Khilafah Mempersatukan Umat

resize-of-mrkurniathumb.jpgDunia kini laksana sebuah dusun kecil. Penyatuan berbagai bangsa merupakan sebuah keniscayaan. Namun, realitas menunjukkan umat Islam sekarang terpecah-belah. Kaum Muslim terkotak-kotak menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil. Antar negara itu pun terjadi pertentangan. Suriah dan Libanon masih bersitegang. Negara-negara Teluk membiarkan Irak digempur AS sendirian. Indonesia dan Malaysia masih berebut blok Ambalat. Belum ada yang dapat menyatukan umat terbaik yang diturunkan bagi manusia itu. Padahal Allah dan Rasulullah menegaskan bahwa umat Islam adalah satu, laksana tubuh. Lalu bagaimana persatuan umat itu dalam tataran praktis? Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa umat Islam dunia disatukan oleh Khilafah.


Khilafah Menyatukan Umat

Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Wahyu yang dibawanya memiliki kemampuan menyatukan manusia. Semasa Beliau hidup, sejak berdirinya pemerintahan Islam pertama di Madinah, Islam mempersatukan dan mempersaudarakan berbagai suku dan bangsa. Berbagai kabilah/suku di Makkah yang dulu sering bertentangan dipersaudarakan dengan kalimat tauhid. Macam-macam suku di Madinah, termasuk suku Aus dan Khajraj yang ratusan tahun tak pernah berhenti bertikai, dipersatukan di bawah Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Makkah dan Madinah yang berbeda karakteristik, budaya dan adat kebiasaan pun dipadukan membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Islam. Karenanya, “Mereka membawa bukan hanya ideologi baru, tetapi juga mengilhami energi dan kepercayaan (confidence) yang sedemikian radikalnya mengubah manusia dan masyarakat dimana ia tinggal. Mereka melengkapi pengobar semangat buat abad baru dan kemajuan kebudayaan di peradaban, seni dan ilmu, material dan spritual.” (Abul Hasan an-Nadawi, Islam The Most Suitable Religion for Mankind: The Challenge of Islam).

Islam terus meluas. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Kekhilafahan mencakup segenap semenanjung Arabia. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Islam menembus Persia, sekalipun mereka memiliki kultur yang sangat khas. Bayangkan, Persia selama ini merupakan salah satu dari dua raksasa dunia kala itu. Awalnya, kultur mereka adalah pemburu dan petani, kemudian berkembang menjadi bandar dagang. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan di antara mereka adalah bahasa Babylon. Kepercayaan awal mereka berdasarkan pada ide bahwa mereka dan bandar mereka adalah surga tuhan di dunia. Setiap bandar dimiliki oleh tuhan dan patungnya diletakkan di dalam sebuah berhala pusat. Bandar mereka sering bersengketa satu sama lain. Pasca masuknya Islam, banyak di antara penduduknya yang memeluk Islam. Setelah itu, mereka dapat disatukan ke dalam masyarakat berkat adanya Khilafah sebagai kepemimpinan umat. Semenanjung Arabia dan Persia pun menyatu.

Khilafah Islam bukan hanya sekadar menyatukan daerah Asia Barat tersebut, pada Masa Khalifah Umar negeri-negeri Syam dan Baitul Maqdis disatukan ke dalam Khilafah. Tahun 639 M Mesir dengan pelabuhan Alexandria di Afrika disatukan ke dalam Khilafah. Kebanyakan penduduk di sana dari orang Qibti. Mereka awalnya bangga dengan Mesir kuno. Pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan, rakyat di kota-kota dan negeri-negeri di Afrika disatukan. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang sebelumnya di bawah kendali dan pengaruh Romawi. Tentu, karakteristik masyarakatnya berbeda dengan Arab dan Persia. Namun, dengan Islam mereka dapat menjadi umat yang satu. Kulit hitam dan sawo matang dapat disatukan oleh Islam melalui Khilafah.

India, Persia dan Afganistan makin mendapatkan pengaruh Islam pada masa Kekhilafahan Umayah. Masuknya Islam ke daerah-daerah lain membawa bermacam kerajinan tangan—seperti pekerjaan tembaga di Iran, tenun di Irak, pembuatan kaca dan tembikar di Syam dan Alexandria, dll—yang merupakan satu kegiatan baru di negeri-negeri itu, yang membuka mata pencaharian, membasmi pengangguran dan meningkatkan hasil negara serta menggairahkan usaha dagang dan perindustrian. Khilafah Umayah memperluas penyatuan wilayah hingga ke Asia Tengah sampai Cina, merayap ke Afrika Utara, terus ke Andalusia (Spanyol). Bangsa berkulit putih dan bermata biru disatukan dengan bangsa yang bermata sipit dengan Islam. Benua Asia, Afrika, dan Eropa disatukan.

Pada masa Khilafah Umayah pula para seniman, arsitek dan ahli berbagai bidang lainnya didatangkan dari berbagai negeri. Para ahli ini dipakai untuk membangun dan memugar kota-kota bersejarah yang membawa corak kesenian campuran antara Islam, Byzantium, dll hingga merupakan suatu teknik baru yang baru dikenal pada masa Islam (Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam). Masyarakat pun makin menyatu. Bahkan Raja Sriwijaya di Nusantara bernama Srindravarman pada tahun 100 H (718 M) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Umayah. Isinya, meminta dikirimkan dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya (Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama).

Hal ini terus berlangsung. Pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah berbagai bangsa disatukan. Jelaslah, sejarah mencatat Khilafah menyatukan umat manusia lintas suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua.


Faktor Keberhasilan

Realitas menyatunya umat dari berbagai suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua merupakan prestasi luar biasa. Belum ada dalam sejarah manusia yang berhasil mempersaudarakan bangsa-bangsa seperti ini. Islam memang memiliki faktor-faktor untuk itu. Pertama: Pengikat persatuan itu adalah akidah Islam. Ikatan ini merupakan ikatan hakiki. Betapa tidak. Akidah Islam memandang manusia sama di hadapan Allah Swt. Kata Nabi saw., tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak ada kelebihan non-Arab atas bangsa Arab, kecuali karena takwa. Bahkan Allah menegaskan kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan karena suku, ras, keturunan, warna kulit, atau tampak luar lainnya, melainkan hanya karena takwanya. Akidah Islam meniscayakan adanya berbagai suku bangsa, namun semuanya harus saling mengenal. Dengan ikatan seperti ini setiap bangsa yang disatukan ke dalam Islam berkedudukan sama. Tidak ada istilah pribumi dan pendatang. Karenanya, masyarakat siap dipimpin oleh siapapun dari bangsa manapun. Saudi Arabia siap dipimpin oleh Nabi saw. yang berasal dari Makkah. Kaum Muslim siap dipimpin oleh Bagdad atau Andalusia. Bahkan Arab siap dipimpin oleh Turki pada masa Utsmaniyah, misalnya.

Kedua: Kesamaan visi dan misi antara rakyat dan penguasa. Karena pengikatnya sama maka tolok ukur antara rakyat dan penguasa (miqyas al-a‘mâl) juga sama, yaitu syariah Islam. Misi hidupnya juga telah ditetapkan oleh Allah, yakni untuk ibadah, dakwah dan jihad. Karenanya, persatuan yang dilahirkan bukan berasal dari kesamaan suku, warna kulit, atau ras melainkan karena kesadaran bahwa syariah Islam mewajibkan umat Islam menjadi ummah wâhidah sekaligus mengharamkan perpecahan.

Ketiga: Adanya institusi pemersatu, yakni Khilafah Islam. Selain akidah dan kesamaan visi misi, persatuan akan benar-benar direalisasi jika ada Khilafah yang menyatukan. Khilafahlah yang kala itu menyatukan umat Islam di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Ketika ada upaya untuk memecah-belah umat, Khilafah juga yang menghadangnya. Upaya mengakulturasikan berbagai bangsa itu dilakukan oleh Khalifah. Bahkan perbedaan pandangan disatukan dengan adanya pendapat Khalifah. “Ra‘yu al-Imâm yarfa‘u al-khilâf (Pendapat Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan,” begitu bunyi salah satu kaidah ushul. Karenanya, ketika Khilafah diruntuhkan, umat tidak dapat bersatu sekalipun pekik persatuan terdengar dimana-mana.

Keempat: Kemampuan menyelesaikan konflik internal dan menjadikan perbedaan sebagai perekat. Berbagai konflik terjadi, namun dapat diselesaikan. Perbedaan sikap sejak masa Abu Bakar pasca wafat Nabi saw., konflik Ali-Muawiyah, dsb dapat dituntaskan. Perbedaan tetap ada, tetapi kesatuan sebagai umat tetap diutamakan.

Kelima: Keberhasilan mensejahterakan seluruh rakyat. Faktor ini sangat penting. Sebab, tujuan keberadaan masyarakat Islam itu sendiri adalah menegakkan syariah di dalam kehidupan demi kesejahteraan masyarakat. Dalam bidang pendidikan, misalnya, masyarakat gratis sekolah. Sekadar contoh, Madrasah Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah al-Hakim Biamrillah pada tahun 395 H merupakan institut pendidikan yang dilengkapi dengan perpustakaan yang dibuka untuk umum. Perpustakaannya juga difasilitasi dengan ruang studi, ceramah, dan ruang musik untuk refreshing bagi pembaca. Di al-Mustansyiriyah setiap siswa diberi beasiswa satu dinar sebulan. Ad-Dimsyaqy mengisahkan dari al-Wadliyah bin Atha’, bahwa Umar bin al-Khathab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan saat sekarang (katakan saja 1 gram emas seharga Rp 90.000), gaji mereka sebesar Rp. 5.737.500. Pada masa Umar bin Abdul Aziz masyarakat sejahtera hingga tak ada yang layak menjadi mustahiq (penerima) zakat. Di Cordova pada masa Abdul Rahman III dan al-Hakam (961-967) yang berpenduduk 1 juta jiwa memiliki 50 rumah sakit, 900 tempat mandi umum, 800 sekolah, 600 masjid, perpustakaan dengan 600.000 jilid buku, ditambah 70 perpustakaan pribadi (Ali Zaki, Islam in the World).

Berdasarkan kenyataan tersebut, jelaslah hanya Khilafah yang dapat menyatukan umat manusia dari berbagai suku, ras, etnis, warna kulit, bahkan agama. Tanpa itu, persatuan dan perdamaian dunia hanyalah omong-kosong. Karenanya, adanya Khilafah benar-benar merupakan kebutuhan sekaligus tuntutan sejarah kemanusiaan. [MR Kurnia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*