MR Kurnia
Ketua Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia
Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan ide Syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua ide itu, HTI dianggap sebagai ancaman bagi NKRI. Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban dan hanya romantisme sejarah para pengusungnya. Khilafah memecah-belah. Khilafah didasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi dan rawan terhadap pembajakan demi nafsu kekuasaan. Ide Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas. Khilafah tidak menyelesaikan masalah dll. Itulah di antara kekeliruan yang bisa dibaca dalam tulisan Zuhairi Misrawi (ZM) yang bertajuk, “Dekonstruksi Khilafah” (Koran Tempo, 24/8).
Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang dipaparkan secara panjang lebar oleh ZM. Sebab, HTI sendiri, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan berbagai hal seputar syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang dipertanyakan oleh Zuhairi Misrawi dalam tulisan tersebut. Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk dijawab oleh semua pihak, termasuk oleh ZM dan kalangan Islam Liberal yang selama ini rajin mereduksi ide syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HTI mengusung ide syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HTI, syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi. Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca secara jujur oleh mereka yang menolak ide syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep/solusi yang bersumber dari syariah, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Solusi syariah yang ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahrir.or.id, Jurnal al-Wa‘ie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
Jika banyak kalangan, termasuk ZM, mempertanyakan komitmen HTI terhadap NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya. Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).
Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku tentang bahaya utang luar negeri melalui lembaga internasional seperti IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak ‘menjual murah’ BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; tidak mengesahkan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini; dll. Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda: Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi (HR Ibn Majah dan an-Nasa’i). Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah—termasuk orang-orang seperti ZM—konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa orang-orang seperti ZM sendiri tidak pernah menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan demokrasi dan nasionalisme.
Jika kita mau jujur, demokrasilah—juga nasionalisme—yang lebih rawan direduksi sekaligus ‘dibajak’ untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing! Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syar‘i-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50). Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini. Pertanyaannya: akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Jika tidak, apa solusinya? Hizbut Tahrir telah memilih: syariah—yang pasti membawa maslahat dan rahmat (QS al-Anbiya’ [21]: 107)—dan Khilafah. Lalu solusi apa yang ditawarkan oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah, termasuk ZM sendiri?! []
Sepakat!!!!
Solusinya emang hanya syariah dan khilafah. Terus maju ummat Islam galang persatuang demin Dienullah.
Sangat Jitu dan argumentatif! Saya makin yakin, bahkan teramat yakin….bahwa hanya Khilafah lah yang akan Menyelamatkan Dunia!
Ssst… ini keheranan klasik: ada apa dengan para ‘intelektual’ muslim kita? Kalau memberi solusi (baca: berfatwa), mereka suka kutip petuah orang kafir; sebaliknya, kalau disodori ayat & hadits, muka mereka dipalingkan. Terus, maunya apa?
(…ssst… ini jawaban klasik: mereka intelektual ‘pesanan’…)
he.. he solusinya gampang amat!, selagi kita mau pastikan kita bisa, selagi bangsa mau ya hentikan pengadopsiannya terhadap mereka (westren), tampakkan bahwa negara mampu memendirikan negaranya tanpa mengikuti ala mereka dan buktikan bahwa negara ini benmara benar merdeka, n aq yakin dengan ini pasti jalan keluarnya menagarah kepada historisasi Rasulullah dan ini bisa di buktikan…
Nggak heran mereka mati-matian ngebela yang namanya demokrasi…. la wong dapurnya dari jualan demokrasi yang merupakan produk sekuler yang sudah jelas menjadi biang dari krisis multi dimensi ini. Sekuler, Liberal, Demokrasi, HAM ternyata solusi buatan manuaisa yang malah membuat hancur manusia itu sendiri.
Wahai Umat ISLAM…. sadarlah, buka mata, telinga dan hati kita….. KHILAFAH sudah dipelupuk mata. Khilafah untuk penerapan syariat secara kaffah adalah Solusi sebenarnya.
wahh…, argumentasi mas rahmat pas banget tuk ngejelasin perjuangan HTI. Gak tau tuh orang kayak ZM, udah dijelasin berkali-kali tapi pertanyaannya tentang HTI yang itu-itu juga. Mas ZM dan teman-temannya, kreatif dikit dong…, kalo emang mau diskusi dengan syabab hti.
semoga dibukakan hatinya sama Allah, dari pada membela kapitalis lebih baik bela Islam
Ummat Islam tidak akan bisa beribadah secara Kaffah kalau mereka tidak punya kekuasaan untuk menegakkan hukum-hukumnya. Jadi adanya Daulah untuk menegakkan syariah adalah wajib. Saatnya islam itu bangkit. Alhamdulillah…
menanggapi tulisan tersebut memang syariah islam memang solusi yang yepat untuk berbagai permasalahan i bangsa ini. namun bagaimana cara mengapikasikan syariah itu agar dapat diterima oleh semua warga negara indonesia mengingat negara kita tidak hanya teriri dari 1 suku,1 ras maupun 1 agama. saya pernah berdebat dg teman mengenai masalah ini, teman saya mengatakan apabila syariah diterapkan bukan tidak mungkin beberapa daerah di Indonesia akan lepas. Ini merupakan tugas besar kita bagaimana cara kita mengusung masalah ini agar orang-orang yang tidak mengerti menjadi paham bahwa syariah merupakan solusi yang baik bagi bangsa kita. Jangan karena kita salah menjelaskan tentang syariah an khiafah membuat bangsa ini jadi pecah. Paa akhirnya saya berharap semoga bangsa ini selalu dalam perlinungan Allah Swt.Amin
kalu emang dah janji pd ALLOH SWT and gak berbuat dosa kenapa harus takut?