KEMBALINYA KHILAFAH ADALAH BISYARAH NABAWIYYAH UNTUK KITA:
Tanggapan atas artikel saudara Agus Maftuh Abegabriel
Kalau kita ikuti tulisan saudara Agus Maftuh yang judulnya Teologi Kekuasaan (JP, Sabtu 27 Oktober 2007), akan mengingatkan kita pada ungkapan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya, “Al-maghlub muli’un bitaqlidil ghalib” (bahwa yang dikalahkan itu ‘terobsesi’ untuk taklid pada yang mengalahkan). Ungkapan inilah yang tepat untuk membingkai kerangka pemikiran saudara Agus Maftuh. Artinya, pemikiran yang dia usung sebenarnya tidak lebih dari sikap membebek pada Barat yang dipandang oleh sebagian kecil komponen kaum Muslim sebagai yang paling layak untuk dijadikan ‘model’ dalam menyelesaikan berbagai problematika kontemporer kaum Muslim saat ini.
Tema Teologi Kekuasaan yang diusung oleh Agus Maftuh memang bukanlah pemikiran baru. Pemikiran tersebut merupakan copy-paste dari apa yang dikemukakan oleh Khaled Abou El Fadl. Dalam Midle East Report 2001, El Fahd memaparkan bahwa, menurut dia, teologi kekuasaan itu berlatar belakang ‘perasaan kalah, frustasi bahkan perasaan teralienasi’ dari komunitas modern.
Secara rinci dia memaparkan bahwa gerakan puritan adalah gerakan yang bermula dari sikap yang penuh dengan nuansa apologetic dengan ciri intellectual self-sufficiency yang cenderung arogan. Mereka beranggapan, Islam mencakup dan telah membicarakan segala-galanya. Isu-isu kontemporer, semuanya telah ada dalam Islam jauh sebelum Barat mengangkatnya. Namun, ketika berhadapan dengan realitas, di mana hegemoni Barat begitu kuat dan institusi medernitas begitu dominan, mereka terjebak ke dalam perasaan kalah, frustasi dan teralienasi.
Selanjutnya, masih menurut El Fadhl, untuk melawan hal tersebut mereka mengembangkan Teologi Kekuasaan yang bercirikan pada pengangkatan simbol-simbol dan gerakan kekuatan yang tanpa kompromi dan bahkan arogan. Bukan saja terhadap Barat dan non muslim, tapi juga terhadap sesama muslim yang berbeda aliran. Mereka juga cenderung menolak tradisi dan warisan Islam sehingga aspek kesejarahan Islam yang kaya nuansa menjadi terabaikan. Mereka ingin mengembangkan Islam langsung dari langit. Perspektif tunggal yang mereka miliki mengantarkan mereka kepada ketergantungan terhadap kekuasaan semata. Kekuasaan atau bahkan kekuatan bersenjata lalu menjadi acuan dalam gerakan-gerakan mereka.
Pandangan El Fahd yang diamini oleh Agus Maftuh ini sebenarnya merupakan pandangan khas Barat terhadap agama Kristen. Kesimpulan ini menjadi lebih rajih dengan diskripsi Agus Maftuh yang mengutip pendapat Esther Kaplan yang secara begitu diskriptif mengambarkan intervensi agama, baca Kristen Katolik, atas kebijakan Gedung Putih. Sayangnya mindset tersebut ‘dipaksakan’ untuk diberlakukan pada Islam. Padahal Islam sama sekali berbeda dengan Kristen dan kaum Musliminpun tidak memiliki pengalaman traumatik terhadap agamanya sebagaimana Barat terhadap Kristen. Ini adalah analogi yang salah, karena merupakan analogi atas dua obyek yang sama sekali berbeda. Dalam istilah ushul fiqh disebut qiyas ma’al farq.
Allah menurunkan Al-qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (QS An-nahl:89). Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat tersebut dengan mengutip penjelasan Ibn Mas’ud RA: “sungguh bahwa Dia (Allah) menjelaskan dengan Al-qur’an ini semua ilmu dan semua hal”. Pemahaman bahwa Islam mengatur semua aspek kehidupan bukanlah mengada-ada dan bukan sekedar romantisme sejarah apalagi ‘reaksi kecemburuan’ yang berpadu dengan rasa putus asa terhadap realitas kontemporer kaum Muslim saat ini. Bahkan Al-qur’an menegaskan bahwa penerapan hukum Allah dalam seluruh kehidupan ini adalah bagian dari keimanan kita (QS An-nisa’:65). Maka sungguh tepat ungkapan Hadhratusy syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim: “…dan sebagaian dari mereka (para Ulama’) menyatakan tauhid itu mewajibkan Iman. Maka tidak ada Iman bagi orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Dan Iman itu mewajibkan syariah maka orang yang tidak ada syariah padanya maka tidak ada iman baginya dan tentunya tidak ada tauhid baginya”.
Dengan begitu, menjadi suatu yang naïf kalau keinginan kita kaum Muslim, bukan hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia, untuk membebaskan diri kita dari penjajahan dan hegemoni Barat yang kapitalistik serta kembali kepangkuan Islam, dianggap sebagai reaksi kecemburuan yang berpadu dengan rasa putus asa dan perasaan teralienasi dari hiruk pikuk modernitas, atau bahkan mimpi kolektif yang mustahil. Pasti tidak demikian. Justru yang terjadi sebaliknya. Membebek pada Barat untuk menjawab berbagai problem kontemporer kaum Muslim lah yang sebenarnya merupakan mimpi yang mustahil. Islam cosmopolitan, Islam yang inklusif, tidak boleh ada monopoli kebenaran dst. adalah jargon-jargon kosong yang miskin solusi dan sama sekali tidak kompatibel untuk menjawab berbagai masalah baik yang akut maupun yang kronik yang dihadapi oleh kaum Muslim. Jargon-jargon tersebut lebih mencerminkan sikap obsesif untuk membebek pada Barat secara habis-habisan, sembari berhalusinasi bahwa hal tersebut adalah solusi terhadap berbagai problem kontemporer kaum Muslim. Bukankah Ini sama seperti orang yang melihat fatamorgana di tengah
Lagian kalau benar bahwa perjuangan untuk bertahkim pada hukum Allah adalah suatu perjuangan yang mustahil, mengapa Konfrensi Khilafah yang lalu yang diadakan diberbagai belahan dunia dan mendapat respons yang begitu luar biasa dari seluruh komponen kaum Muslim, termasuk Indonesia, direspons oleh George W Bush seperti orang ‘kesetanan’: “We should open new chapter in the fight against enemies of freedom, against those who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and to spread sharia“? Mengapa Bush Jr. begitu takut pada mimpi?
************
Bagaimana dengan statemen saudara Agus Maftuh bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah dalam kitab Daulah Islamiyyah tidak disebutkan rawi atau sumber primernya bahkan dari segi kritik sanad gugur? Ini justru bukti keawaman saudara Agus Maftuh terhadap
Saudara Agus Maftuh menyatakan, bahwa bangunan teologi kekuasaan yang diperjuangkan Taqiyudin An-nabhany yang juga pendiri HTI didasarkan pada hadits tentang khilafah. Namun hadits tersebut tanpa penyebutan rawi ataupun sumber kitab primernya. Sebenarnya kalau saudara Agus Maftuh familiar dengan
Ulama’ kenamaan di bidang studi hadits Prof Dr M M Al-a’dzami (1980), telah mengkaji secara mendalam fenomena tersebut. Beliau mencatat bahwa dalam kitab-kitab karya ulama-ulama mutaqaddimin, khususnya selain kitab-kitab hadits, secara umum didapati fenomena-fenomena antara lain:
1. Membuang (tidak menuliskan) sebagian sanad, untuk mempersingkat pembahasan kitab, dan cukup menyebutkan sebagian dari matan hadits yang berkaitan dengan bahasan itu
2. Membuang sanad seluruhnya, dan langsung menyebutkan hadits dari sumbernya yang pertama
Kitab Daulah Islamiyyah termasuk kategori kitab fiqih,bukan kitab hadits. Wajar kalau syeikh Taqiyudin An-nabhani mengikuti metode penulisan
Selanjutnya, masih menurut saudara Agus Maftuh, bahwa hadits yang dijadikan main base oleh pendiri HTI itu jika dilakukan prophetic forensic akan tampak jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah (terpercaya). Menurut informasi kitab Tahdzib al-tahdzib karya Ibnu Hajar Al-asqalani yang merupakan kitab popular dalam mengalisis validitas rawi. Habib bin Salim ini mendapatkan penilaian yang negative dari Imam Bukhari yang menilainya fihi nadzarun dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang teologi kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Ungkapan saudara Agus Maftuh diatas menggambarkan betapa ‘kemecer-nya’ dia untuk menyerang aktifitas perjuangan untuk mengembalikan syariah melalui Khilafah Islam. Akibatnya dia terjangkiti penyakit jari’an fil fatawa wa I’tha’ul hukmi, padahal sikap ini sangat dijauhi oleh ulama’-ulama’ salaf, bahkan ada menganggap bahwa sikap tersebut mencerminkan ketidak ikhlasan seseorang.
Benarkah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dza’if? Benarkah Habib bin Salim Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib Al-hafidz berkata: berkata Abu Hatim tsiqah, berkata Al-bukhari fihi nadzar, berkata Abu Ahmad bin Adi, laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi ishtirab pada sanad-sanad (hadits) yang diriwayatkan darinya). Kemudian Al-hafidz berkata, saya nyatakan, bahwa Al-ajiri berkata dari abi Dawud tsiqah, dan Ibn Hibban menyebutkan dalam (kitab) Ats-tsiqqat… Sedangkan dalam kitab Taqribut Tahdzib Al-hafidz berkata laa ba’tsa bihi.
Untuk lebih obyektifnya mari kita perhatikan ungkapan Imam Al-bukhari diatas secara lebih lengkap dalam kitab Tarikhul Kabir. Pada point ke 2606 tercatat, Habib bin Salim Maula An-nu’man bin Basyir Al-anshari dari Nu’man, meriwayatkan darinya Abu Basyir dan Basyir bin Tsabit dan Muhammad Al-muntasyir dan Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan dia adalah sekretaris An-nu’man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika Imam Al-bukhari menyatakan bahwa Yazid bin An-nu’man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fihi nadzar).
Perlu dicatat bahwa Habib bin Salim al-anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ied dan jum’ah dari An-nu’man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin Al-muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula Al-nu’man bin Basyir dari An-nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim Al-anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Al-hafidz dalam Taqribut Tahdzib menyatakan la ba’sa bihi. La ba’sa bihi menurut Ulama’ ilmu usulul hadits sebagaimana yang diungkapkan oleh As-sakhawi dalam kitab Fathul Mughits secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi tsiqah. Ibnu Mu’in, sebagaimana yang dinukil oleh Al-hafidz Ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.
Untuk memahami pernyataan Imam Al-bukhari, fihi nadzar, Al-hafidz ibnu Katsir dalam kitab Al-ba’itsul Hatsits fikhtishari Ulumil Hadits menjelaskan, apabila Al-bukhari berkata tentang rajul(hadits) sakatu anhu atau fihi nadzar artinya fainnahu yakunu fi adnal manazili wa arda’iha indahu, lakinnahu lathiful ibarah fit-tajrih (ada pada tingkat terendah atau beban terberat baginya, tapi dia menggunakan ungkapan yang halus dalam tajrih). Inilah maksud Imam Al-bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam At-tirmidzi (IV/54), tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits An-nu’man di dalam isnadnya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya Al-bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah. Dalam kitab Aunul Ma’bud disebutkan bahwa At-tirmidzi berkata saya bertanya pada Muhammad bin Isma’il (maksudnya Al-bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah maka beliau berkata saya menahan diri terhadap hadits ini. Penjelasan At-tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam Al-bukhari diatas. Logislah kalau kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam Al-bukhari, mencantumkan hadits yang diriayatkan oleh Habib bin Salim dalam kitab shahih beliau.
Pernyataan Imam Ibnu Adi, laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab Al-kamil fii Dhua’afa’ir Rijal, Ibnu Adi berkata: “…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-matan haditsnya bukan hadits munkar tapi terjadi idhtirab sanad-sanadnya apa yang diriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit…“. Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendhaifkan Habib bin Salim Al-anshari. Adapun indikasi idhtirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan At-tirmidzi diatas. Al-hafidz Al-manawi dalam kitab Faidhul Qadir menjelaskan dengan mengutip pernyataan Al-hafidz sungguh Habib bin Salim itu ma’ruf (popular) dalam riwayah dan dia adalah Tabi’i yang ma’ruf. Al-hafidz Al-iraqi dalam kitab Mahajjatul Qarbi ila Mahabbatil Arab menegaskan bahwa hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-wasithi ditsiqahkan oleh Abu Dawud Ath-thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal sisanya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) shahih.
Khulashatul qaul, adalah tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil makna sejalan dengan hadits shahih diatas. Misalnya hadits riwayat Muslim. Imam Abdul Wahab Asy-sya’rani, penulis kitab Al-mizanul Kubra, mencantumkan dalam kitab Mukhtashar Tadzkiratil Qurthubi, dibawah judul “apa yang datang tentang khalifah yang ada di akhir zaman yang dipanggil Al-mahdi serta tanda-tanda kemunculannya”, Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa pada masa akhir (zaman) dari akan ada dari umatku khalifah yang ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya..”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (III/317), dan Ibnu Hibban (XV/75). Selain itu masih banyak hadits-hadits yang lain. Misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), Al-Thabarani (Musnad Syamiyyin,VI/149), Al-baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau saudara Agus Maftuh menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum melalui khilafah islamaiyyah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma’na menegaskan hal yang sama.
Tentang ungkapan bahwa hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman saudara Agus Maftuh di bidang ilmu Musthalahul Hadits. Memang dikalangan ulama’ hadits muta’akhirin, telah sepakat untuk menetapkan
Ini merupakan ikhtiar para Ulama Hadits untuk menentukan grade kwalitas kitab-kitab hadits secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak serta tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk dalam Kutubul Khamsah atau Kutubus Sittah. Seperti As-sunanul Kubra karya Al-hafidz Al-kabir Al-baihaqi, shahih Ibnu Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban dll.
********
Benarkah musyawarah para shahabat di Saqifah Bani Sa’idah kisruh? Bagaimana seharusnya kita mensikapi musyawarah para shahabat di Saqifah bani Sa’idah? Mari kita renungkan penjelasan Mufassir besar Imam Al-qurthubi dalam tafsirnya Al-jami’ li Ahkamil Qur’an(I/264-265): “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib?”.
Terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada politisasi agama di dalam Islam. Allah menurunkan risalah Islam untuk rahmatan lil alamin dengan menurunkan aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Justru semua upaya menyempitkan Islam dengan hanya untuk ibadah ritual atau just for morality adalah upaya mendistorsi ajaran Islam dan menempatkan diri kita layaknya orang Barat memperlakukan agama Kristen. Kalau kita merujuk pada pendapat ulama’-ulama’ muktabar tidak satupun yang mempersoalkan wajibnya bertahkim pada hukum Allah dan khilafah memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kaum Muslim. Memang ketika kaum Muslim tidak hidup dibawah naungan system Islam banyak sekali pendapat, pemikiran atau konsep yang bertentangan atau bersebrangan dengan Islam baik sharih maupun yang ghairu sharih. Barusan di media, kita dihebohkan dengan munculnya Nabi palsu yang mengaku mendapat wahyu dan menyamakan istrinya layaknya Khatijah ra. Hebatnya ketika dia diwawancarai di salahsatu stasiun TV Swasta dia mengaku sebagai upaya menyelamatkan Islam? Untuk filtrasi, rasanya tepat kalau kita perhatikan ungkapan Imam Az-zuhri: “isnad itu adalah bagian dari agama kalaulah bukan karena isnad maka sungguh orang akan berkata semaunya”. Adalah suatu keniscayaan kalau kita memperhatikan darimana, dari siapa kita dapatkan dan belajar Islam.[Musthafa Ali Murtadlo/DPP HTI]
nice article. thx
Subhanallah..!!
Terjawab sudah keraguan orang-orang yang belum paham.
Lets smile with khilafah…!!!
Allahu Akbar.
Ketika kebenaran datang, kebatilan akan tampak. Ketika orang tak berilmu bicara, terlihat dia hanya untuk menyesatkan orang. Maha benar Allah yang telah mengutus Rasulullah dan para pembela kebenaran.
Islam is The Best ‘not be asa’ …
Masya Allahu.. Allahu akbarr!!!
Tidak salah kalau Saya dan anak keturunan saya Insya Allahu menjadi Syabab Hizbut Tahrir demi tegaknya Syari’ah dan Khilafah. Demi Izzatul Islam wal Muslimin. Demi Da’wah dan Jihat ke seluruh alam.
Hanya ada satu pilihan… Maju Terus .. Tegakkan Syari’ah dan Khilafah..
Khilafah akan tegak, karena itu sambutlah ! Allahu Akbar!
KAsihan para pembebek barat ya? mereka seperti katak dalam tempurung. Tahunya hanya pemikiran barat. kolot lagi. merasa benar sendiri. gak pernah memperhatikan pendapat selain barat dengan seksama. taklit buta ke barat. menganggap orang lain ngiri sama dirinya. ngatain orang lain pasti sombong. suka nyalahin orang yang suka nyalah2in. lho? kok jadi bingung aku. gimana gak bingung? ada katak dalam tempurung, kolot, sombong, suka nyalahin orang, taklit buta, nganggap orang lain ngiri sama dia. ya apun, siapa yang ngiri sama tempurung kaya gitu. tolonglah mereka.selamatkan mereka
yaa Allah
segra tegakkan khilafah dan syariah
yaa Allah
bumkamlah mulut orang-orang yang mencela syariah dan khilafah
Yaa Allah
sesungguhnya enggkau dzat yang maha tahu atas sgala makar orang-orang yang membuat makar terhadap para pejuang syariah dan khilafah
yaa Allah
tuk itu teguhkanlah kami para pejuag syariah
yaa Allah
kami (para pejuang syariah) yakin seyakin-yakinnya bahwa janjinmu pasti akan datang, maka sgarakanlah.
yaa Allah
kami (pejuang syariah) rela serela-relanya tuk mengorbankan apa saja yang tuk tegaknya khilafah dan diterapkkanya syariah
yaa Allah
maka kbulkanlah doa’ kami
amin.
Ayo terus berjuang saudaraku, hamalatu ad-da’wah!
Untuk artikel ini, referensi Ulumul haditsnya OK punya!!! salut and jadi termotivasi.
Ya… senjata kita di perang pemikiran ini adalah tsaqofah Islam. Dengannya, tsaqofah-tsaqofah asing apapun akan kalah.
Al-haqqu min rabbika falaa takuunanna minal mumtariin(al-Baqarah:147).
“Kebenaran itu adalah dari Tuhan-Mu, maka jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu”.
‘like it.
BTW, artikel bantahan (hak jawab)diatas apa sudah dikirimkan ke JP yah? Trus…kalaupun dah dikirim, apa JP mau memuatnya?
inilah sisi lain media, sbg corong siapa?
netralitas, both cover story….hanya jargon?
trust in the truth
Simak tanggapan thp Tulisan Abegebriel lainnya. Klik link berikut ini:
http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/11/01/kosmopolitanisme-vs-khilafah/
smart
Allah will always with Us
CHAYOO!!!
SubhanaALLAH,trjawab sudah sgala kraguan.Tidakkah mreka gk nyadar juga bahwa ide2 islam tak prnah trbantahkan.