Dimuat di Media Indonesia, Jum’at 31 Agustus 2007, Rubrik Opini hal 16
Tanggapan Untuk M Hasibullah Satrawi
Oleh : Farid Wadjdi
Direktur Forum On Islamic World Studies (FIWS) Jakarta
Menarik membaca tulisan M Hasibullah Satrawi pada Media Indonesia (24 Agustus 2007) tentang Hizbut Tahrir (HT). Lepas dari pro kontra tentang kelompok ini, harus diakui kelompok ini berhasil mengusung ide Khilafah menjadi pembicaraan publik di berbagai kalangan, terutama pra dan pasca konferensi Khilafah Internasional di Jakarta.
Di Indonesia sendiri, ide Khilafah, bukanlah gagasan baru. Untuk merespon keruntuhan Khilafah terakhir pada Maret 1924, sebuah komite Khilafah didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam ) dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah , tujuanya untuk membahas undangan kongres kekhilafahan di Kairo. K.H.A Wahab Hasbullah merupakan wakil dari kalangan tradisional yang kemudian membentuk Komite Merembuk Hijaz . Komite ini kemudian diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. (lihat Deliar Noer , Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942)
Kehirauan terhadap keruntuhan Khilafah ini juga tercermin dari pandangan tokoh terkemuka Indonesia seperti HOS Cokroaminoto yang menyatakan bahwa Khilafah bukanlah semata-mata untuk umat Islam di jazirah Arab, tapi juga bagi umat Islam di Indonesia, khilafah adalah milik umat Islam sedunia. Bahkan pahlawan nasional ini menganalogikan umat Islam laksana suatu tubuh, karenanya bila umat Islam tidak memiliki Kholifah maka “ seolah-olah badan tidak berkepala” ( Hindia Baroe, 15 Januari 1926).
Setelah lama tidak lagi menjadi isu pergerakan umat Islam Indonesia, Hizbut Tahrir, cukup berhasil mengangkat kembali gagasan Khilafah, yang menurutnya merupakan solusi bagi berbagai persoalan di dunia Islam termasuk Indonsia. Tentu saja kita boleh tidak setuju terhadap ide atau gagasan ini, namun adalah tidak obyektif kalau kita tidak memberikan lahan bagi perdebatan terbuka tentang gagasan ini.
Dengan gampang menuduh kelompok ini membahayakan NKRI, kemudian memprovokasi pelarangannya, justru akan menutup upaya dialog ini. Dan pengalaman di berbagai negara sikap represif terhadap Hizbut Tahrir, tidak pernah kemudian membuat gerakan ini mati, malah meningkatkan militansi mereka. Dan harus renungkan tindakan pelarangan dan yang kemudian disertai dengan tindakan represif sering kali menjadikan rakyat Indonesia sendiri menjadi korban. Seperti halnya tindakan pemerintah orde Baru terhadap aktivis Islam yang menimbulkan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam diskursus tentang Hizbut Tahrir selama ini, seperti yang ditulis oleh M Hasibullah, hal yang sering dipertanyakan dari gagasan HT adalah Khilafah yang mana yang hendak didirikan. Pertanyaan yang sama juga biasa dilontarkan terhadap upaya penerapan syariah Islam, syariah Islam seperti apa yang diinginkan. Pertanyaan ini biasanya muncul dari realita terdapatnya perbedaan pendapat bahkan di kalangan ulama sendiri dalam beberapa hal tentang Khilafah dan Syariah. Adanya perbedan ini kemudian menimbulkan pesimisme bahwa ide Khilafah dan syariah bisa diwujudkan.
Berkaitan dengan konsepsi Khilafah, adanya realita perbedaan tentang bagaimana prosedur pengangkatan Kholifah, bukan saja pernah ditanyakan oleh M.Hisbullah Satrawi, tapi tapi juga menjadi dasar penolakan terhadap negara Islam oleh Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara.
Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa dilihat dalam buku Nidhomul Hukmi fi Al Islam (Sistem Pemerintahan Islam) yang ditulis oleh Syekh Abdul Qadim Zallum Amir Hizbut Tahrir setelah syekh Taqiyuddin an Nabhani. Dalam buku ini dijelaskan adanya thoriqoh (metode) baku yang jelas dari prosedural pengangkatan Kholifah adalah ba’iat dengan ridho (kerelaan) dan kebebasan memilih kaum muslimin. Semua al Khulafa’ur ar Rosyidin (Abu Bakar ra, Umar bin Khothtob ra, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib ra), sah karena adanya bai’at dari rakyat atau yang mencerminkan representasi masyarakat.
Adapun yang berbeda adalah dalam masalah teknis (uslub) untuk mencalonkan Kholifah berupa prosedur praktis untuk menyempurnakan pengangkatan Kholifah sebelum di ba’iat. . Bukan dalam masalah metode (thoriqoh) bai’at-nya. Teknis yang pertama, adalah model pencalonan Abu Bakar. Kholifah yang pertama ini di bai’at sebagai setelah terjadi musyawarah di kalangan tokoh-tokoh terkemuka di Madinah di Saqifah Bani Saidah. Sebelumnya tokoh-tokoh terkemuka tersebut mencalonkan Saad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar.
Teknis yang kedua, model pencalonan Umar Bin Khoththob oleh Abu Bakar ra saat dia dalam keadaan sakit. Sebelumnya Abu Bakar ra meminta pendapat kaum muslim siapa yang layak menjadi Kholifah. Teknis yang ketiga, model pencalonan Utsman ra, setelah diajukan enam calon yang dipimpin Suhaib. Setelah Umar bin Khothtoh ra wafat keenam calon ini berdiskusi dan terpilihlah dua calon yakni Ali dan Ustman. Abdurrahman bin Auf yang menjadi panitia pemilihan kemudian mencari tahu pendapat masyarakat pada waktu itu yang mengkerucut pada Ustman bin Affan. Status hukum dari teknis (uslub) ini adalah ibahah, artinya boleh dipilih salah satu. Yang terpenting Kholifah baru sah setelah dibai’at oleh rakyat atau yang mencerminkan representasi masyarakat lewat pilihan yang ridho (tidak dipaksa).
Adanya perbedaan dalam sistem politik atau pemerintahan adalah wajar. Seperti dalam demokrasi misalnya, ada perbedaan apakah presiden dipilih langsung oleh rakyat atau parlemen. Sistem kabinetnya presidensiil atau parlementer. Namun perbedaan ini tidak menjadi dasar untuk menyatakan tidak ada sistem politik yang jelas dari sistem demokrasi. Sama halnya dengan sistem Khilafah Islam, adanya perbedaan dari sisi teknis pencalonan Kholifah , tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan sistem Khilafah tidak jelas.
Islam dan Demokrasi
Hubungan Islam dan demokrasi, diskursus diantara dua konsep itu , bukanlah perkara baru dalam sejarah pemikiran Islam. Pasca keruntuhan Khilafah Islam pada 1924, dunia Islam memang mengalami serbuan pemikiran Barat. Umat Islam mau tidak mau harus berdiskusi panjang dalam menentukan sikap terhadap pemikiran Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme maupun sekulerisme.
Menurut Riza Sihbudi (Jurnal Ilmu Politik no 12 ), dengan mengutip pendapat Esposito dan Piscatori menyebut ada tiga aliran dalam menjawab hubungan Islam dan demokrasi. Aliran pertama, menerima secara penuh bahwa demokrasi identik dengan Islam antara lain pendapat Muhammad Assad, Jamaluddin al Afghani, dan Muhammad Abduh. Kedua, adalah pendapat yang menyetujui adanya prinsip demokrasi dalam Islam,tetapi di pihak lain mengakui adanya perbedaan di antara keduanya seperti yang digagas oleh Maududi.
Aliran ketiga adalah yang menolak secara menyeluruh gagasan bahwa Islam sama dengan demokrasi. Aliran ini antara lain diusung oleh Syaikh Fadlallah Nuri dari Iran tahun 1905-1911 dengan Gerakan Konstitusionalnya. Pendapat yang sama muncul dari Sayyid Qutrb, tokoh Ikhwanul Muslimun. Pada tahun 1982, Syaikh Muhammad Mutawawali seorang tokoh terkemuka Mesir pernah mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi.
Artinya, pendapat yang menolak demokrasi sesungguhnya bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir. Yang mungkin kurang dipahami oleh banyak pihak adalah ketika Hizbut Tahrir membedakan antara as-siyadah (kedaulatan) dan as-sulthon (kekuasaan). Dalam berbagai referensi langsung buku HT disebutkan as-siyadah (kedaulatan) dalam pengertian sumber hukum (source of law) ada ditangan syaari’ (Allah swt). Inilah, menurut Hizbut Tahrir, yang paling mendasar membedakan antara Islam dan demokrasi. Karena dalam demokrasi kedaulatan itu ada ditangan rakyat sehingga penilaian baik dan buruk diserahkan kepada rakyat. Namun Hizbut Tahrir menyatakan kekuasaan itu ada ditangan rakyat dalam pengertian source of power (sumber kekuasaan). Dalam konteks ini rakyatlah yang memiliki hak untuk memilih kepala negara (kholifah), rakyat juga berhak mengkoreksi penguasa yang menyimpang, atau menurunkannya kalau bertentangan dengan syariah Islam.
Yang juga sering disalah pahami dari gagasan Hizbut Tahrir adalah menyamakan kedaulatan di tangan syara’ dengan teokrasi yang pernah berkembang di Eropa. Menyamakan kedaulatan di tangan Allah Swt dengan teokrasi ini menimbulkan bias. Seakan-akan Kholifah bisa bertindak represif, otoriter, seperti yang pernah terjadi di Eropa pada era teokrasi.
Dalam kitabnya Ajhizatu Daulatil Khilafah, Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa sistem Khilafah tidak sama dengan teokrasi dimana raja menganggap dirinya wakil Tuhan dimuka bumi, sehingga raja tidak boleh dikritik. Negara Khilafah adalah negara manusiawi bukan teokrasi. Karena itu Kholifah bukan orang-orang yang tidak bisa berbuat salah (ma’shum) .
Perintah Kholifah tidaklah identik dengan perintah Allah SWT. Perintah Kholifah baru dianggap dan wajib ditaati kalau merujuk kepada A Qur’an dan As Sunnah. Dalam konteks ini Kholifah bisa saja keliru dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau mungkin saja menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah . Karena itu dalam Islam, mengkoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam) bukan saja hak rakyat, tapi merupakan kewajiban rakyat. Kholifah juga tidak memiliki keistimewan tertentu di depan hukum sebagaimana raja.
Melihat pandangan diatas, wajar kalau terjadi perbedaan antara pandangan Hizbut Tahrir dengan M. Hasibullah yang menyakini bahwa nilai-nilai demokrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Khilafah. Karena Hizbut Tahrir melihat perbedaan ini dari hal yang sangat mendasar yakni kedaulatan (source of law). Demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat sementara Khilafah kedaulatan ditangan syara’.
Salam…Mohon HT, yang berjuang untuk ditegakkan kembali Khilafah, membetulkan sejarah Khilafah Uthmayniyyah saperti yang dipertikaikan di bawah. Ini perlu untuk menjernehkan sejarah Islam dalam rangka pemikiran satu khilafah. FYI, artikel ini diterbitkan oleh HD Malaysia, tapi nampaknya setakat ini penulisnya tidak membuat pembetulan, begitu juga webmasternya; mungkin mereka semua jahil tentang sejarah Islam. Terima kasih.
Sultan Abd Hamid 11… derita dalam buangan
Abdul Shukur Harun
Mon | Aug 27, 07 | 04:02:35 PM
Tidak dapat dibayangkan bagaimana sedih dan kecewanya sultan terakhir Daulah Uthmaniyah Turki, Sultan Abd Hamid 11 menghadapi saat-saat genting ketika diturunkan dari takhtanya oleh rejim sekular Mustafa Kemal Ataturk dan kemudian beliau diasingkan dengan hinanya ke Salonika (Yunani).
Beberapa waktu kemudian Sultan Abd Hamid dipindahkan pula ke istana tua Belarbe, Istanbul, bukan sebagai raja yang kembali berkuasa, tetapi sebagai tahanan dalam istana hingga wafat pada 10 Februari 1918 dalam keadaan sepi dan kecewa pada ketika negaranya, Turki bertukar pemerintahan dari Daulah Uthmaniah yang beribu negara di Istanbul kepada pemerintahan perwakilan yang membentuk parlimen di Ankara di mana Ataturk mengisytiharkan dirinya sebagai presiden republik Turki.
Maka lenyaplah kuasa Daulah Uthmaniyah pada 1924. Sultan Abd Hamid 11 adalah pemerintah Daulah Islamiyah dari generasi yang ke-27.
…
Penulis Menipu …
Dihantar oleh mahathirGX, on 29-08-2007 07:03
Kalo nak tulis artikel pun …jgn ler bagi fakta menipu … Sultan Abdul Hamid II digulingkan pada 27 April 1909 lagi oleh Turki Muda …. waktu tu Mustafa Kemal Ataturk …budak askar hingusan lagi … lepas perang Dunia Pertama baru si Kemal mashyur … kerana mengalahkan pasukan Inggeris di Galipoli ….Sultan Mehmed Vahideddin, (January 14, 1861 – May 16, 1926) adalah Sultan Daulah Uthmaniyah terakhir
Khilafah is The Best Solution. Dengan khilafah,Islam akan tegak, dengan tegaknya Islam maka problematika umat akan mudah diselesaikan.
Khilafah yang mana yang hendak didirikan? KHILAFAH RASYIDAH ‘ALA MIN HAJIN NUBUWWAH.
syariah Islam seperti apa yang diinginkan? SYARIAH ISLAM YANG BERSUMBER DARI AL QURAN DAN AS SUNNAH
Terus…dan teruus.. dengungkan suara Khilafah, hingga semua umat mendengar dan paham, sehingga mereka berkeinginan untuk menegakannya kembali.
Berjuang dan berjuanglah….dan sambutlah kembali Khilafah
musuh-musuh Islam luar biasa memutar balikkan fakta sejarah dengan satu sudut pandang saja. Sehingga Islam ditulis dengan tinta hitam dan berdarah. Seolah-olah sleuruh masa dipenuhi dengan darah dan pertikaian. Mudah-mudahan para Ulama mampu menumbuhkan kembali semangat dan kepercayaan ummat terhadap ummat dengan menampilkan fakta-fakta sejarah emas Islam. Maju terus ulama penegak syariat dan Khilafah…
KHILAFAH I’M COMING………….!!!
ALLAHU AKBAR 1000X
dEMOKRASI sISTEM kUFUR …hARAM MENGAMBIL-mENERAPKAN DAN MENYEBARLUASKANNYA. titik
Dalam demokrasi, seharusnya sebelum mencekal 2 ulama pembicara di acara KKI – HTI, dilakukan dulu diskusi, debat dan voting ke seluruh rakyat apakah perlu deportasi atau tidak? Dalam demokrasi, sebelum menyerahkan urusan ekonomi Indonesia kepada IMF, penyerahan kontrak pengelolaan emas Papua kepada Freeport, kontrak minyak kepada Caltex, Mobil Oil, kesepakatan DCA dengan Singapura, kenaikan tarif tol, keterlibatan perang tentara AS dan Inggris di Irak, menerima/tidak teroris Bush datang ke Indonesia, dll, dll, dll, harusnya dilakukan dulu diskusi, debat dan voting kepada seluruh rakyat, sehingga bisa disimpulkan suatu keputusan. Tapi kan ini tidak, karena ini memang bukan demokrasi. Demokrasi hanya ilusi, ide gila, khurafat dan takhayul!
Demokrasi alih-alih ingin menentang teokrasi, malah justru mengarahkan manusia kepada “penuhanan manusia kepada manusia”! Bush ingin menjadi tuhan, kata-katanya harus dipatuhi seluruh manusia dunia. Dia yang memutuskan negara mana yang akan dan harus diserang dan dilaukan pembantaian. Tuhan-tuhan kecil di seluruh negeri demokrasi menginginkan mendapat perlakuan istimewa. Hal sangat sepele, penggunaan jalan raya saja mereka ingin diistimewakan. Kalau sudah terdengar iring-iringan rombongan “tuhan-raja” dan sirene meraung-raung, semua rakyat jelata harus minggir, kalau ndak ingin disikat pengawal “tuhan-raja”. Belum perlakuan2 istimewa di berbagai sektor publik lain bagi raja2 besar dan raja2 kecil. Untuk menyambut teoris Bush perlu disiapkan helipad, berharga sekian milyar, sementara puluhan rakyat menganggur dan kesulitan membeli beras adalah urusan belakangan. Demokrasi, wujud buruknya hanya gabungan sebuah sistem politik kerajaan dan diktator-otoriter. “Wujud baiknya” hanya tertuang di jutaan lembar buku2 rujukan bidang politik-sosial yang berupa wacana ilusi, dan khayalan utopia!
Siapa saja yang tidak percaya tentang akan kembalinya khilafah setelah tahu haditsnya maka ia telah menolak hadits sahih tentang akan tegaknya khilafah. Bagi yang menolak hadits tersebut maka sesungguhnya ia telah ingkar pada sunnah rasulullah. Apakah masih dikatakan beriman bila ingkar pada sunnah rasulullah?
Mereka membuat makar, namun ketahuilah Allah juga membuat makar pada mereka. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Allahu Akbar..!
Melihat Demokrasi bs lihat dari byk sisi. Uji konsep & realitas. Konsep an sich bs dianalisis bgmn demokrasi diterapkan?
Demokrasi or democrazy?
Khilafah jawabannya
Kalo lagi ngumpul di padepokan, para syabab pasti mbahas demokrasi, dari sisi teori & praktiknya. Kesimpulannya, mereka emoh (=tidak mau) sama sekali.
Khilafah… Yes…..
Buat para Syabab/syabah HT..Terus Berjuang
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
jangan lupa mampir di http://cokiehti.wordpress.com