Seruan dan tuntutan penegakan kembali Khilafah Islamiyah yang mengikuti metode kenabian di seluruh dunia semakin menguat. Seruan dan tuntutan tersebut lantang disuarakan oleh kaum Muslim dari ufuk timur sampai ufuk barat. Penegakan kembali Khilafah Islamiyah itu disadari merupakan tuntutan agama sebagai sebuah kewajiban. Penegakkan Khilafah juga merupakan tuntutan kondisi dunia yang membutuhkan solusi karena keburukan dan melapetaka yang diciptakan khususnya oleh Kapitalisme yang sedang merajalela saat ini.
Namun, di tengah semua itu masih terdengar adanya sebagian orang yang berupaya melemahkan seruan dan tuntutan tersebut. Mereka menjelek-jelekkan sistem Khilafah, bahkan menolaknya. Di antara sekian dalih yang digunakan adalah karena terjadinya beberapa catatan buruk dalam sejarah Khilafah Islamiyah seperti: adanya kezaliman penguasa; terjadinya perpecahan dalam berbagai bentuk; meletusnya berbagai konflik dan peperangan di antara sesama kaum Muslim.
Memang benar, sepanjang perjalanan kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyah, sejarah mencatat terjadinya sejumlah perpecahan, pertikaian, konflik dan peperangan di antara sesama kaum Muslim. Hal itu bermula dari adanya fitnah pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra. hingga beliau terbunuh di tengah fitnah tersebut. Fitnah itu membawa rentetan panjang perselisihan, pertikaian dan konflik. Tejadinya Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah bagian dari dampak fitnah itu. Begitu pula munculnya kelompok Khawarij, Syiah dan sebagainya; termasuk catatan buruk yang terjadi pada masa-masa berikutnya, juga tidak lepas dari fitnah tersebut. Satu hal yang patut dicatat, sebagaimana yang dikatakan oleh ath-Thabari di dalam Târîkh-nya, Ibn Katsir di dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah dan para sejarawan terpercaya lainnya, fitnah itu terjadi lebih karena hasutan dan makar Abdullah bin Saba’ (Ibn as-Sawda’), seorang rabbi Yahudi di Yaman yang masuk Islam sebagai tipudaya untuk merusak Islam dan kaum Muslim, beserta komplotannya.
Menyikapi Sejarah Buruk Masa Lalu
Terjadinya beragam catatan buruk dalam perjalanan kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyah merupakan fakta sejarah. Hal itu tidak bisa diingkari dan memang tidak ada gunanya diingkari. Yang lebih layak untuk dibahas adalah bagaimana sikap yang seharusnya dikembangkan menanggapi berbagai catatan buruk dalam sejarah Khilafah Islamiyah itu.
Ketika menyikapi sejarah, kita harus bersikap adil. Memfokuskan pembahasan pada sisi buruk saja atau sisi baik saja bukanlah sikap yang adil. Begitupun dalam masalah ini. Memang benar, ada catatan buruk itu, namun di sisi lain kita tidak boleh melupakan bahwa di sana juga banyak sekali catatan baik berupa kegemilangan, kemakmuran hidup, kemajuan peradaban dan sains teknologi, pemerataan baik bagi kaum pembebas maupun yang dibebaskan, serta segudang catatan emas sejarah Khilafah Islamiyah dan kaum Muslim sepanjang 14 abad itu. Hanya melihat catatan buruk lantas menjadikannya sebagai dalih untuk menjelekkan atau lebih parah menolak sistem Khilafah Islamiyah sama saja menutup mata dan melupakan semua sejarah emas itu. Itu merupakan sikap yang tidak adil dan zalim terhadap sejarah.
Adanya sistem Khilafah merupakan fakta yang tidak bisa diingkari sebagai bagian dari syariah Islam. Lebih dari dua puluh hadis Nabi saw. yang di dalamnya disebut kata khilafah, khalifah, imam, dan baiat; semuanya adalah ungkapan yang sama tentang Khalifah dan Khilafah. Di samping itu kewajiban tegaknya Khilafah merupakan perkara ma’lûmun min ad-dîn bi dharûrah. Bahkan para ulama menyatakan bahwa hal itu merupakan ijmak.
Perlu disadari, catatan sejarah buruk bukan hanya monopoli sejarah kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyah. Penggalan sejarah buruk merupakan keniscayaan dalam sejarah manusia. Semua itu ada dan terjadi di semua sejarah bangsa dan umat manusia. Dalam sejarah nasionalisme dan nation-state sangat banyak sejarah buruk yang bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi dalam sejarah kaum Muslim. Demikian pula dalam sejarah Sosialisme-Komuinisme, apalagi Kapitalisme. Meski di sisi lain tercapai kemajuan sains dan teknologi, keburukan malah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kedua ideologi itu dan terjadi secara terus-menerus. Jika terhadap sistem Khilafah Islamiyah, catatan buruk dalam sejarahnya dijadikan dalih untuk menjelekkan dan menolak sistem Khilafah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap demokrasi, Kapitalisme, dsb; padahal di dalam sejarahnya banyak terdapat catatan yang jauh lebih buruk? Kemiskinan dan kelaparan di Dunia Ketiga, kesenjangan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara dunia ke tiga, konflik dan perang antara bangsa yang terus-menerus, dan terutama penjajahan negara-negara kapitalis besar seperti AS dan sekutunya atas negara-negara lain, khususnya negeri-negeri Islam, justru terjadi dan tidak pernah berhenti hingga detik ini ketika ideologi Kapitalisme dan demokrasi mendominasi dunia.
Jika semata karena adanya catatan buruk dalam sejarah lantas sistemnya ditolak maka seluruh sistem yang ada dan pernah dikenal harus ditolak pula. Jelas, hal demikian tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karenanya, menjadikan catatan buruk sejarah Khilafah untuk menolak sistem Khilafah jelas tidak pada tempatnya dan hanya dalih yang dicari-cari.
Sejarah Khilafah adalah catatan tentang penerapan dari konsepsi sistem Khilafah. Konsepsi tentang Khilafah sendiri merupakan pemikiran dan hukum tentang sistem Khilafah yang digali dari dalil-dalil syariah. Jadi, sangat jelas bahwa sejarah bukanlah konsepsi sistem Khilafah, apalagi sebagai dalil sistem Khilafah itu sendiri. Sejarah itu hanyalah obyek pemikiran, yaitu obyek yang hendak dinilai berdasarkan sumber pemikiran atau dalilnya. Dengan menganalisis sejarah Khilafah dan membandingkannya dengan konsepsi Khilafah, maka akan bisa disimpulkan bahwa sejarah itu merupakan pelaksanaan atau sebaliknya penyimpangan dari konsep Khilafah. Pelaksanaannya pun masih bisa dinilai apakah sebagai pelaksanaan yang baik atau ideal dari konsepsinya, atau pelaksanaan yang buruk terhadap konsep Khilafah. Sejarah buruk itu merupakan penyimpangan atau pelaksanaan buruk dari sistem Khilafah Islamiyah. Itu hanya sebagian dari sejarah Khilafah. Karena itu, menolak sistem Khilafah dengan alasan penggalan sejarah buruk yang pernah terjadi, berarti telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya; yaitu menempatkan obyek menjadi sumber pemikiran atau dalil. Jelas ini sikap yang tidak fair.
Sejarah yang ada itu menunjukkan kepada kita bahwa sistem Khilafah itu bukanlah sistem teokrasi. Sejarah yang ada juga menunjukkan bahwa meski sumber konsepsinya berasal dari wahyu yang tidak mungkin ada cacat, bisa saja dalam meng-ekstrak konsep itu terdapat kesalahan. Dalam penerapannya pun dimungkinkan terjadi kesalahan dan keburukan. Kesalahan dan keburukan itu bukan datang dari dalil/sumbernya, melainkan datang dari manusia sebagai pihak yang meng-ekstrak konsep dari sumbernya dan sebagai pelaksana konsep Khilafah itu. Jadi, sistem Khilafah merupakan sistem yang bersifat basyariyah. Artinya meski konsepnya bersumber dari wahyu, pelaksananya adalah manusia dengan seluruh karakter manusiawinya, di antaranya mungkin melakukan kesalahan. Karena sistem Khilafah bersifat basyariyah, pelaksanaan sistem Khilafah itu dijamin masih berada dalam kapasitas manusia, karena Allah Swt. tidak membebani hambanya dengan sesuatu yang berada diluar kapasitas hamba (QS 2: 233, 286; 6: 152; 7: 42 dan 23: 62).
Allah Swt. menyatakan tentang kisah-kisah umat terdahulu:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS Yusuf [12]: 111).
Ayat ini memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari perjalanan umat-umat terdahulu. Mengambil pelajaran dari perjalanan kaum Muslim tentu lebih utama. Karena itu, membincangkan atau memperdebatkan sejarah buruk itu semata merupakan sikap yang tidak produktif. Sikap yang seharusnya sesuai dengan ayat di atas adalah mengambil pelajaran darinya. Hal itu bisa dilakukan dengan jalan mendalami dan menganalisis peristiwanya, kemudian menilainya dan mendudukkan perkaranya sesuai ketentuan syariah, selanjutnya mencegah agar kesalahan serupa tidak terulang lagi ketika Khilafah Islamiyah berdiri kembali.
Umat harus sadar bahwa sejarah buruk masa lalu itu tidak layak menjadi beban untuk melangkah ke depan. Tidak ada warisan perpecahan. Sejarah buruk itu bukanlah warisan yang perlu dilestarikan, tetapi justru harus ditinggalkan dan dijauhkan. Harus dibangun kesadaran bersama di tengah umat bahwa perpecahan hanya akan mendatangkan kerugian dan kehancuran bagi umat. Allah Swt. memerintahkan persatuan (lihat QS 3: 103) dan sebaliknya melarang perpecahan (lihat QS 6: 153). Bahkan Allah melarang kaum Muslim saling berbantahan atau berselisih, karena akan membuat hilangnya kekuatan dan kaum Muslim dirasuki rasa gentar terhadap musuh (lihat QS 8: 46). Sejarah kaum Muslim masa lalu dan umat manusia pada umumnya cukup menjadi pelajaran akan bahaya perpecahan itu.
Dengan demikian, yang harus dilakukan sekarang adalah berpikir ke depan agar sejarah buruk itu tidak terulang kembali; juga berpikir ke depan demi kemajuan kaum Muslim. Untuk itu, penting dirumuskan konsep sistem Khilafah yang digali dari dalil-dalil syariah, memperhatikan dan mengambil contoh dari Khulafaur Rasyidin, dan memperhatikan perjalanan kaum Muslim berikutnya. Dengan begitu, sejarah buruk yang pernah terjadi itu bisa dicegah sehingga tidak terjadi dalam pelaksanaan sistem Khilafah Islamiyah yang akan datang. Hizbut Tahrir dalam hal ini telah menyiapkan konsep tersebut dan terus menyempurnakannya.
Tugas besar berikutnya adalah bahwa konsep tersebut harus dikomunikasikan dan dipahamkan kepada kaum Muslim. Dengan itu, kaum Muslim memahami kewajiban tegaknya Khilafah, memahami konsep-konsepnya dan tergambar pelaksanaannya. Dengan itu pula kaum Muslim akan memiliki kepercayaan kuat bahwa sejarah buruk yang pernah terjadi tidak akan terulang lagi, berbekal pemahaman umat terhadap sistem Khilafah dan pelaksanaannya serta peran dan fungsi umat di dalamnya. Upaya mengkomunikasikan dan memahamkan sistem Khilafah itu sekaligus merupakan upaya untuk membentuk opini dan kesadaran umum umat terhadap sistem Khilafah sebagai prasyarat pendiriannya. Adanya pemahaman umat akan sistem Khilafah merupakan jaminan keberlangsungan Khilafah setelah berdirinya. Karena itu, upaya ini merupakan upaya strategis yang harus diposisikan sebagai agenda utama umat.
Walhasil, tetap berkutat di seputar sejarah buruk yang pernah terjadi sepanjang perjalanan Khilafah, lalu menjadikannya alasan untuk menjelekkan, meragukan atau bahkan menolak sistem Khilafah merupakan tindakan yang tidak fair, zalim dan tidak adil, sekaligus tidak sejalan dengan akal sehat. Dengan mengambil pelajaran dari sejarah buruk itu, dan berpikir ke depan, maka kaum Muslim harus optimis akan tegaknya Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian; optimis akan terealisasinya kemajuan Islam dan kaum Muslim. Hal itu merupakan janji Allah dan Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]