Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyyah
Menegakkan kembali khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban syar’iy bagi seluruh kaum muslim. Alasan-alasan mengapa kaum muslim wajib berjuang menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebagai berikut.
1. Perintah untuk mentaati pemimpin. Al-Quran di banyak ayat telah mewajibkan kaum muslim untuk mentaati seorang pemimpin (ulil amriy). Allah swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu…”[Al-Nisaa’:59].
Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah, RasulNya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur para ‘ulama: Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain sebagainya.1 Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah khalifah atau imam.
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu berpegang teguh kepada syariat Allah swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah swt. 2
Meskipun manthuq ayat ini berisikan perintah untuk mentaati pemimpin, namun ayat di atas menyiratkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah). Pengertian semacam ini bisa dipahami dengan memperhatikan dalalah iltizam yang melekat pada ayat tersebut3. Perintah untuk taat kepada penguasa sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin. Sebab, Allah swt tidak mungkin memerintahkan untuk mentaati pemimpin sementara itu pemimpinnya tidak ada atau belum diangkat. Atas dasar itu, ayat ini merupakan dalil wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin (khalifah), agar mereka bisa memberikan ketaatan kepada ulil amri. Tanpa mengangkat khalifah (ulil amri) mustahil mereka bisa memberikan ketaatan.
2. Perintah untuk berhukum dengan aturan-aturan Allah swt secara menyeluruh dan sempurna. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”4
Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam5.
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamiir “mu’miniin’. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an.”6
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.
Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.7
Penerapan syariat Islam hanya akan sempurna dengan adanya institusi khilafah Islamiyyah. Atas dasar itu, eksistensi Khilafah Islamiyyah merupakan keniscayaan bagi sempurnanya penerapan hukum-hukum Islam. Tanpa khilafah, syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna. Dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa hukum menegakkan kembali syariat Islam adalah wajib.
3. Persatuan dan kesatuan kaum muslim8. Islam mewajibkan kesatuan dan persatuan kaum muslim dan melarang keterpecah-belahan (tafarruq). Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya’fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian —sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)— kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Dalam hadits ini dituturkan dengan sangat jelas, bahwa kesatuan kaum muslim (jama’ah muslim) dikaitkan dengan khalifah. Artinya, kesatuan kaum muslim hanya akan tertegak jika telah dibai’at seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim. Bahkan, Rasulullah saw mengancam siapa saja yang hendak memecah belah kesatuan kaum muslim dengan hukuman bunuh.
4. Khilafah adalah instrumen yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Persengketaan dan perselisihan diantara kaum muslim dalam masalah apapun akan bisa dituntaskan jika ada pihak yang memutuskan perselisihan tersebut. Khalifah adalah pihak yang secara syar’iy akan menyelesaikan seluruh persengketaan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam sebuah kaedah ushul fiqh disebutkan “Amrul imaam yarfa’u al-khilafah (perintah imam (khalifah) dapat menyelesaikan persengketaan”.9
5. Banyak riwayat yang menyiratkan wajibnya kaum muslim mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan mereka.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya : Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka’bah berkata : Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin ‘Ash duduk di naungan Ka’bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,……ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu.”
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim : Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami bahwa Syu’bah telah bercerita kepada kami dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata : Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda : Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami ?. Beliau menjawab : Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja”.
6. Ijma’ shahabat ra juga menunjukkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum muslim.
Perhatian generasi awal Islam terhadap urusan khilafah dan pengangkatan seorang khalifah sangatlah besar. Sampai-sa006Dpai, mereka mendahulukan urusan pengangkatan seorang khalifah dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. Sebagian besar diantara mereka menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim10. Sedangkan shahabat-shahabat lain yang bertugas mengurusi jenazah Rasulullah saw11. Namun demikian shahabat yang mengurusi jenazah Rasulullah saw menunda penyemayaman hingga para shahabat yang ada di Saqifah Bani Sa’idah menyelesaikan urusan mereka (mengangkat seorang khalifah).
Pada saat di saqifah Bani Sa’idah, kaum Muhajirin dan Anshor saling berargumentasi menunjukkan kelebihan mereka. Masing-masing berusaha menyakinkan pihak yang lain bahwa dirinya adalah orang yang lebih berhak menduduki jabatan kekhilafahan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang sangat lama dan alot akhirnya pertemuan Saqifah berhasil mengangkat (membai’at) Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw. Setelah selesai melakukan pemilihan khalifah, mereka segera kembali ke kediaman Rasulullah dan segera menyelenggarakan jenazah beliau saw. Waktu itu, jenazah Raulullah saw baru disemayamkan setelah 2 hari tiga malam, yakni setelah pemilihan di Saqifah selesai.12
Fragmen sejarah di atas telah menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian para shahabat terhadap khilafah dan pengangkatan seorang khalifah. Ijma’ shahabat ini membuktikan bahwa kaum muslim benar-benar diwajibkan untuk mengangkat seorang imam atau khalifah.
Seluruh argumentasi di atas telah menyakinkan diri kita bahwa kewajiban menegakkan kembali khilafah Islamiyyah merupakan puncak tertinggi pengabdian seorang muslim kepada Rabbnya. Sebab, dengan tertegaknya khilafah Islamiyyah hukum Islam bisa diterapkan secara sempurna di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, khilafah Islamiyyah merupakan jaminan bagi tersebarnya risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, terbidasnya seluruh kedzaliman dan kebodohan, serta terwujudnya kesatuan kaum muslim dalam bentuk ummatan wahidah.
Atas dasar itu, seorang muslim diharamkan mengabaikan persoalan yang sangat penting ini. Mengabaikan, menganggap remeh, dan menelantarkan kewajiban menegakkan kembali khilafah Islamiyyah bisa dianggap sebagai kejahatan terbesar yang akan diganjar siksa pedih.
Pendapat Ulama Tentang Kewajiban Menegakkan Khilafah Islamiyyah
a. Ulama-ulama Salaf
Ulama-ulama generasi awal Islam yang hidup di kurun terbaik telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap urusan kekhilafahan. Shahabat-shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, ‘Ali ra dan shahabat-shahabat besar lainnya bergegas mengangkat seorang khalifah tatkala khalifah sebelumnya mangkat atau karena ada sebab-sebab syar’iy lainnya13.
Mereka juga banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berbicara tentang khilafah dan khalifah. Perhatikan riwayat-riwayat berikut ini.
“Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya).” Para shahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim).
Mereka juga menuturkan sabda Rasulullah, “Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi kekacauan.”[HR. Thabaraniy].
‘Umar bin Khaththab ra sendiri bahkan memilih sekelompok pemuda yang dipersenjatai dengan pedang untuk mengawasi tim formatur pemilihan khalifah yang dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau ra berpesan kepada pemuda-pemuda tersebut untuk memenggal tim formatur jika dalam jangka 2 hari tiga malam mereka tidak berhasil mengangkat seorang khalifah. Padahal, anggota tim formatur tersebut adalah shahabat-shahabat yang telah dijamin masuk surga. Namun demikian, tak satupun shahabat mengingkari keputusan ‘Umar ini. Ini menunjukkan bahwa para shahabat rela mempertaruhkan segenap jiwanya untuk mengangkat seorang imam atau khalifah.14
Sebagian shahabat-shahabat setelah periode khulafaur rasyidin memilih untuk tidak melepaskan dirinya dari penguasa-penguasa fasiq dan dzalim demi menjaga keutuhan dan kemashlahatan kaum muslim. Ini menunjukkan betapa mereka sangat memperhatikan urusan kekhilafahan dan berusaha menjaganya dengan sepenuh jiwa dan keyakinan. Dalam sebuat riwayat dituturkan bahwa Ibnu ‘Umar ra dan mayoritas ahlul bait termasuk orang-orang yang tidak menolak untuk membaiat Yazid bin Mua’awiyyah dan mereka tidak pernah membaiat seorangpun setelah mereka menyerahkan ketaatan kepada Yazid.15 Pendapat semacam ini juga dipegang oleh Mohammad bin Hanafiyyah.
Generasi kedua memiliki sikap yang sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Banyak riwayat menunjukkan betapa besar perhatian mereka terhadap khilafah Islamiyyah. Perhatian yang sangat besar terhadap urusan pemerintahan ini telah mendorong mereka untuk selalu menjaga eksistensi dan kelanggengannya. Mereka tetap taat kepada para khalifah yang telah dibaiat oleh umat dan selama mereka memerintah dengan hukum-hukum Allah sw, meskipun kepribadian para khalifah tersebut buruk dan merusak.
Generasi kedua, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Mohammad bin Ismail, Mohammad bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Raahawiyah, dan lain-lain memberikan perhatian yang sangat besar atas kelangsungan pemerintahan Islam. Mereka memahami bahwa tanpa khalifah, agama ini tidak akan sempurna. Untuk itu, mereka lebih memilih untuk memberikan ketaatan kepada khalifah fajir, semampang mereka masih menerapkan hukum-hukum Allah swt.16 Sebab, tatkala para khalifah masih menerapkan hukum Islam, maka kemashlahatannya adalah untuk dirinya dan kaum muslim. Sedangkan kefasikannya hanya membahayakan dirinya sendiri.17
Imam Hasan al-Bashriy dalam kitab al-Sunnah mengatakan, “Siapa saja yang diberi kewenangan untuk menduduki jabatan Khilafah berdasarkan kesepakatan dari umat (ijma’), dan umat telah ridlo kepada dirinya, maka ia adalah pemimpin atas kaum mukmin. Tak seorangpun boleh berdiam diri –meskipun semalam saja—, sementara itu ia tidak mengenal imamnya, baik pemimpinnya itu berperilaku baik maupun buruk……..Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal18“
Dalam kesempatan yang lain, Imam Hasan al-Bashriy berkomentar mengenai penguasa-penguasa ,”Mereka adalah pihak yang akan menjalankan
b. Ulama-ulama Khalaf dan Mutaakhirin
Imam Abu Ya’la Mohammad al-Husain Al-Firaiy al-Hanbaliy menyatakan, “Mengangkat khalifah merupakan kewajiban”.20
Imam Ahmad berkata, “Akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada imam yang mengurusi urusan masyarakat.”21
Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat al-naas (mengurus urusan masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung diantara kewajiban-kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah.”22
Imam Mawardiy menyatakan, “Khilafah berkedudukan sebagai wakil nubuwwah….ia juga bertugas menjaga agama dan kehidupan dunia…..ia adalah sistem pemerintahan yang harus ditegakkan berdasarkan ijma’……mengangkat seorang khalifah hukumnya adalah wajib atas jama’ah al-Islamiyyah..”23
Imam Al-Ghazaliy berkata, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan sesuatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak…24”
Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh ’ulama-‘ulama besar lain semisal, Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim, Tirmidziy, Thabaraniy dan ashhab al-sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya’la al-Firaiy, al-Baghawiy, Zamakhsyariy, Ibnu Katsir, Imam al-Baidlawiy, Imam Nawawiy, al-Thabariy, Qurthubiy, Ibnu Khaldun, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain.25
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, “Menegakkan khilafah Islamiyyah berhukum fardlu kifayah atas kaum muslim di seluruh dunia Islam….Menegakkan khilafah tak ubahnya dengan kewajiban-kewajiban lain yang difardlukan oleh Allah swt…..mengabaikan kewajiban ini adalah kemaksiyatan terbesar yang akan diganjar dengan adzab yang sangat pedih..”26
Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh ‘ulama-ulama mutaakhirin yang lain, semisal al-Maududiy, Abdul Qadim Zallum, Sayyid Quthub, dan lain sebagainya27.
Hampir-hampir tidak ada satupun ulama mukhlish yang mengingkari kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan posisi khalifah dan metode perjuangan untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah.
Hanya ‘ulama-ulama fajir dan fasiq yang menghambakan dirinya kepada orang-orang kafir yang terus berusaha memalingkan umat Islam dari upaya menegakkan khilafah Islamiyyah, semisal, Ali ‘Abdul Raziq, Syarif Husain, serta orang-orang yang menyebarkan pemikiran-pemikiran kafir barat atas nama Islam. ‘Ulama-ulama semacam ini menyebarkan pemikiran-pemikiran rusak yang meracuni kejernihan ajaran Islam.
Dalam lintasan sejarah Islam tidak ada satupun masa dimana kaum muslim tidak diperintah oleh seorang khalifah. Mereka selalu berusaha mengangkat khalifah, seandainya khalifah sebelumnya telah mangkat atau karena terkena sebab-sebab syar’iy lainnya. Tradisi semacam ini tidak pernah terhenti hingga kebodohan melanda sebagian besar kaum muslim. Dalam sejarah umat Islam kaum muslim tidak pernah tidak diperintah oleh seorang khalifah dalam waktu yang lama, kecuali sejak tahun 1924 hingga sekarang ini. Padahal, kesempurnaan dan kelangsungan Islam sangat bergantung kepada sistem pemerintahan yang agung ini. [Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]
(Footnotes)
- Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajiiz, juz 4/hal.158
- Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285
- Lihat Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III/173-176; bandingkan pula dengan Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul; al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushul al-Ahkaam.
- Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247
- Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112
- Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18
- Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337
- Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Mariidl, hal.376
- ibid,hal.376
- Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Ketika Rasulullah saw wafat, kaum Anshor berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Banio Sa’idah, sedangkan Ali bin Abi Thalib bersama Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah Fathimah. Sedangkan kaumMuhajirin berkubu kepada Abu Bakar, Umar dan Usaid bin Hudlair di Bani Abdul Asyhal. Tiba-tiba seseorang mendatangi Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan berkata, “Sesungguhnya kaum Anshor telah berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Bani Sa’idah. Jika kalian ada keperluan dengan mereka, segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini semakin membesar. “ Saat itu, jenazah Rasulullah saw belum diurus dan pintu rumah beliau ditutup keluarga beliau. “[Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam]
- Ibnu Ishaq berkata, “Setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, kaum muslim mulai mengurus jenazah Rasulullah saw pada hari Selasa. Para shahabat yang memandikan jenazah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib, Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib, al-Fadl bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib, Qutsam bin al-‘Abbas, Usamah bin Zaid bin Haritsah, dan Syuqran mantan budak Rasulullah saw”. [Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam]
- Lihat Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam. Bandingkan juga dengan Taqiyyuddin al-Nabhani, diperluas oleh ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzaam al-Hukmi fi Al-Islaam, hal 75-78.
- Lihat Imam Thabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluuk.
- Abdul Qadim Zallum, Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal.81-82
- Riwayat ini dituturkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad menyatakan, “Telah meriwayatkan kepada kami Ismail bin Aliyah; telah meriwayatkan kepada saya Shakhr bin Juwairiyyah, dari Nafi’, ia berkata, “Ketika orang-orang berlepas diri dari Yazid bin Muawiyyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan anak-anak dan sanak keluarganya, kemudian ia berkata, “Saya membaiat lelaki ini (Yazid) atas dasar baiat kepada Allah dan RasulNya..” Riwayat ini juga dituturkan oleh Imam Muslim dan Tirmidziy. Imam Tirmidziy menshahihkan hadits ini.
- Al-Dararu al-Sunniyah fi al-Ajwabah al-Najdiyah, juz 7/hal.177-178
- Thabaqaat al-Hanaabilah, juz 2/36
- Imam Ahmad menyatakan, :”..Siapa saja yang berhasil mengalahkan seorang wali dengan perang (pedang), hingga dirinya diangkat menjadi seorang khalifah dan diberi gelar amirul mukminin, maka tak seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, boleh berdiam diri meskipun semalam, sementara itu ia tidak tahu bahwa orang tersebut adalah seorang Imam, baik orang tersebut baik maupun fajir..” Abu Ya’la, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal.23. Keyakinan semacam ini telah dipegang oleh para ulama salaf. Lihat juga Abu Ya’la, Thabaqaat al-Hanaabilah, juz I/ 241-242]
- Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Adab al-Hasan al-Bashriy, hal.121. Lihat pula Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, juz 2/117.
- Imam Abu Ya’la Mohammad al-Husain Al-Firaiy al-Hanbaliy, Al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal.19
- Ibid, hal. 19. Keterangan Imam Ahmad ini terdapat di dalam riwayat Mohammad bin ‘Auf bin Sofyan al-Himashiy
- Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasat al-Syar’iyyah. Lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hal. 375.
- Abu al-A’laa al-Maududiy, Al-Hukumah al-Islamiyyah, al-Mukhtaar al-Islamiy, cet-I, tahun 1977, diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Idris.
- Imam Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum al-Diin, lihat juga syarahnya oleh Al-Zabidiy, juz 2/233
- Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, hal.26; Imam Qalqasyandiy, Maatsirul al-Inafah fi Ma’aalim al-Khilafah, juz I/16; Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaaf, juz 1/hal.209; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quraan al-‘Adzim, juz 1/hal.70; Imam al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, hal.602;Imam Thabariy, Tharikhal-Umam wa al-Muluuk, juz 3/277; Imam Ibnu Taimiyyah, Minhaaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, juz 1/137-138; Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2/519; Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Isti’aab fi Ma’rifat al-Ashhaab juz 3/1150 dan Taarikh al-Khulafaa’ hal.137-138, dan lain-lain.
- Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hal.15
- Bandingkan dengan Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl
Jelas sudah pandangan ulama tentang wajibnya Khilafah, kalau kita pengikut para ulama, atas alasan apa lagi kita menolak kewajiban memperjuangkan Khilafah ini.
ulama pewaris para nabi
sudah selayaknya kita ikuti jejaknya
termasuk menjaga keutuhan islam dengan khilafah, sebagaimana yang diwajibkan mereka.khilafah wa’dun wa fardun
innalloha maasshobirin