Pendahuluan
Negara manapun pasti menghadapi berbagai potensi konflik dan perpecahan, sebagaimana setiap negara pasti mempunyai kiat untuk mengatasinya. Yang berbeda hanyalah persepsi mengenai faktor penyebab konflik dan perpecahan, bergantung pada ikatan apa yang mempersatukan suatu negara. Selain itu, kiat untuk mengatasi konflik dan perpecahan ini juga dapat berbeda-beda, bergantung pada persepsi mengenai “persatuan” (integrasi) dan “perpecahan” (disintegrasi).
Negara-bangsa (nation-state) yang berasaskan nasionalisme, misalnya, akan memandang nasionalisme sebagai faktor pemersatu, bukan faktor pemecah-belah. Karena itu, berbagai ikatan sub-nasional—yang oleh Geertz disebut ikatan primordial (primordial sentiments/attachments) seperti ikatan agama, suku, dan bahasa—akan dipandang sebagai potensi disintegrasi yang dapat membahayakan keutuhan negara (Crouch, 1982). Berbagai ikatan tersebut sudah barang tentu harus dijinakkan dengan tetap memposisikan nasionalisme sebagai ikatan tertinggi.
Namun, Khilafah yang berasaskan akidah Islam memandang nasionalisme justru sebagai faktor pemecah-belah, bukan faktor pemersatu. Sebab, ikatan yang mempersatukan Khilafah adalah ikatan Islam, bukan ikatan kebangsaan (Al-Maududi, 1993). Khilafah adalah negara untuk semua orang Islam di seluruh dunia, tanpa memandang kebangsaannya. Karena itu, nasionalisme dianggap berbahaya karena dapat memecah-belah persatuan umat Islam di bawah satu Khilafah (Siddiqui, 2002). Ikatan nasionalisme ini tentu saja wajib dihancurkan agar Khilafah tidak mengalami disintegrasi (Haikal, 1996).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan faktor-faktor penyebab konflik dan perpecahan dalam negara Khilafah serta menjelaskan bagaimana Khilafah mengatasinya.
Faktor-Faktor Penyebab Konflik & Solusinya
Berikut adalah penjelasan mengenai sebagian faktor penyebab konflik dan bagaimana negara Khilafah mengatasinya.
1. Perbedaan visi bernegara.
Perbedaan ini secara garis besar ada 2 (dua) macam. Pertama: perbedaan mengenai sistem pemerintahan (nizhâm al-hukm). Dalam Khilafah, misalnya, ada individu atau kelompok yang menginginkan sistem di luar Khilafah, seperti sistem republik atau sistem monarki. Contohnya adalah Musthafa Kemal yang menginginkan sistem republik atau Kelompok Ittihad wa At-Taraqqi yang mengadopsi sekularisme (Shalabi, 2004). Kedua: perbedaan dalam hal pemerintahan (al-hukkâm).
Untuk mengatasi perbedaan yang mengarah pada pergantian sistem pemerintahan, Khilafah dapat menempuh tiga langkah, yaitu: langkah pemikiran, politik, peradilan. Langkah pemikiran adalah berupa perang pemikiran (ash-shirâ’ al-fikri) untuk menjelaskan kebatilan sistem republik atau monarki. Ini dapat ditempuh melalui sistem pendidikan, media
Untuk mengatasi perbedaan yang hanya mengarah pada pergantian khalifah dengan jalan kekerasan, Khilafah dapat mengadopsi UUD yang secara rinci mengatur sistem pemerintahan (nizhâm al-hukm), termasuk tatacara pergantian kekuasaan yang hanya sah dengan jalan baiat melalui dukungan umat (’an tharîq al-ummah), bukan melalui jalan kekerasan (’an tharîq al-quwwah) (An-Nabhani, 2002).
2. Perbedaan firqah dan mazhab.
Perbedaan firqah (kelompok) merupakan perbedaan kelompok atas dasar pemahaman tertentu dalam memahami akidah Islam. Ini berpotensi menimbulkan konflik antar firqah, misalnya antara Ahlus Sunnah dan Syiah, atau antara Ahlus Sunnah dan Muktazilah. Ahlus Sunnah, misalnya, memandang setelah Rasulullah saw. wafat, khalifah yang sah adalah Abu Bakar. Sebaliknya, Syiah memandang bahwa seharusnya khalifahnya adalah Ali bin Abi Thalib, bukan Abu Bakar. Demikian pula perbedaan mazhab dalam banyak masalah fikih antara mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali; sering juga menjadi potensi konflik atau perpecahan (Al-Wakil, 1998; Isa, 1982)
Menyikapi perbedaan firqah, Khilafah tidak akan campur tangan selama akidah yang dianut berbagai firqah masih akidah Islam; kecuali jika akidah suatu firqah telah keluar dari akidah Islam, misalnya meyakini bahwa Allah telah hulûl (merasuk) pada Ali bin Abi Thalib. Firqah seperti ini dianggap murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad, yakni dijatuhi hukuman mati oleh Khilafah jika tidak bertobat (An-Nabhani, 2002).
Khilafah juga tidak mengadopsi suatu aliran tertentu dalam akidah Islam, misalnya Muktazilah. Ini menimbulkan haraj (kesulitan/kesempitan) bagi umat. Namun, jika ahlul bid‘ah telah merajalela dengan akidah yang tidak sahih (namun belum dapat dikafirkan), maka Khilafah akan menjatuhkan sanksi yang membuat mereka jera. Jika akidah ahlul bid‘ah termasuk akidah kufur maka mereka diperlakukan sebagai orang murtad.
Adapun menyangkut perbedaan fikih pada masalah-masalah ijtihadi, misalnya penentuan awal Ramadhan apakah dengan rukyat atau hisab, maka Khilafah berhak mengadopsi satu hukum syariah tertentu yang wajib atas seluruh umat untuk menaati dan mengamalkannya. Dalam hal ini, kaidah syariah menetapkan: Amr al-Imâm yarfa‘u al-khilâf (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat).
3. Kelemahan pengelolaan pemerintahan.
Misalnya diamnya Daulah Abbasiyah terhadap Abdurrahman ad-Dakhil di
Untuk mengatasi masalah ini, Khilafah dapat dapat mengadopsi UUD yang mengatur pembatasan kekuasaan para wali. Misalnya, wali tidak diberi kewenangan umum (wilâyah ’ammah) yang mencakup segala urusan, namun hanya diberi kewenangan khusus (wilâyah khashash) yang tidak mencakup urusan peradilan, militer, dan keuangan. (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, 2005).
4. Ketidakadilan pemerintah.
Pemerintah Khilafah dalam sejarah ada yang berbuat zalim atau tidak adil sehingga dapat memicu munculnya konflik. Misalnya, dalam penarikan jizyah dari Ahludz Dzimmah (warga negara non-Muslim), Khalifah Umar bin al-Khaththab dalam perjalanannya ke Syam pernah melihat para pegawainya menyiksa orang-orang non-Muslim yang tidak membayar jizyah. Khalifah Walid bin Abdul Malik (Bani Umayyah) pernah merampas gereja Yohana dari tangan Nasrani, lalu dijadikan masjid. (Al-Maududi, 1993)
Solusi masalah ini adalah Khilafah wajib menegakkan keadilan dan menghilangkan segala bentuk kezaliman. Dalam kasus di wilayah Syam atas, Khalifah Umar langsung mengambil tindakan dengan melarang penyiksaan atas non-Muslim itu (Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 71). Demikian juga dalam kasus perampasan masjid, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengembalikan gereja yang sudah dijadikan masjid kepada kaum Nasrani (Al-Balazhuri, Futûh al-Buldân, hlm. 132).
5. Kecemburuan sosial dan ekonomi.
Kecemburuan sosial ekonomi dapat pula memicu konflik atau perselisihan sebagai akibat kebijakan memprioritaskan kelompok, golongan, suku, atau ras tertentu di atas yang lain tanpa alasan syar‘i. Khalifah a-Mu’tashim (Bani Abbasiyah), misalnya, mengistimewakan orang-orang Turki untuk menjabat posisi-posisi penting. Ini dilakukannya untuk menggeser orang-orang
Mengatasi masalah ini, Khilafah wajib berbuat adil tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Sebab, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali atas dasar takwa. Dalam ketentuan mengenai pengangkatan pegawai, diberlakukan hukum ijârah (kepegawaian) yang bersifat umum dan mutlak, yaitu setiap orang yang memiliki kewarganegaraan dan memenuhi kualifikasi—laki-laki atau perempuan, Muslim atau non-Muslim—berhak menjadi pegawai pemerintah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, 2005).
Dalam konteks yang lebih luas, Khilafah wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Khilafah mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
6. Intervensi negara asing.
Sejarah mengajarkan bahwa intervensi negara asing dalam tubuh Khilafah Utsmaniyah—misalnya serangan politik dan pemikiran serta kristenisasi yang dijalankan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat—ternyata sangat mematikan karena berujung pada hancurnya Khilafah tahun 1924. Tersebarnya paham sekularisme dan nasionalisme yang kafir juga merupakan salah satu dampak intervensi asing yang jahat ini (Tha’imah, 1984; Khalidi & Farrukh, 1986).
Khilafah wajib menghadapinya dengan tindakan tegas. Selain mengaktifkan jaringan intelijen negara yang didukung oleh umat, Khilafah dapat menjatuhkan sanksi ta‘zîr yang keras. Individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing yang menyerukan ide kafir seperti sekularisme dan nasionalisme dapat dijatuhi hukuman mati dan setelah itu jenazahnya disalib di pinggir jalan. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [KH M. Shiddiq al-Jawi]
Daftar Pustaka:
Al-Maliki, Abdurrahman, Nizhâm al-‘Uqûbât, (
Al-Maududi, Abul A’la, Hak-Hak Minoritas Non-Muslim dalam Negara Islam, Penerjemah A. Syatibi Abdullah, (
Al-Wakil, M. Sayyid, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah Hingga Imperialisme Modern (Lamhah min Târîkh ad-Da‘wah: Asbâb Adh-Dha‘f fî al-Ummah al-Islâmiyyah), Penerjemah Fadhli Bahri, (
An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah Al-Islâmiyyah, (
Ash-Shalabi, Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah al-Utsmaniyah ‘Awâmil an-Nuhûdh wa Asbâb as-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (
Crouch, Harold, Perkembangan Politik dan Modernisasi, (
Haikal, M. Khair, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, Juz I, (
Khalidi, Musthafa & Farrukh, Umar, At-Tabsyîr wa al-Isti‘mâr fî al-Bilâd al-‘Arabiyah, (
Isa, Abdul Jalil, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antara Sesama Ummat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf Bayna al-Muslîmin), Penerjemah M. Tolchah Manyur & M. Masyhur Amin, (Bandung: Almaa’rif), 1982.
Lembaga Studi & Penelitian Islam
Siddiqui, Kalim, Seruan-Seruan Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat (In Pursuit of the Power of Islam), Penerjemah Akhmad Affandi & Humaidi, (
Tha’imah, Shabir, Akhthar Al-Ghazw al-Fikri ’ala al-‘Alam al-Islâmi, (