Hijrah Melawan Imperialisme Modern

HIJRAH MELAWAN IMPERIALISME MODERN

Oleh: Imam Sutiyono-Humas HTI Cilegon( di muat  HU FAJAR BANTEN 11 Januari 2008 ) 

Sebuah peristiwa monumental yang tidak akan dilupakan sepanjang sejarah Islam dan peradaban modern saat ini adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad. Mengapa demikian? Tiada lain karena ketokohan Nabi Muhammad saw yang telah membuka cakrawala dunia dari gelap gulita menuju terang benderang bertabur prestasi. Bahkan Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh yang Berpengaruh menempatkan Nabi akhir jaman ini pada urutan nomer wahid. Sebuah kebijakan yang bukan tanpa dasar, tetapi  melainkan berdasar argumentasi meski dalam tempo yang singkat selama 13 tahun telah merubah peradaban jahiliyah yang penuh ketiadak-adilan menuju sebuah peradaban yang manusiawi dan mengedepankan nilai-nilai universalitas Islam yang rahmatan lil ‘alamien, untuk semua umat bahkan alam semesta sekalipunOleh karenanya, hikmah dan momentum hijrah ini tidak akan pernah tuntas untuk dikupas, walaupun dilihat dari berbagai sisi dan dinilai oleh berbagai  kalangan. Sehingga dalam forum ini akan diulas tentang hijrah meski tentu dengan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan penulis. Revolusi Pemikiran  

Berbagai definisi dan hikmah hijrah sangatlah beragam. Setidaknya ada ungkapan makna hijrah yang patut mendapat sorotan, yaitu apa yang diungkapkan oleh seorang amirul mukminin, Umar bin al-Khaththab ketika ia menyatakan, “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah.” (HR Ibn Hajar). Jadi peristiwa hijrah merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara dâr al-Islâm dan dâr al-kufr. Orang-orang yang sudah berkomitmen dengan Nabi Muhammad rela dengan ikhlas meninggalkan seluruh harta benda dan juga sanak kerabat (karena berbeda keyakinan) ditengah terpaan pengejaran bangsa Quraisy.  Pada saat itu juga sebenarnya telah terjadi sebuah revolusi pemikiran, bahkan saat baiat (janji) di bukit Aqabah baik yang pertama dan kedua, semuanya bersepakat mengikuti seluruh ketetapan Nabi yang merupakan wahyu Ilahi dan juga membela keberadaan Nabi sebagaimana mereka membela isteri dan anak sebagai keluarganya. Intinya revolusi pemikiran dari pemikiran sempit yang bernuansa materialistik menuju pemikiran agung Islam yang berlandaskan perintah Nabi sekaligus perintah Allah SWT. Pemikiran yang menomerduakan nilai-nilai dunia dan memprioritaskan nila-nilai ruhiyah Islam meskipun harus rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwa sekalipun.  

Refleksi bagi era sekarang adalah bagaimana pemikiran manusia yang hedonistik bertabur materialis digantikan dengan pemikiran Islam yang jernih dan manusiawi. Pemikiran shahih yang didalamnya terdapat rahmat dan ridho-Nya, meskipun terkadang memberatkan dan mendapat stigma negatif dari orang-orang yang membencinya. Lihatlah bagi mereka yang konsisten memperjuangkan syariat Islam dan ad-Daulah Islamiyah atau al Khilafah harus siap digelari fundamentalis, radikal, dan teroris. Sedangkan bagi mereka yang lebih condong berpikiran liberal, demokratis, pluralis, moderat, dan fikroh Barat lainnya yang bersebrangan dengan Islam, seolah-olah mulia dan dihargai oleh dunia Barat.  

Berkaca dari sejarah hijrah, semestinya orang-orang diistilahkan hijrah aqliyah tsaqafiyah, yaitu kesungguhan untuk mereformasi pemikirannya dengan standar Islam dan bukan hawa nafsu. Kecenderungan akan keberpihakan terhadap pemikiran Barat seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan isme-isme lain diluar Islam, selayaknya mulai dikurangi dan akhirnya ditinggalkan secara totalitas tanpa merasa malu sedikitpun. Istiqomah dengan pemikiran Islam dewasa ini memerlukan pengorbanan yang pasti akan dihadapi, tapi yakinlah, ketika terikat secara sempurna dengan Islam, maka tidak terlalu lama kemuliaan akan diraih, insya Allah. Islam mulia dan yang bersama Islam pasti akan mulia (dihadapan Pencipta).  Totalitas 

Para peneliti sejarah dan pemerhati yang jujur akan menemukan sebuah hipotesis bahwa setelah hijrah, maka berdirilah institusi negara Islam (Daulah Islamiyah) untuk pertama kalinya. Paska  Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota Madinah menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran zamannya. Pada momen yang sama, suku ‘Aus dan Khazraj mengangkat Muhammad Rasulullah saw. sebagai kepala negara dengan tugas kenegaraan yang cukup jelas. Pendelegasiaan utusan negara untuk wilayah-wilayah jazirah Arab dilakukan, diantaranya mengutus Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal ke Yaman, dan sebagainya.  Penerapan Islam yang sebelumnya di Mekkah hanya sebatas ibadah ritual, maka ketika di Madinah justru beralih pada pelaksanaan aturan publik, baik mu’amalah, sosial, perdagangan, hukum peradilan, bahkan jihad. Pilar-pilar adanya sebuah negarapun terbangun secara sendirinya. Jabatan wakil kepala negara diberikan kepada Abubakar dan Umar, ditunjuk panglima pasukan, hakim pengadilan, urusan administrasi dan lainnya.  

Oleh karenanya, sangat berani dan jujur para sejarawan sekaligus ulama ternama seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, Ibnu Katsir, al Mawardi, al Badri, Dr Shalabi, An Nabhani, dan lainnya dalam mengungkapkan fakta bahwa Madinah dengan Rasulullah sebagai kepala negara telah mengaktualisasikan syariat Islam di wilayah publik secara paripurna. Institusi negara dalam ajaran Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh: Maa la yatimu al-wajibu ila fa huwa al-wajibu, artinya sesuatu yang mengarah terlaksananya kewajiban, maka sarana tersebut wajib adanya. Kebangkitan Islam. 

Berbicara tentang kebangkitan sebuah peradaban sepertinya tidak akan lepas dari peradaban Islam itu sendiri. Barat yang pernah jaya dengan peradaban modern, seharusnya mau bersikap adil, bahwa kemajuan mereka tidak akan berarti apa-apa, kecuali telah dibantu oleh awal peradaban Islam. Hijrah boleh jadi menjadi awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang Quraisy Makkah. Paska Hijrahlah Islam bangkit dan berkembang pesat hingga jazirah Arab tunduk dan masuk ke Asia bahkan pernah masuk ke jantung Eropa yaitu di Spanyol (Andalusia). Peradaban Islam menguasai hampir 2/3 wilayah dunia dengan tanpa kekerasan sebagaimana gambaran orientalis Barat. Keadilan dan kesejahteraan begitu merata. Tidak sebagaimana sekarang ketika peradaban Barat berkuasa tetapi dengan mengeksploitasi negara-negara miskin dan jebakan hutang, intervensi ke dalam negeri tanpa malu-malu. 

Peradaban dan kemajuan Islam yang bertumpu kepada nilai-nilai manusiawi dan ruhiyah telah menorehkan tinta emasnya dalam kurun lebih dari 1300 tahun. Semenjak hijrah dari kepala negara yaitu Rasulullah, masa Khalifaur rashidin, Abbasiyah, Muawiyah, sampai pada pemerintahan khilafah Utsmaniyah di Turki.  Pada kurun tersebut telah muncul tokoh kedokteran bernama Ibnu Sina, al Khawarizmi dan al Jabar yang ahli Matematika-sains, al Kindi sang Dokter bedah, dan ilmuwan ternama lainnya. Tetapi sayang akibat dendam perang Mongol dan perang Salib akhirnya semua kejayaan itu sebagian lenyap dan dicuri oleh ilmuwan Barat tanpa malu mereka mengaku sebagai penemunya, padahal mereka hanya mungkin sebagai penerus. Sejarah kejayaan peradaban Barat sesungguhnya berawal dari kejayaan Islam yang terpendam oleh kisaran waktu. Adapun refleksi masa sekarang, ketika negeri-negeri Islam terus berkubang pada masalah kemiskinan, hutang, kebodohan, dan sebagainya, semestinya momentum hijrah ini mengingatkan akan urgensi mengembalikan kejayaan yang pernah diraih dimasa lampau. Islam dulu jaya dengan menerapkan syariat Islam dalam ranah publik, maka tidak ada argumentasi yang lebih mulia kecuali mau back to history with shariah. Berkiblat pada peradaban Barat yang terus mengerogoti bangsa ini dan mengeksploitasi kekayaan negeri ini adalah hal yang perlu ditinggalkan kalau mau mengendaki bangsa ini meraih sebuah kejayaan. Ingat para pejuang meraih kemerdekaan dengan menentang semua bentuk penjajahan, bukankah ketika imperialis modern saat ini menjajah atas nama investasi asing (swastanisasi), hutang ribawi (hibah dsb), sekularisme (UU Migas, UU PM dsb), dan sebagainya harus dilawan?  Hijrah adalah awal bentuk perlawanan terhadap hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai manusiawi dan ruhiyah Islam. Wallahua’lam.

2 comments

  1. iman ti bandung

    SEPAKAT USTADZ…
    Istiqomah dengan pemikiran Islam dewasa ini memerlukan pengorbanan yang pasti akan dihadapi, tapi yakinlah, ketika terikat secara sempurna dengan Islam, maka tidak terlalu lama kemuliaan akan diraih, insya Allah. Islam mulia dan yang bersama Islam pasti akan mulia

  2. yup!
    saya juga sepakat, saatnya indonesia hijrah dari sistem sekular ke sistem islam. biar bisa unjuk gigi di hadapan AS laknatullah.
    saya sebagai generasi muslim ambon turut mendukung hijrahnya indonesia dari sistem sekular ke sistem islam.
    welcome to khilafah to lead the word….!
    Allahu Akbar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*