Menuju Jurang Kebangkrutan?

as-crisis.jpgAmerika Serikat benar-benar panik. Buktinya, pada hari libur Minggu (16/3/2008) pun, mereka menurunkan suku bunga diskonto (discount rate)—yakni suku bunga yang ditawarkan bank sentral kepada bank-bank komersial—dari 3,5 persen menjadi 3,25 persen. Tujuannya, agar Senin (17/3/2008) pasar modal yang dibuka pukul 09.00 di Wall StreetNew York berembus sentimen positif. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi persuasi terhadap pasar Asia.

Namun, apa yang terjadi? Bursa efek di Asia justru rontok sepanjang Senin pekan lalu (17/3/2008). Bukannya sentimen positif yang didapat, melainkan bursa lebih khawatir terhadap harga minyak dunia yang menembus 111 dollar AS per barrel. Penurunan discount rate di hari Minggu jelas tak lazim sehingga bisa diinterpretasikan sebagai kepanikan luar biasa. Bukannya insentif positif yang didapat pasar finansial Asia, melainkan disinsentif.

Beruntung, harga minyak terkoreksi menjadi 106 dollar AS per barrel sehingga meniupkan sedikit ruang harapan. Setelah The Fed menurunkan suku bunga dari 3,0 persen menjadi 2,25 persen (18/3/2008), indeks harga saham di New York mulai melebihi level psikologis 12.000. Masih nervous, tetapi lumayan.
Jurus klasik

Kebijakan The Fed itu merupakan jurus klasik, yang dulu juga pernah dilakukan pada era depresi besar pada 1930-an. The Fed berusaha memasok likuiditas lebih banyak untuk menyangga perekonomian. Langkah ini seiring kebijakan likuiditas longgar berupa injeksi 200 miliar dollar AS oleh The Fed ke pasar uang. Manfaatnya adalah, saat pasar sedang mengalami frustrasi, nervous, dan kehilangan kepercayaan, diperlukan lebih banyak likuiditas yang tersedia di pasar. Kelangkaan dan kesulitan mendapatkan likuiditas segar hanya akan menambah kepanikan. Karena itu, hal ini harus diredam melalui easy money policy (likuiditas mudah dan berlimpah).

Kebijakan ini ditempuh terutama setelah menyadari krisis pada bank-bank investasi lebih berat dari yang diperkirakan. Pelan tetapi pasti, bank-bank investasi mulai mengumumkan kerugiannya sebagai dampak krisis subprime mortgage, yang ternyata lebih besar dari perkiraan awal. Yang terbaru adalah krisis Bear Stearns, yang terpaksa diakuisisi JP Morgan Chase dan diinjeksi The Fed. Bank investasi terkemuka Goldman Sachs dan Lehman Brothers juga mengumumkan berkurangnya laba mereka.

Akumulasi kerugian bank-bank investasi itu terus merayap hingga 260 miliar dollar AS. Namun, banyak ramalan, angka bisa jauh lebih besar lagi. Memang sebagian sudah ada yang disuntik dana dari sovereign wealth fund (dana dari negara-negara Timur Tengah dan Asia Timur yang sedang mempunyai banyak rezeki), tetapi sebagian lainnya masih memerlukan pertolongan bank sentral.

Hal ini mengingatkan krisis Indonesia 1998, yakni bangkrutnya bank-bank yang harus diselamatkan melalui skema rekapitalisasi dengan dana pemerintah. Di Inggris, krisis Northern Rock berakhir dengan nasionalisasi sehingga bank pemberi kredit terbesar kelima di Inggris itu harus menjadi milik negara. Bank ini menunggak utang 25 miliar poundsterling (hampir Rp 500 triliun) kepada Bank of England (bank sentral Inggris).

Meski demikian, tidak semua bank memiliki gambaran suram seperti itu. Masih ada bank Inggris yang selamat dan membukukan laba, misalnya Standard Chartered. Hal ini bisa terjadi karena kuncinya terletak pada dua hal.

Pertama, bank ini berkonsentrasi pada kegiatan di emerging markets di Asia, Afrika, dan Timur Tengah yang perekonomiannya sedang melambung. Mereka memilih exposure pada kredit konsumen yang aman dan memberi keuntungan.

Kedua, bank ini relatif memiliki exposure yang sedikit pada investasi surat berharga (sekuritas) yang berbasis subprime mortgage. Dengan kata lain, mereka memosisikan diri berbeda dengan bank- bank besar AS yang kebanyakan berperan sebagai bank investasi (The Economist, 1-7 Maret 2008).
Instrumen suku bunga

Amerika Serikat mau tidak mau harus menjalankan ”Plan B”. Suku bunga terus dipangkas. Pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) akhirnya diturunkan menjadi 2,25 persen dan diharapkan membantu mengurangi tekanan resesi. Namun, tidak berarti tindakan ini otomatis diikuti negara lain. Negara-negara kawasan Euro, misalnya, memilih mempertahankan suku bunga benchmark bank sentralnya pada level 4,0 persen. Mereka belum tertarik menurunkannya karena merasa ancaman inflasi yang kini 3,2 persen (year-on-year hingga Januari 2008) lebih serius dibandingkan tekanan hebat terhadap neraca perdagangannya.

Hal yang sama dialami Australia, yang menaikkan suku bunga dari 7,0 persen menjadi 7,25 persen, karena kenaikan harga minyak dunia amat mengancam inflasinya. Sementara AS tampaknya cenderung mengabaikan inflasi yang kini 4,3 persen, atau dua kali lipat dibandingkan inflasi setahun sebelumnya (2,1 persen).

Bagaimana dengan Indonesia? Meski pemerintah dan Bank Indonesia sebelumnya kompak menargetkan suku bunga BI rate di level 7,5 persen, tampaknya hal ini masih bisa ”ditawar”. Inflasi tinggi pada Januari (1,77 persen) dan Februari (0,65 persen) agaknya bisa memaksa BI untuk mempertahankan BI rate 8,0 persen. Namun, risikonya, akumulasi dana yang menumpuk di SBI akan meningkat sehingga mempertinggi biaya moneter.

Salah satu upaya menurunkannya adalah memindah portofolio pemda dari SBI ke obligasi pemerintah (SUN atau SPN), sebagaimana diserukan Menkeu Sri Mulyani. Anggaran pun terpaksa dipangkas. Departemen dan lembaga pemerintah harus lebih mengefektifkan dan berhemat. Sedangkan subsidi minyak, listrik, dan pangan, yang melonjak ke Rp 250 triliun atau lebih, merupakan lubang menganga dalam APBN kita. Solusinya adalah kombinasi antara menaikkan defisit anggaran (menjadi di atas 2 persen terhadap PDB) melalui penambahan utang dan kenaikan harga BBM dalam negeri.

Kebijakan terakhir ini amat pahit, tetapi semua negara di dunia—kecuali negara-negara produsen minyak—praktis mengalaminya.

Kini, dunia sedang membutuhkan pertolongan negara-negara produsen minyak agar mereka mau menambah produksinya. Tidakkah negara-negara OPEC terketuk hatinya untuk menyelamatkan perekonomian dunia? Padahal, inilah kesempatan untuk menghindari jurang kebangkrutan.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI (Kompas online : Senin, 24 Maret 2008 | 00:39 WIB)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*