GAZA CITY — Setelah menewaskan sedikitnya 117 rakyat Palestina, Senin (3/3), Israel mulai menarik militernya dari Jalur Gaza utara. Tak lama setelah tengah malam lewat, kendaraan lapis baja Israel mulai bergerak meninggalkan Jabaliya.
Hamas menyebut mundurnya Israel sebagai kemenangan perjuangan Palestina. Langkah mundur itu tidak mempengaruhi sayap militer Hamas, Brigade Izzedine Al-Qassam, menembakkan roketnya ke wilayah Israel selatan. Sepanjang Senin pagi setidaknya tiga roket menghantam Ashkelon. Sebaliknya Israel menegaskan langkah mundur tersebut tidak berarti mereka telah menghentikan operasi di Jalur Gaza. Bersamaan dengan langkah mundur, mereka menggelar sembilan serangan udara, salah satunya tak jauh dari kantor Perdana Menteri Ismail Haniya.
Juru bicara pemerintah Israel, David Baker, menegaskan Israel akan terus memburu mereka yang menembakkan roket hingga keamanan warga Israel di selatan terjamin. Sementara Menteri Pertahanan Ehud Barak mengatakan operasi militer besar-besaran masih sangat mungkin digelar.
Operasi militer Israel yang digelar sejak Rabu (27/2) praktis merupakan ancaman terbesar bagi proses perdamaian Israel-Palestina. Presiden Mahmoud Abbas langsung membatalkan pertemuan rutin dengan Perdana Menteri Ehud Olmert dan memutuskan semua kontak dengan Israel. Turki dan Uni Emirat Arab mendesak masyarakat internasional memaksa Israel menghentikan aksi militer.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat (AS), Ahad (2/3) langsung mengutus Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice ke Timur Tengah. Sementara Uni Eropa dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Ban Ki-moon, menyebut langkah Israel di Jalur Gaza, tidak masuk akal.
Menteri Negara non-departemen Israel, Ami Ayalon, mengatakan ia tengah menggodok proposal bagi negosiasi tak langsung Israel-Hamas di bawah mediasi Mesir. Ayalon yang juga petinggi Partai Buruh itu mengatakan ia telah membahas rencana ini dengan Perdana Menteri Ehud Olmert, Menteri Luar Negeri, Tzipi Livni, dan Barak. Sejauh ini ketiganya menolak dengan alasan Hamas hanya akan menggunakan masa damai untuk memperkuat sayap militernya.
”Jika selama ini Israel bisa bernegosiasi dengan Hamas untuk membebaskan Gilad Shalit mengapa cara yang sama tidak digunakan untuk merundingkan kesepakatan gencatan senjata,” kata Ayalon, seperti dikutip harian cetak, Haaretz.
Sejumlah elemen di Israel secara terbuka memang mendesak pemerintah merangkul Hamas. Tidak hanya untuk membebaskan Shalit yang ditahan sejak pertengahan 2006 tetapi juga untuk keamanan Israel. [ap/afp/lan; Republika.co.id; Selasa, 04 Maret 2008]