Membaca tulisan saudara Hasibullah Satrawi yang berjudul Redefinisi Keber-Islaman, dan dimuat di harian Media Indonesia (23/06/2006), ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Terutama di bagian akhir tulisan yang menyinggung konsep Khilafah. Muncul kesan seolah-olah konsep Khilafah itu hanya milik segelintir orang, bukan sesuatu yang penting bagi umat Islam; dan kelompok yang menyerukan sistem Khilafah dianggapnya sebagai kelompok yang tidak memiliki keber-Islaman yang benar.
Islam adalah diin (agama) yang sempurna yang bisa memecahkan seluruh problematika yang dihadapi oleh umat manusia, kapan pun, dimana pun, sehingga tidak memerlukan ‘bantuan’ dari din lainnya, tidak membutuhkan pada sistem (hukum) lain, tidak berhajat kepada ideologi lain. Dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim Ibnu Katsir, memberikan penjelasan tentang QS Al madiah ayat 3 yang menjelaskan tentang kesempurnaan Islam : “Ini merupakan nikmat Allah terbesar bagi umat ini karena Allah Swt telah menyempurnakan agamanya bagi mereka. Tidak membutuhkan pada din yang lain…”
Pendapat senada dilontarkan salah seorang Guru Besar Universitas Al Azhar Kairo, Prof. Mahmud Syaltout yang menyatakan bahwa Islam mencakup akidah dan syari’at. Dua perkara ini tidak bisa dipisahkan atau berdiri sendiri-sendiri. Dalam istilah lain Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bukunya Nizham al-Islam, menuturkan, Islam sebagai sebuah mabda (ideologi), yang mencakup fikrah (ide dasar) dan thariqah (metode/manhaj pelaksanaan fikrah).
Akidah berada dalam lingkup fikrah, menyangkut pemikiran integral mengenai apa itu alam semesta, manusia dan (hakikat) hidup, serta kaitannya dengan kehidupan masa kini, masa lampau (sebelum diciptakannya manusia), dan masa datang (setelah kehidupan dunia berakhir). Semua itu dipaparkan dalam persoalan akidah. Sedangkan nizham (aturan hukum) yang berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika umat manusia secara praktis dan detail .
Jika Islam dipahami hanya sekedar sebuah fikrah saja, maka tak ubahnya seperti ajaran filsafat, yang mengandung norma-norma dan etika hidup -yang bersifat dorongan dan anjuran, bukan paksaan-. Tidak ada penjelasan rinci tentang mekanisme agar norma dan etika itu harus dimiliki dan dijalankan oleh pemeluknya di dunia, karena tidak ada ‘institusi atau otoritas’ yang berhak mengintervensinya, karena dianggap bahwa persoalan ini termasuk persoalan (wilayah) pribadi.
Kalangan yang menempatkan Islam sebagai fikrah saja, juga akan memahami Islam sebagai ajaran yang bersifat substantif-spiritual. Mereka ini –pada umumnya- hanya mempropagandakan seruan-seruan Islam yang mengajarkan nilai-nilai yang bersifat general (umum), seperti keadilan, perdamaian, keshalehan, kasih sayang, kesetaraan, dan lain-lain, tanpa merinci thariqah-nya, tanpa memaparkan mekanisme atau tata cara agar seruan-seruan itu bisa diwujudkan secara riil. Inilah sikap yang menempatkan Islam hanya sebagai fikrah saja.
Padahal kita mesti mensikapi aturan hukum yang ada di dalam thariqah secara sama. Aturan hukum yang terkait dengan ahwal as-syakhshiyyah (atau yang populer dengan sebutan akhlak); sama kedudukannya –sebagai sebuah hukum syari’at yang wajib dilaksanakan- dengan aturan (hukum) amar ma’ruf nahi munkar, menuntut ilmu, menjalankan shaum Ramadhan, membayar zakat, menunaikan shalat, menegakkan hukum hudud, dan lain-lain yang semuanya sama-sama wajib. Demikian juga persoalan tentang ketatanegaran, yang di dalam ranah sistem (hukum) Islam dikenal sebagai sistem ke-Khilafahan atau Imamah, atau Imarah, menjadi persoalan penting yang juga wajib dilaksanakan, sama kewajiban lainnya.
Khilafah Konsep yang Masyhur
Buku-buku fikih yang mu’tabar (dijadikan sebagai rujukan) dari seluruh mazhab, bukan saja meletakkan bab shalat, zakat atau puasa sebagai bab tersendiri, melainkan juga menaruh persoalan tentang kepemimpinan-ketatanegaraan (Imarah, Imamah, atau Khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Bahkan di kalangan aliran Syi’ah menempatkan Imamah dalam persoalan akidah dan menganggapnya sebagai rukun agama.
Buku hadits utama seperti Shahih Bukhari, misalnya, memberi porsi khusus tentang hadits-hadits ke-Khilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab al-Imarah.
Karena itu, jika ada kalangan kaum Muslim yang memfokuskan pada propaganda dan perjuangan untuk menegakkan kembali institusi Khilafah, hal itu bukan karena kalangan itu terpesona dengan Negara Khilafah –seperti yang diklaim Hasibullah Satrawi-, melainkan upaya untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang selama ini terkubur dan sengaja ditutup-tutupi.
Saudara Hasibullah Satrawi sendiri menyinggung bahwa masyarakat Islam selama ini tidak diajarkan konsep ke-Khalifahan. Ini karena masih adanya sikap ‘pilih kasih’ dalam mengkaji dan mengajarkan aturan (hukum) thariqah, atau karena ‘alergi’ terhadap kajian tentang Khilafah disebabkan stigma negatif yang dilekatkan oleh kalangan yang tidak menyukai kembalinya institusi Khilafah dan diterapkannya sistem (hukum) Islam oleh institusi tersebut. Sebuah kondisi yang sebenarnya juga dikecam oleh saudara Satrawi.
Seruan tentang konsep ketatanegaraan itu mesti Khilafah, karena as-Sunnah dan Ijma Sahabat sendiri yang menjelaskan batasan dan mekanismenya, bukan karena penafsiran atau persepsi seorang Muslim. Apalagi praktek ketatanegaraan Islam selama lebih dari 12 abad, dikenal oleh dunia dan peradaban Eropa dengan bentuk ke-Khilafahan. Karenanya, pernyataan Hasibullah Satrawi yang menulis: “Bagi mereka, konsep kenegaraan yang Islami hanyalah Khilafah“, adalah pernyataan yang tendensius, mengubur realitas sejarah ke-Khilafahan Islam, dan menunjukkan seakan-akan konsep khilafah itu milik segelintir umat Islam, padahal topik tentang Khilafah dijumpai dihampir semua buku fikih maupun hadits.
Konsep tentang ke-Khilafahan sangatlah masyhur dan pernah diterapkan di muka bumi lebih dari 1200 tahun, sejak masa Rasulullah saw hingga periode akhir ke-Khilafahan Islam Utsmani (yang diruntuhkan tahun 1924 M). Ibnu Hazm dalam bukunya al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa (j.4/87) menyatakan:”Seluruh kalangan Ahli Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat (ijma) mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga sepakat bahwa umat Islam wajib menaati seorang Imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw”.
Dalam buku al-Islam wa al-Khilafah, karya Dr.Dhiya-uddin ar-Rais (h.99) dinyatakan:”Khilafah menempati kedudukan terpenting dalam agama, dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariat Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah salah satu kewajiban mendasar diantara kewajiban-kewajiban agama lainnya, bahkan merupakan kewajiban terbesar (al-fardh al-a’zham), karena di atas ke-Khilafahan bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya”.
Untuk mengingatkan kita, kaum Muslim, betapa sistem ke-Khilafahan Islam begitu penting untuk direalisasikan, ada baiknya kita menyimak pernyataan Imam al-Qurthubi –seorang pakar tafsir-, dalam buku tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur’an al-Azhim (j.1/264):”Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-a’sham (yang tuli) terhadap syariat”.
Dengan demikian, kita mestinya memposisikan topik-topik yang berkaitan dengan thariqah secara sama, tidak timpang, sehingga Islam ditempatkan sebagai sebuah mabda (ideologi), yang mempunyai fikrah dan thariqah; yaitu ajaran yang harus kita yakini, kita perjuangkan agar terealisir, dan kita serukan ke seluruh dunia sebagai sebuah ideologi yang solutif dan rahmatan lil ‘alamin.[ Oleh KH Muhammad Al Khoththot; Pengurus MUI PUSAT]