[BULETIN AL-ISLAM EDISI 378]
Rakyat sudah tidak mempercayai pemimpinnya. Mungkin itulah kalimat yang pantas untuk menggambarkan kondisi kepemimpinan di
Terkait dengan kepercayaan terhadap Pemerintah, baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil penelitiannya yang menyebutkan, bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus-menerus menurun. Pada bulan November 2004, kepuasan publik mencapai 80%, namun pada bulan Oktober 2007 turun tajam hingga 54%. Sentimen elektoral terhadap SBY sebanyak 47% pada bulan Oktober 2004, namun pada bulan Oktober 2007 turun menjadi hanya 33%. (Media
Lalu terkait dengan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, hasil survey Litbang Media Group menyebutkan bahwa kinerja hakim agung di Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan (75%), korupsi makin meningkat (54%) dan peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). (Media
Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya para anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat terhadap para wakilnya sangat beralasan. Contoh kecil: di tengah himpitan dan beban hidup rakyat yang berkepanjangan, DPR justru berencana merenovasi rumah dinas bagi anggotanya. Dana yang diusulkan pun tidak tanggung-tanggung: 350 miliar rupiah. Padahal pada saat yang sama, berdasarkan catatan Kementerian Perumahan Rakyat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07).
Begitulah kondisi umum kepemimpinan di negeri ini, khususnya di jajaran eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (parlemen), yang dihasilkan dari sebuah proses Pemilu 2004 yang konon paling demokratis dalam sejarah—apalagi Pemilihan Presiden dan Wapresnya pun dilaksanakan secara langsung—dan menelan biaya triliunan rupiah.
Ironisnya, setelah Pemilu yang konon paling demokratis itu terbukti tidak menghasilkan pemimpin dan para wakil rakyat yang baik dan memihak rakyat, sebagaimana dipaparkan di atas, kini KPU yang baru mengajukan anggaran dana untuk Pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 trilun; kira-kira 10 kali lipat dari anggaran Pemilu 2004 (Fajar.co.id, 1/11/2007). Andai anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun rumah sederhana bagi rakyat dengan biaya Rp 20 juta/rumah, tentu akan dapat dibangun sekitar 2,345,000 buah rumah.
Tentu anggaran sebesar Rp 47,9 triliun itu belum termasuk biaya Pilkada di setiap daerah yang menghabiskan dana miliaran/puluhan miliar (tingkat kota/kabupaten) hingga puluhan/ratusan miliar rupiah (tingkat provinsi). Pemprov Sumsel, misalnya, mengajukan dana sekitar Rp 237 miliar untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumsel yang dijadwalkan digelar sekitar November 2008. Adapun dalam Pilkada DKI beberapa bulan lalu, total anggaran yang disetujui oleh Departemen Dalam Negeri adalah sebesar Rp 148 miliar. (Kompas, 3/4/2007). Padahal, dengan biaya Pilkada yang mahal itu, pemimpin dan wakil rakyat daerah yang dihasilkan pun sering tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sudah cukup bukti betapa banyak kepala daerah dan para wakil rakyatnya di daerah didemo oleh rakyatnya sendiri di daerah masing-masing.
Barangkali, itulah alasan mengapa sejumlah kalangan muda mengangkat wacana “saatnya kaum muda memimpin” Pasalnya, menurut mereka, para pemimpin dari golongan tua telah gagal membangun negeri ini. Pada bulan Oktober lalu, misalnya, Peringatan Sumpah Pemuda diwarnai dengan desakan agar saat ini pemerintahan dan kekuasaan dipimpin oleh orang-orang muda. (Seputar-indonesia.com, 30/10/01).
Di sisi lain, krisis multidimensi yang sekian lama mendera negeri ini dan sampai hari ini gagal diatasi, telah memunculkan keinginan kuat sejumlah kalangan untuk mengangkat isu tentang perlunya
Persoalannya sekarang: Apakah dengan dipimpin oleh kaum muda negeri ini akan menjadi baik? Lalu, jika memang diperlukan adanya “jalan baru”, “jalan baru” macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk keluar dari krisis demi krisis yang selama ini mendera negeri ini?
Dua Faktor Penting: Sosok Pemimpin dan Sistem yang Baik
Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan.
Pertama: Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan; di samping harus berakal sehat (HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam kekuasan/tekanan pihak lain (Lihat: Kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, hlm. 40. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir).
Kedua: Menyangkut sistem yang baik. Nabi Muhammad saw. jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari al-Amin oleh masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), dan bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekular yang notabene juga korup. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Islam: “Jalan Baru” untuk
Walhasil, jika untuk keluar dari krisis multidimensi ada wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru” itu adalah Islam. Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Semoga Allah SWT menyelamatkan umat Islam dan negeri Islam terbesar ini dari kehancuran. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Din: Konsep Indonesia Harus Jelas Sebagai Negara Agama atau Sekuler (Republika.co.id, 6/11/07).
Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesia karena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”.
yuk mari kita berjuang sekuat tenaga kita bukan sesempat kita menegakan hukum Islam di bawah naungan Daulah Khilafah ISlamiyah. dan secepatnya kita melanjutan kehidupan Islam yang sesuai dengan manhaj kenabian.OCEHHHHHHHHHHH
Bagaimana mau percaya sama pemerintah, pejabatnya aja banyak yang korupsi, bahkan dana BOS dikorupsi, yang lebih mengherankan cukong kayu Adelin Lis yang jelas – jelas merugikan negara sampai triliun-an rupiah dibebaskan gitu aja. Padahal korupsi itu dampak nya lebih dahsyat dari pada perbuatan saudara kita yang selama ini dituduh sebagai terorist oleh Amerika CS.
Apakah salah jika rakyat tidak percaya.
Wong Tegal rindu Khilafah.
Allahu Akbar !!!
Kemiskinan, kebodohan, kebrobokan moral, korupsi, kolusi, dll. tidak akan dapat diselesaikan oleh sistem kufur.
oleh karena itu:
selamatkan indonesia dengan Syariah.
takkan ada pemimpin yang dapat mengatasi semua masalah diatas kecuali seorang khalifah dalam naungan Daulah Khilafah.
tak ada cara untuk menegakan Daulah kecuali dengan jalan berdakwah dengan sabar dan istiqomah.
Solusinya adalah masyarakat harus beriman dan bertaqwa. Hanya saja, metoda menjadikan manusia beriman dan bertaqwa itu relatif bervariasi. Ada yang kembali ke khilafah, ada yang kembali ke Al Qur’an dan Sunnah, dan masih banyak lagi.
Dan yang pasti, umat harus belajar dari Rosulullah dan para sahabat, mereka mendapatkan wahyu, dan mereka merealisasikan.. tanpa harus menunggu fase berikutnya..
Dan sebagaimana Al Qur’an turun secara bertahap, penting bagi umat islam untuk secara bertahap merealisasikan keyakinannya satu demi satu, sepuluh demi sepuluh…dst.. yang intinya… PROSES.
SESUNGGUHNYA TAK ADA PILIHAN BAGI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUQ ALLAH KECUALI MENGGUNAKAN HUKUM ALLAH ( AL QUR’AN ) DAN SUNAH DALAM MENJALANKAN HIDUP DI BUMI ALLAH INI. BODOH DAN SESATLAH MANUSIA YANG MENGGUNAKAN HUKUM SELAIN HUKUM ALLAH. AYO SEGERA KITA GANTI HUKUM SEKULER DI BUMI ALLAH INI DENGAN HUKUM ALLAH YANG SUDAH TERUJI SEJAK RASULULLAH SAMPAI KHALIFAH ABBASYIAH DAN USMANIAH DARI ABAD 6 SAMPAI ABAD 18. 12 ABAD ISLAM PERNAH MENGANGKAT HARKAT DAN MARTABAT UMAT MANUSIA SAAT ITU. SEKARANG KITA KEMBALIKAN KEAGUNGAN HUKUM ALLAH ( AL QR’AN ) DAN SUNAH RASULULLAH MUHAMMAD SAW. ALLAHU AKBAR… ALLAHU AKBAR ….ALLAHU AKBAR.
insya allah hukum islam akan di tegakkan di indonesia.saya dukung .allahuakbar. jangan perna menyerah para aktivis hti.salam untuk kawan smua.
Prof Azyumardi Azra
PKS
Banyak kalangan Parpol mungkin agak nervous dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belakangan ini. Khususnya setelah dua pasang cagub dan cawagub yang didukung PKS (sebenarnya lewat koalisi dengan partai lain) memenangkan pilkada di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Bukan hanya kalangan parpol lainnya, tetapi juga sementara pengamat dalam dan luar negeri mengambil kasus di kedua daerah tersebut sebagai pertanda awal dari peningkatan suara PKS dalam Pemilu 2009 nanti.
Mengapa nervous? Tidak lain karena selama ini PKS dianggap sebagai partai yang akan mengubah Indonesia menjadi ‘negara Islam’ dan menerapkan ‘syariah’, tegasnya hukum hudud, potong tangan, dan rajam kepada para pelaku kejahatan yang menurut fikih klasik perlu dijatuhi hukuman seperti itu. PKS juga tidak jarang dianggap lebih berorientasi transnasional; disebut-sebut banyak dipengaruhi organisasi al-Ikhwan al-Muslimun yang sampai sekarang terlarang di Mesir.
Apakah PKS memang seperti itu? Saya beruntung mendapat kesempatan mendalami PKS ketika diundang pimpinan PKS dalam Milad ke-10 PKS, Ahad pekan lalu (20/4/ 2008). Bersamaan dengan itu juga diselenggarakan pembahasan buku Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah Dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera (2008) dengan pembahas Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie; Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati; dan
saya sendiri.
Diminta membahas platform PKS dalam bidang sosial-budaya (termasuk agama), saya menemukan bahwa buku setebal xxii+543 halaman ini secara komprehensif membahas berbagai subjek, sejak dari paradigma PKS; kondisi nasional dan permasalahan bangsa dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya; lingkungan strategis dan Indonesia yang dicitacitakan, sampai pada platform PKS untuk mengatasi berbagai masalah tersebut menuju Indonesia yang dicita-citakan. Saya percaya, tidak banyak parpol yang memiliki platform yang selengkap dan serinci platform PKS; meski dalam segi-segi tertentu, tidak banyak pembahasan tentang ‘bagaimana’ cara dan langkah sistematis mewujudkan platform tersebut.
Negara Indonesia bagaimanakah yang dicita- citakan PKS? Jawabannya jelas dalam tujuan pendirian PKS: “Tujuan didirikannya PK Sejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke”.
‘Masyarakat madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih memahami PKS. Apa yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’? Masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Pengertian genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.
Dengan platform ini, sekali lagi, jelas, PKS tidaklah bertujuan membentuk ‘negara Islam’ atau yang semacamnya, melainkan bertujuan membentuk masyarakat madani. Jelas pula, masyarakat madani yang diinginkan PKS adalah masyarakat madani yang berbasiskan agama (religious-based civil society); bukanlah masyarakat sipil atau masyarakat kewargaan yang dalam sejumlah wacana tentang civil society tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama. Konsep masyarakat madani yang akhir ini pada dasarnya merupakan teoretisasi dari pengalaman di Eropa Timur dan Amerika Latin.
Dalam konteks penciptaan masyarakat madani itu yang memungkinkan bagi umat beragama untuk melaksanakan ajaran dan menghadirkan syariah Islam yang rahmatan lil alamin, PKS menawarkan gagasan tentang ‘objektivikasi Islam’, atau persisnya ‘objektivikasi nilai-nilai Islam’. Hemat saya, ini adalah sebuah gagasan atau bahkan konsep yang sangat menarik.
Apa yang dimaksud PKS dengan ‘objektivikasi Islam’ tersebut? Dalam perspektif PKS, objektivikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subjektif ke ranah publikobjektif; dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Secara subjektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun, keinginan subjektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) dan; resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik.
Sumber: Republika