu, utang Negara Utsmaniyah bukan sesuatu yang memalukan. Prancis mempunyai utang dan itu tidak merendahkannya. Al-Quds (Jerusalem) menjadi bagian dari tanah Islam pada waktu ‘Umar bin al-Khaththab menaklukkan tanah itu. Aku tidak akan menorehkan dalam sejarah yang memalukan dengan menjual tanah suci kepada Yahudi dan mengkhianati tanggung jawab dan kepercayaan rakyat. Yahudi silakan mengambil uang mereka kembali. Pemerintah Utsmaniyah tidak akan berlindung di dalam istana yang dibuat dari uang musuh-mush Islam.”

Kondisi itu sangat kontras dengan Palestina saat ini. Jangankah untuk membantu masalah Palestina, melindungi Masjid Al Aqsha yang sedang menghadapi ancaman keruntuhan akibat pembangunan terowongan di bawahnya pun tak dilakukan oleh para penguasa negeri-negeri Islam di sekitar Palestina, termasuk otoritas Palestina sendiri. Padahal mereka tahu bahwa itu adalah tanah suci kaum Muslimin. Mereka menganggap seolah persoalan ini tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah menciptakan perdamaian.

Mereka tidak ada yang berani melawan Israel, meski hanya dengan kata-kata, sebagaimana dulu Khalifah Abdul Hamid bersikap. Yang keluar dari mulut hanya kecaman, sekadar untuk menutupi pengkhianatan mereka di hadapan rakyatnya. Dan yang lebih parah dari itu, beberapa pemimpin Arab justru mengakui keberadaan Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan mendorong otoritas Palestina dari semua faksi yang ada untuk mengakui Negara Israel. Sikap para pemimpin Arab dan dunia Islam pada umumnya juga tercermin pada Organisasi Konferensi Islam (OKI). Mereka tidak setuju dengan aksi para pejuang intifadhah yang berjihad untuk membebaskan tanah mereka. Sebaliknya mereka menggiring rakyat Palestina agar mau duduk bersama di meja perundingan sejajar dengan penjajahnya Israel.


Membebaskan Palestina

Sejauh ini penyelesaian Palestina bersandar pada arahan Barat. Kwartet Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB menyodorkan peta jalan damai. Isi peta jalan damai ini terdiri atas tiga hal yang harus dilewati dalam penyelesaian masalah Palestina. Tahap pertama (hingga Mei 2003), Palestina harus mengakhiri segala bentuk aksi, melakukan reformasi, dan pemilu; sedangkan Israel harus menarik pasukannya dan membekukan pemukiman Yahudi di wilyah Palestina. Tahap kedua (Juni-Desember 2003) masuk pada tahap pembentukan negara Palestina merdeka, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan konferensi internasional. Tahap ketiga (2004-2005) adalah penyelenggaraan konferensi internasional kedua; kesepakatan status akhir dan diakhirinya konflik; kesepakatan mengenai perbatasan; penyelesaian masalah Yerusalem, pengungsi, dan pendudukan, serta dijalinnya normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel. Sebelumnya juga ada usulan perdamaian Konferensi Madrid (oktober 1991) dan Perjanjian Oslo (September 1993). Namun semua itu tidak berdampak apapun bagi Palestina, kecuali krisis yang terus memakan korban kaum Muslim.

Fakta ini menunjukkan, tidak mungkin krisis Palestina diselesaikan dengan perundingan damai dengan Israel. Sebab, perjanjian damai yang terjadi selama ini tidak pernah menyentuh persoalan substansial dari krisis berkepanjangan ini. Negara Zionis bukanlah entitas yang terkenal patuh terhadap sebuah perjanjian, justru sebaliknya mereka adalah kaum yang suka melanggar perjanjian. Dan secara historis, masalah substansial Palestina sebenarnya adalah perampasan tanah Palestina oleh Israel dengan dukungan Inggris, AS, dan PBB. Jadi, keberadaan negara Israel yang didukung oleh Barat itu sendirilah yang menjadi pangkal persoalan Palestina dan krisis Timur Tengah. Dengan demikian, selama negara Israel berdiri, persoalan Palestina tidak akan selesai.

Karena itu untuk menyelesaikan persoalan ini, mau tidak mau kita harus mendudukkan Palestina pada posisinya semula sebagai wilayah yang dicaplok oleh Israel. Pilihannya tidak lain adalah mengusir Israel dari bumi Palestina, sebagaimana halnya kita mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, mengobarkan jihad fi sabilillah merupakan pilihan yang rasional. Sebaliknya dialog perdamaian dalam segala bentuknya merupakan jebakan Barat dan Israel untuk mengulur-ulur penyelesaian persolan ini secara tuntas.

Pemecahan Palestina tentu tidak pernah terlaksana dengan mengandalkan para penguasa negeri-negeri Arab yang berkhianat sebab mereka adalah agen-agen Barat yang melestarikan penghinaan terhadap kaum Muslim. Mau tidak mau beban ini jatuh pada diri kaum Muslimin sendiri baik yang ada di Palestina dan di seluruh dunia.

Dalam konteks ini, jihad harus terus dikorbankan di bumi Palestina. Tidak boleh ada upaya berdamai sedikitpun dengan penjajah. Bersamaan dengan itu kaum Muslim harus membangun kekuatan alternatif yang tidak bersandar pada kekuatan asing atau kekuatan para pengkhianat. Kekuatan ini haruslah kekuatan nyata yang bisa berhadapan dengan Israel dan negara pelindung Zionis. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyah yang lenyap sejak 3 Maret 1924. Negara inilah yang akan mempersatukan umat Islam seluruh dunia untuk membebaskan tanah Palestina dan Masjid Al Aqsha pada khususnya dari cengkeraman Israel la’natullah. Di sinilah relevansi antara Masjid Al Aqsa, Palestina, dan penegakan Khilafah. Wallahu a’lam. [Muhammad Ismail Yusanto; Jubir Hizbut Tahrir Indonesia]

2 comments

  1. Akhmad Yusuf

    Para penguasa negeri muslim, kebanyakan dari mereka telah lupa terhadap peringatan keras Allah SWT dengan tetap menjadikan Inggris, USA, Israel, Yahudi sebagai teman hidup bernegara. Padahal Allah SWT sendiri telah menegaskan bahwa mereka (Yahudi CS) adalah kaum pengkhianat dan suka melanggar janji. Baik itu Yahudi jaman dulu, Yahudi jaman sekarang, bahkan Yahudi yang akan datang.

  2. Khilafah adalah persoalan syareat sama halnya dengan sholat, zakat dst. Maka perwujudannya sebisa mungkin merujuk pada sunah Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin al Mahdiyin yang steril dari intervensi pemikiran dan cara-cara di luar Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*