Perampokan di Era Orde Baru
Sebuah konferensi 3 hari diselenggarakan pada bulan November 1967 di Genewa, Swiss. Konferensi yang disponsori oleh The Life Time Corporation ini menghadirkan Pemerintah Indonesia dan para kapitalis raksasa dunia, seperti korporasi minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens dan USA Steel. Dalam konferensi tersebut, Pemerintah
Sejak 1967, Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru mengemis kepada AS agar mendapatkan utang dan bantuan mengatasi keterpurukan ekonomi
Sejak itulah utang luar negeri dijadikan sumber pembiayaan pembangunan
John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, mengungkapkan, timnya bekerja untuk meyakinkah Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat: Pemerintah
Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor.7 Setelah di-mark up, utang itu pun dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi dari total pinjaman US$ 30 miliar.8 Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi.9 Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.10
Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank
Perampokan di Era Reformasi
Masuknya IMF ke
Berdasarkan landasan hukum ini, BI mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.15 Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.16 Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.17
Setelah utang-utang konglomerat baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil-alih BI melalui dana BLBI, Pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari Pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.
Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang menjadi utang baru rakyat
Reformasi politik ekonomi oleh IMF menjadikan
Atas nama investasi,
Solusi Islam
Perampokan harta negara terjadi karena lemahnya kemampuan Pemerintah mengelola negara. Faktor ini disebabkan oleh:
1. Ketundukan Pemerintah pada kepentingan asing dan korporat.
Sikap pragmatisme dan tamak penguasa dan pejabat negara yang hanya mengejar kedudukan dan keuntungan materi menyebabkan mereka mudah ditundukkan oleh kepentingan asing, baik dengan jalan ditekan maupun disuap. Bahkan mereka sendirilah yang mengemis kepada Barat agar diberikan bantuan meskipun konsekuensinya negara harus digadaikan.
Islam melarang penguasa negeri-negeri Muslim memberikan kepercayaan kepada bangsa-bangsa kafir apalagi dengan menyerahkan pengaturan kebijakan politik ekonomi negara kepada mereka. Seorang penguasa laksana perisai yang dibelakangnya rakyat berlindung sehingga seharusnya negara mencegah intervensi asing.
IMF, Bank Dunia, ADB dan utang dari negara-negara kreditor terbukti menyengsarakan rakyat. Lembaga-lembaga ini merupakan penjahat dunia yang memberikan jalan atas perampokan kekayaan alam dan harta negara. Karena itu, hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut harus diputuskan.
2. Ketiadaan konsep (fikrah) dan metode (tharîqah) mengelola negara.
Ketiadaan konsep dan metode untuk membangun negara menyebabkan Pemerintah menjiplak Kapitalisme yang disodorkan Barat. Akibatnya, daya nalar mereka hampir tidak mampu menjangkau penjarahan asing atas sumberdaya alam
Untuk mengatasi hal ini, syariah Islam mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan harta milik umum, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan transaksi keuangan.
Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariah Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tiga pos, yakni: pos harta milik negara (fai’ dan kharaj); pos harta milik umum; dan pos sedekah.23
Potensi sumberdaya alam
Untuk merealisasikan pengelolaan SDA, negara harus memiliki badan-badan yang berfungsi untuk menggali barang tambang, kemudian mengolahnya, menjualnya ke luar negeri, ataupun menyalurkan pemanfaatannya secara langsung kepada masyarakat. Badan-badan yang diperlukan untuk pelayanan publik juga harus dimiliki oleh negara. Karena itu, syariah Islam melarang privatisasi sektor-sektor pemilihan umum (minyak, listrik, gas, emas, dll).
Dengan tegaknya kemandirian negara, hukum-hukum keuangan Negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat. Negara juga melarang pemberian hadiah dan suap kepada pejabat dan aparat negara. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]
Catatan kaki:
1 Mereka adalah sekelompok ekonom muda Universitas
2 Lihat John Pilger (28/1/2008), Suharto, the model killer, and his friends in high places, http://www.johnpilger.com/page.asp?partid=473
3 Lihat Denise Leith, The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia, (
4 Lihat John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi John Perkins: Kelanjutan Kisah Petualangannya di
5 Hal ini disampaikan Presiden Lyndon Baines Johnson dalam pertemuan kabinetnya 18 Oktober 1967. Presiden Johson juga menyatakan kekayaan alam
6 John Perkins, Confessions of Economic Hit Man, alih bahasa Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani, cet. I, (
7 ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 485.
8 Sritua Arief, “Hutang Kriminal, Bank Dunia dan Korupsi di Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wacana, (Edisi 3, Tahun I 1999), hal. 100.
9 Liputan 6 SCTV, 29 Juli 2002.
10 Posisi HLN pemerintah
11 Nilai Rp 100 trilyun pada tahun 1980-an jauh lebih besar dibandingkan nilai Rp 100 trilyun pada masa sekarang. Pada waktu itu nilai US$ 1 setara dengan Rp 1.000 sedangkan sekarang nilainya bertengger di atas Rp 9.000. Dana KLBI ini tidak bisa dilacak lagi keberadaannya karena semua dokumennya hangus dengan terbakarnya Gedung BI di Jl. Thamrin tahun 1997. Lihat Rahmat Basoeki S.
12 Lihat Rachmat Basoeki dan http://www.bi.go.id/msmbiweben/sejarah_content.asp?id=8
13 Lihat Rachmat Basoeki.
14 Lihat Hidayatullah Muttaqin, “Resiko Hutang Luar Negeri Pemerintah
15 Dicky Iskandardinata, “BLBI: Bencana Luar Biasa
16 BPK, Siaran Pers BPK tentang Hasil Audit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI (4 Agustus 2000).
17 Outstanding Government Domestic Debt, As of September 25, 2002.
18 Posisi hutang dalam negeri pemerintah
19 Nota Keuangan dan APBN 2002
20 Kwik Kian Gie, Pikiran yang Terkorupsi, (
21 http://web.bisnis.com/bursa/saham/1id40626.html
22 http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=320993&kat_id=4
23 Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al Khilafah), cet. i, alih bahasa Ahmad S. dkk, (
24 Nota Keuangan dan APBN 2008.
Sebenarnya, konsep Islam itu sdh baku, tetapi bagaimana tinjauan fiqih dlm mengelola itu semua, ketika persoalannya bukan saja masalah maling negara ataupun hubungan internasional, tetapi juga terkait dg tdk adanya dukungan rakyat yg tingkat pendidikannya rendah, ditambah lagi dg pluralitas yang kadang suka menikam dari belakang….
Sistem itu baru efektif, jika ada dukungan dari rakyat secara penuh…. TAPI, ketika dukungan tidak didapatkan, FIQIHnya bagaimana?
Ditambah lagi, kita umat Islam, belum bisa menampilkan karakter muslim sejati bahkan dalam taraf INDIVIDU….
So?
Pe Er umat mungkin… bagaimana memformulasikan nilai nilai Islam dalam kondisi yang minim, minim kekuatan, minim dukungan, minim pemahaman….
So?
Salut kepada Hizbut Tahrir di seluruh dunia. Termasuk yang di Indonesia. Pada saat umat Islam menderita ‘inferiority complex’, merasa minder, rendah diri, serta selalu memposisikan dirinya sebagai minimal, Hizbut Tahrir mampu membangkitkan percaya diri umat untuk melawan dominasi dan hegemoni kapitalisme. Di tengah2 umat yang minim pemahaman terhadap Islam, Hizbut Tahrir tampil memahamkan mereka terhadap pemikiran2 Islam yang lurus. Meski harus berbenturan dgn pengusung sekulerisme, pluralisme, kapitalisme, dan demokrasi, tetap tidak tergoyahkan. Hizbut Tahrir di belahan bumi mana pun, sejauh ini terbukti mampu menuai dukungan umat Islam yang masih mencintai Islam secara tulus.
Semoga seluruh syabab Hizbut Tahrir tetap lurus dalam perjuangan. Tidak tergoda dengan kedudukan maupun jabatan yg banyak ditawarkan.
Ingatlah bahwa kekuatan yang hakiki adalah quwwah ruhiyyah Bukan semata kekuatan material, harta, atau besarnya jumlah pendukung. Namun yang paling penting adalah asalkan perjuangan Hizbut Tahrir tetap dalam koridor halal, berlepasdiri dari hal2 yang haram, insya Allah, Dia tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seluruh pejuang syariah dan khilafah.
Bersabarlah dalam menjemput kemenangan.