Liputan Acara
Aula Gedung Majelis Ulama Indonesia Kota Depok
7 Februari 2008
Aliran sesat dan menyesatkan muncul silih berganti di Indonesia. Satu kelompok sesat berhasil diatasi, kelompok lain atau mungkin kelompok yang sama dengan memakai nama baru muncul kembali. Di antara berbagai agama yang ada di Indonesia, agama Islam adalah agama yang paling sering menjadi target pembajakan, penodaan, dan penistaan. Aliran-aliran sesat telah menyelewengkan Akidah dan Syariah Islam. Bila hal ini dibiarkan saja, makin lama makin membawa kerugian yang sangat besar bagi umat Islam. Putra-putri kaum muslimin yang kebetulan masih sangat kurang pengetahuan dan pemahaman keislamannya, akan dengan sangat mudah disesatkan.
Pada era 70-an, ada aliran sesat Islam Jama’ah dan Darul Hadist, era 80-an ada Inkarus Sunnah, era 90-an ada Darul Arqam. Akhir-akhir ini tahun 2000-an muncul Komunitas Eden pimpinan Lia Aminuddin, kelompok Yusman Roy yang melakukan shalat dengan Bahasa Indonesia, yang mana keduanya sudah divonis penjara, dan Al-Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq yang saat ini dia dan beberapa pentolan pimpinan kelompoknya sedang diseret ke meja hijau.
Selain kelompok yang telah disebutkan di atas, Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan sudah sangat lama bercokol yaitu sudah masuk di Indonesia sejak tahun 1920-an, hingga kini masih eksis dan bahkan berkembang luas. Permasalahannya justru menjadi berlarut-larut sehingga sangat meresahkan umat Islam di mana-mana. Ada apa di balik semua ini?
Tak kurang keputusan Fatwa Munas II MUI pada tahun 1980 dan pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005, para ulama di tingkat internasional pun telah mengeluarkan fatwa tentang status Ahmadiyah, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Keputusan Majma al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan di sepakati oleh seluruh Ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir; (2) Keputusan Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami; dan (3) Keputusan Majma’ al-Buhuts.
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) melalui rapatnya yang diselenggarakan di Kejaksaan Agung, Selasa, 15 Januari 2008 lalu memutuskan untuk tidak melarang kelompok Ahmadiyah. Keputusan itu diambil setelah rapat menerima 12 butir Penjelasan PB JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) tentang Pokok-pokok Keyakinan dan Kemasyarakatan Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang disampaikan oleh Abdul Basith, Amir JAI.
Dalam Penjelasan itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiyyin (nabi penutup) dan menegaskan bahwa pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, sebagai mursyid, guru dan panutan warga Ahmadiyah. Ditegaskan pula bahwa Buku Tadzkirah hanyalah merupakan kumpulan pengalaman rohani Mirza Gulam Ahmad, bukan kitab suci, karena kitab suci Ahmadiyah hanyalah Al Quran, dan bersama sunnah Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang dipedomani. Lebih jauh dijelaskan bahwa Ahmadiyah tidak pernah mengkafirkan orang Islam non-Ahmadiyah, dan menyatakan Masjid-masjid Ahmadiyah terbuka bagi kaum Muslimin.
Bakorpakem menilai penjelasan itu sebagai niat baik Ahmadiyah untuk kembali kepada jalan yang benar (ruju’ ilal haq), dan selanjutnya memberikan kesempatan kepada Ahmadiyah selama 3 bulan untuk melaksanakan 12 butir penjelasan tersebut. Bila terbukti nanti bahwa penjelasan itu hanya merupakan akal-akalan supaya tidak dikatakan sesat, Bakorpakem seperti ditegaskan oleh ketuanya, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto, akan bersikap lain.
Berangkat dari seriusnya persoalan ini, Hizbut Tahrir Indonesia Kota Depok berhasil menyelenggarakan acara Tasqif Jama’i dalam bentuk diskusi publik yang mengambil tema “AHMADIYAH: ANTARA PERSOALAN AKIDAH ISLAM DAN POLITIK”. Acara ini terselenggara pada hari Kamis, 7 Februari 2008 yang lalu bertempat di Aula Utama Gedung Majelis Ulama Indonesia Kota Depok. Ratusan peserta mulai memadati ruang acara mulai pukul 09.00 WIB.
Pembicara yang hadir antara lain: H. M. Amin Djamaluddin sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI); Munarman, SH sebagai Ketua Tim Advokasi Forum Umat Islam (FUI); H. Achmad Michdan, SH sebagai Koordinator Operasional Tim Pembela Muslim (TPM); KH Dr. Dimyati Badruzzaman, MA sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok; dan Ir. Abu Zaid sebagai Anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia.
KH Dimyati Badruzzaman sebagai pembicara pertama menyampaikan keputusan MUI mengenai Ahmadiyah dimana beliau menegaskan bahwa sejak tahun 1980 MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Beliau juga menuturkan bahwa pada tahun 2006, MUI Kota Depok telah difasilitasi oleh Walikota Depok untuk melakukan debat dengan Jemaat Ahmadiyah Kota Depok. Acara tersebut berlangsung di Aula Departemen Agama Kota Depok. KH Dimyati yang saat itu ditunjuk untuk mewakili umat Islam telah menyampaikan argumen-argumen syar’i berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Sementara Jemaat Ahmadiyah menggunakan dalil-dalil yang tidak syar’i (lemah).
Beliau yang telah menempuh pendidikan doktoral di bidang Tafsir Hadits juga menyampaikan bahwa penjelasan tentang QS Al Ahzab ayat 40, yang artinya:
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir Al Quran baik kitab-kitab klasik hingga kontemporer adalah bahwa pengertian ‘khatamun nabiyyin’ adalah penutup para nabi, bukan cincin para nabi sebagaimana yang ditafsirkan Ahmadiyah.
Pada sesi kedua, Ust. H. M Amin Djamaluddin menyampaikan pokok-pokok kesalahan Ahmadiyah. Salah satu di antaranya adalah mengenai kitab Tadzkirah. Beliau membawa sendiri kitab tersebut untuk ditunjukkan kepada para peserta diskusi publik. Ahmadiyah menganggap bahwa Tadzkirah adalah kitab suci mereka. Padahal kitab suci umat Islam adalah Al Quran al Karim. Dari sini kita bisa memahami bahwa Jemaat Ahmadiyah tidak layak menyebut diri mereka sebagai bagian dari kaum Muslim.
Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU MUQODDAS”, artinya Tadzkirah adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah. Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad SAW, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT.
Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan: “Hadhrat Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).
Pada sesi ketiga, Ust. H. Achmad Michdan, SH yang saat ini aktif sebagai koordinator operasional TPM menyampaikan bahasan tentang Tinjauan Hukum atas Penodaan Agama Islam oleh Ahmadiyah. Beliau menyampaikan bahwa pertimbangan dan putusan hukum syar’i yang telah diambil oleh MUI dan lembaga lainnya yang memang berkompeten untuk itu sudah sepatutnya menjadi pertimbangan dan landasan hukum yang kuat dalam menjatuhkan ketentuan hukum positif di Indonesia menyangkut status Ahmadiyah, karena bagaimanapun hal ini menyangkut kepentingan dan maslahat mayoritas penduduk negeri ini yang memang muslim.
Bagi mayoritas penduduk Indonesia, perasaan keagamaan adalah dominan dan sangat diutamakan, sehingga nilai-nilai dan ajaran agama, terutama Agama Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, sangatlah dipegang teguh dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu maka dinyatakan dalam hukum dasar tertulis (konstitusi) kita bahwa
Konstitusi kita telah memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam beragama (Pasal 28 E) namun hak ini bukanlah bersifat mutlak karena dibatasi oleh ketentuan pasal selanjutnya (Pasal 28 J ayat (1) dan (2)) bahwa setiap orang wajib menghormati hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sehingga dapat kita tarik benang merah bahwa kebebasan beragama ini harus dibedakan dari kebebasan mengacak-acak, membajak dan menodai kemurnian agama Islam seperti yang telah dilakukan oleh Ahmadiyah dengan memutar-balikkan ayat-ayat suci Al Quran dan penyelewengan akidah lainnya.
Kebebasan beragama sekaligus pembatasannya ini juga selaras dengan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, dalam Pasal 18 ayat (1) ICCPR setiap orang bebas dalam memilih agama dan meyakininya sebagai hak/kebebasan internalnya namun hak eksternalnya dibatasi oleh ketentuan ayat (3) untuk menjamin agar tidak merugikan ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat, dan kebebasan dan hak-hak fundamental orang lain, tentu saja dalam hal ini adalah kesucian agamanya.
Orang-orang Ahmadiyah bila secara diam-diam, selama tidak dimanifestasikan keluar, mungkin bisa saja tetap meyakini ajarannya yang menyimpang itu atas dasar kebebasan internalnya, namun tunggu dulu, kekebasan eksternalnya tentu akan dibatasi oleh hak asasi orang lain menyangkut perlindungan terhadap kemurnian agama Islam.
Sangat disesalkan Komnas HAM dan beberapa tokoh hukum nasional secara salah kaprah melakukan pembelaan HAM bagi Ahmadiyah yang jelas-jelas telah melanggar HAM umat Islam menyangkut kesucian dan kemurnian Agama Islam. HAM tidaklah identik dengan boleh merusak kedaulatan suatu agama. Pengrusakan akidah yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap umat Islam sangatlah berat dan serius implikasi hukumnya, baik secara syar’i maupun hukum positif kita.
Ahmadiyah jelas-jelas telah melanggar beberapa ketentuan hukum positif Indonesia, antara lain: Penetapan Presiden RI Nomor: 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang sampai saat ini belum dicabut dan masih berlaku; dan juga Pasal156 a KUHP yang menyatakan bahwa dipidana dengan pidana penjara selama–lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, (1) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dan (2) Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Pemerintah berkewajiban untuk segara melarang Ahmadiyah secara nasional, tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut sehingga membuka peluang terjadinya ekses di tengah masyarakat yang semakin resah dengan keberadaan Ahmadiyah. Yang ditakutkan adalah ketika hukum tidak tegak, maka hukuman masyarakat yang berlaku.
Jangan sampai pemerintah melakukan pembiaran secara terus-menerus atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Ahmadiyah sehingga membuka peluang masyarakat menjadi berani untuk main hakim sendiri (eigenrichting, taking the law into their own hands) terhadap pengikut aliran sesat Ahmadiyah. Agar supaya tindakan masyarakat yang dilakukan di Lombok NTB, Manis Lor Kabupaten Kuningan Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya, tidak berulang lagi, sehingga hukum benar-benar tegak, secara seimbang selain untuk menciptakan ketertiban kehidupan bermasyarakat juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat itu sendiri.
Terhadap para pengikut Ahmadiyah, umat Islam tentu tetap berkewajiban untuk mengajaknya kembali kepada ajaran Islam yang benar (al-ruju’ ila al-haqq).
Ust. Munarman, SH sebagai Ketua Tim Advokasi FUI menyampaikan bahasan tentang Ahmadiyah dan Skenario Asing Menghancurkan Islam. Sebagaimana telah luas diketahui bahwa Ahmadiyah pada awal kemunculannya telah didukung Inggris yang saat itu tengah menjajah
Pada tahun 1876 M Mirza Ghulam Ahmad mengaku pertama kali menerima wahyu. Pada 1889 M, di India, Mirza menobatkan dirinya sebagai nabi dan rasul sekaligus sebagai al-Masih al-Maw‘ûd (al-Masih yang Dijanjikan). Pada masa tersebut, India sedang diduduki Inggris. Pada saat yang sama, Inggris dan Prancis sedang gigih untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Pada tahun 1865 Menteri Luar Negeri Inggris Lord Clardon mengatakan, “Sesungguhnya satu-satunya jalan untuk melakukan reformasi pemerintahan Utsmani adalah dengan memusnahkannya dari muka bumi secara keseluruhan” (Ismail Yagha, Ad-Dawlah al-Utsmaniyyah, hlm. 159).
Dalam kondisi seperti itulah, pada 1889 M lahir Ahmadiyah di India. Gerakan ini tumbuh dan berkembang berkat rencana penjajah Inggris di India. Mirza telah menghapuskan kewajiban jihad demi bangsa-bangsa kafir. Dia sangat memuji orang-orang Inggris dan menyerukan para pengikutnya untuk membantu penjajah Inggris di manapun mereka berada (Utsman Abdul Mun‘im, ‘Aqîdât Khatam an-Nubuwwah, hlm. 209). Mirza juga memerankan dirinya sebagai ’’intel’’ kolonial Inggris yang melaporkan sejumlah ulama agar segera ditangkap serdadu Inggris.
Munarman menjelaskan bahwa saat ini sedang berlangsung skenario global untuk menghancurkan Islam. Strategi yang dianggap paling mujarab oleh Barat dalam menghadapi geliat kebangkitan kaum Muslimin adalah dengan memberikan dukungan penuh terhadap “Muslim Moderat” yang mengusung Sekularisme, Plurarisme, dan Liberalisme.
Beliau juga memaparkan strategi Barat yang terungkap dalam dokumen berjudul “Building Moderate Muslim Network” yang diterbitkan Center for Middle East Public Policy (RAND Corporation). Rand Corporation sendiri dulunya adalah perusahaan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica/California yang didirikan setelah berakhirnya perang dunia ke-2. Kini perusahaan tersebut melihat dirinya sebagai lembaga think tank independen, walaupun sebagian besar dana untuk 800 orang staf penelitinya didapatkan dari badan militer AS, Pentagon.
Dalam dokumen tersebut dipaparkan bahwa Agenda Kebebasan (Freedom Agenda) yang senantiasa digembar-gemborkan tak lain tak bukan adalah “grand strategy” AS dalam Global War on Terrorism. Namun ternyata konsensus mengenai bagaimana mengidentifikasi dan mendukung partner dalam perang ide (War of Ideas) perlu segera dirumuskan.
Bangunan jaringan muslim moderat dapat diproses pada 3 level; (1) memperkuat jaringan yang sudah ada; (2) mengidentifikasi jaringan potensial dan mempromosikan perkembangannya; serta (3) melakukan kontribusi di bawah payung pluralisme dan toleransi beragama yang mendukung perkembangan jaringan ini. Dalam rangka menerjemahkan kebijakan tersebut dalam bentuk aksi, US Department of State dan US Agency for International Development (USAID) menjalin kerjasama dengan Organisasi-organisasi NonPemerintah seperti National Endownment for Democracy (NED), the International Republican Institute (IRI), the National Democratic Institute (NDI), the Asia Foundation, dan Center for the Study of Islam and Democracy.
Prioritas bidikan dari program ini adalah (1) akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekular, (2) pelajar sekolah agama moderat, (3) aktivis komunitas (LSM), (4) Kelompok-kelompok kajian wanita yang terlibat dalam kampanye kesetaraan gender, dan (5) jurnalis dan penulis moderat.
Pembicara terakhir, yaitu Ust. Ir. Abu Zaid selaku anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia menegaskan bahwa saat ini baik sadar maupun tidak sadar semua umat manusia sedang digiring untuk ‘masuk neraka’. Sistem kehidupan yang saat ini eksis tidak memfasilitasi kaum Muslimin untuk menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Berbagai pintu kemaksiyatan dibuka lebar, sedangkan pintu kebajikan coba ditutup rapat-rapat. Belum selesai satu persoalan, muncul lagi persoalan lain. Ahmadiyah merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang menimpa kaum Muslimin.
Pada dasarnya menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengingatkan saudara sesama muslim agar terhindar dari kesalahan dan kesesatan. Dan menjadi kewajiban setiap muslim pula yang bila sadar ia berada dalam kesalahan dan kesesatan segera meninggalkan kesalahan dan kesesatan itu dan kembali kepada jalan yang benar (ruju’ ilal haq). Selanjutnya, dengan sikap khusnudzan (sangka baik) pernyataan ruju’ ilal haq itu harus diterima karena Islam menuntunkan untuk menilai sesama muslim berdasarkan pada apa yang tampak (tahkum bi dhahir), bukan menilai sikap batin.
HTI mendukung sikap MUI untuk tidak dulu mencabut fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, sampai benar-benar seluruh doktrin, keyakinan dan paham sesat yang mereka miliki benar-benar berubah. Mustinya sikap harus diambil oleh pemerintah adalah merujuk kepada fatwa MUI dengan menyatakan Ahmadiyah sesat, melarang dan membubarkannya. Bila kemudian mereka benar-benar ruju’ ilal haq, barulah keputusan itu dicabut.
Menyerukan kepada seluruh umat Islam, termasuk pihak pemerintah, untuk mendengar dan menaati fatwa MUI tentang Ahmadiyah, karena fatwa tersebut adalah fatwa yang benar yang dikeluarkan oleh para ulama yang berkompeten. Fatwa tersebut jelas mestinya harus dipatuhi untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari rongrongan berbagai pihak yang dengan berbagai cara terus melakukan upaya penyimpangan dan pendangkalan akidah umat.
Beliau menyerukan kepada kaum Muslim untuk bersegera kembali pada penerapan syariah dan khilafah. Sebab, pemerintahan sekuler seperti selama ini berlangsung makin terbukti tidak dapat melindungi kesucian ajaran Islam dan akidah umat.
Akhirnya semoga Allah SWT melindungi, merahmati dan memberikan hidayah taufiqiyah kepada kita semua, khususnya para ulama yang lurus, dalam memperjuangkan tegaknya risalah Islam yang haq ini di negeri ini agar tercipta rahmat bagi sekalian alam
(Liputan: Abu Khalil)
Foto-foto:
Ahmadiyah sudah 118 Tahun dan Usia Khilafatnya menjelang 100 tahun. Jadi SUDAH PUNYA KHALIFAH, jamaahnya > 250 juta di 183 Negara. Sudah Punya Moslem TV yang menjangkau seluruh sudut dunia. Kalau HTI kan baru rencana bikin Khalifah, apa bisa he..he..
Semoga Allah SWT melindungi, merahmati dan memberikan hidayah taufiqiyah kepada kita semua, khususnya para ulama yang lurus, dalam memperjuangkan tegaknya risalah Islam yang haq ini di negeri ini agar tercipta rahmat bagi sekalian alam….
Buat Sobat Mubarak Ahmad, Kalau HTI kan baru rencana bikin Khalifah, apa bisa ?
Insha Allah, dengan pertolongan Allah SWT, HTI bersama ummat yang mendukungnya sangat bisa membangun KHILAFAH.
Ketika Sang Raksasa terbangun dari tidur panjangnya, mungkin anda hanya bisa terdiam.
Nyengir siah….
skenario bodoh Inggris rebutan dominasi dengan AS di Indonesia. Ayo pemerintah buktikan keberpihakanmu dengan AS bukan dengan Inggris !!!
Buat Kang Iman ti Bandung yang terhormat,
Dalam Musnad AHmad,Baihaqi,Miyskat :
“…Akan ada nubuwat sampai masa yang disukai ALLAH…Kemudian akan ada Khilafat dalam Nubuwat sampai masa yg disukai ALLAH..Kemudian akan berdiri Kerjaan sampai waktu yang dikehendaki ALLAH.. Kemudian akan ada Khilafat dalam Nubuwat.” Pertanyaan saya Khilafat yang mana yang akan HTI Dirikan?
Allahummarham ummata Sayyidina Muhammad..
Islamic Ummah must understand who are the real enemies. FYI, one of them is Pirate of Islamic Aqidah.
To: Who claim they are ‘Ulama of the Ummah
Please DO NOT “calm down” to the Pirates and the ‘Sponsors’, but at the same time “speak very loudly” to Islamic Revivalist without syar’i arguments.
Buat Sobat Mubarak Ahmad yang di Rahmati Allah…
Jawabnya: Khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian, sesuai dengan HR. Ahmad…
Htr nhn responnya!
Mubarak Ahmad Yang Belum Tentu Ahmadiyah (tapi bisa lebih dari itu)
Hadis yg kamu nukil itu menunjukkan bahwa khilafah itu rencana Allah, bukan sekedar HTI. Inggris membuat makar berdirinya Ahamadiyah. Inggris membuat makar runtuhnya Khilafah Islam di Turki. Bagaimana mungkin khilafah yg dimaksud hadis itu adalah yg didirikan ahmadiyah?
Kekuatan ahmadiyah juga bukan spt yg kamu omongkan. Tapi lebih dari itu. Ia disokong Inggris yg besar, para munafiqin, liberal, musuh2 Islam dsb.
Yang tidak setuju Khilafah Rosyidah (cetak tebal) juga banyak. Dari golongan murtad (ahmadiyah dll), negara2 Kafir Barat dan Amerika, dari kalangan sendiri (kaum muslimin), para penguasa muslim, comprador Barat.. buanyak lah, sekian milyar orang tersebar di lebih 183 Negara.
Cukuplah Allah yang menghitung berapa angka pasti dari jumlah musuh2Nya Dan cukuplah Allah sebagai penolong kami.
Tidak takut..!
(orang2 ahmadiyah, siapa saudara muslimmu? Siapa musuh2mu? siapa2 itu musuh Allah?
Bertobatlah, bersyahadatlah segera!)
Buat Kang Iman, jawabannya betul! “Khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian, sesuai dengan HR. Ahmad…”
Insha Allah, khalifah itu dijanjikan Allah SWT sendiri bukan dibangun manusia. Dalam Al-Quran sangat jelas itu adalah Janji Allah SWT kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
salam,
Mari kita sama2 Berdoa dg tulus dan kerendahan diri memohon kepada Allah SWT, karena ini Rencana-Nya, karena ini Janji-NYa kepada orang-orang dari antara kamu yang beriman dan berbuat beramal saleh.
Kalo sudah dg Doa yg tulus dan kerendahan diri, Apa manfaatnya bagi kita untuk menuduh suatu kaum sebagai ‘disokong inggris’ padahal pada kenyataan yg sebenarnya kaum itulah yg dari pertama berdiri sampai sekarang yg ‘berani’ menyatakan dg terang-terangan berdakwah bahwa ‘tuhannya Kerajaan Inggris itu sudah mati’. Mohon sama2 direnungkan, jangan sampai Janji-Nya itu hilang dari tangan kita hanya karena kesalahan perilaku kita. Jagalah keimanan kita dg perilaku amal saleh kita sebagimana yg diminta dari ajaran Al-Qur’an itu sendiri.
salam,
bwt sobat mubarak ahmad,
Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.
Rasulullah saw bersabda, ”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]
“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]
“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]
Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.
Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?
Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.
Hadits Pertama
Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]
Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.
Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”
Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.
Hadits Kedua & Ketiga
Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.
Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).
Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.
Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.
Sobat Mubarak Ahmad,
Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an , as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir.
Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :
Dalil dari al-kitab, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim)
Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : “ aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam. Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.
Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.
buat pak mubarak ahmad
meski saya baru ngaji dengan HT, tapi dari diskusi2 dan baca buku-bukunya tentang khilafah, bahwa khilafah yang diperjuangkan HT adalah khilafah ala minhaji nubuwah bukan ala minhaji ahmadiyah. Yaitu sebuah sistem pemerintahan yang mengikuti metode kenabian Muhammad SAW bukan hazrat MGA. Sistem pemerintahan inilah yang dipraktikan oleh para sahabat Nabi SAW.
====
Ahmadiyah sudah 118 Tahun dan Usia Khilafatnya menjelang 100 tahun. Jadi SUDAH PUNYA KHALIFAH, jamaahnya > 250 juta di 183 Negara. Sudah Punya Moslem TV yang menjangkau seluruh sudut dunia. Kalau HTI kan baru rencana bikin Khalifah, apa bisa he..he..
=====
khalifah kok cuma punya jama’ah, wilayahnya dimana pak? Panglima perang/amirul jihad terkenalnya siapa? Kenapa ketika umat Islam diberbagai belahan dunia dijajah, tidak ada suaranya tuh kholifahnya pak mubarak. Apa sedang istirahat, masa istirahat kok sampai 100 tahun!! Apa tidak pernah lihat di TV? lho katanya sudah punya TV.
Setahu saya khilafah versi ahmadiyah itu kholifahnya tinggal di Inggris kan!!
Kholifahnya juga mau dipaksa mbayar pajak!!
Keamanannya juga yang njamin pemerintah Inggris?
Jangan2 kholifahnya juga tidak bisa menolak kalau diminta kerja bakti atau siskamling oleh bapak RT disono!!
Waduh kalau kholifahnya saja begini, lha bagaimana umatnya ya, nggak kebayang dech!!
tambahan ada ralat ketik:…Sudah punya moslem TV…, yang bener …sudah punya ahmadiyah TV…