Pendahuluan
Krisis energi menjadi sangat terasa pada bulan-bulan terakhir. Krisis bahan bakar dimulai ketika Pemerintah mencanangkan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Pada saat itu, minyak tanah menjadi langka dan antrian masyarakat untuk membeli minyak tanah mulai terjadi di banyak tempat. Pada saat program konversi ini hampir selesai, terjadi kekurangan pasokan gas elpiji sehingga harga gas elpiji menjadi naik. Belum lagi dampak kenaikan harga bahan bakar rumah tangga terpulihkan, terjadi kelangkaan bahan bakar untuk sektor transportasi. Baru-baru ini juga terjadi krisis listrik akibat terganggunya pasokan bahan bakar (batubara) dengan alasan faktor cuaca yang mengganggu pasokan batubara.
Berbagai argumen telah dikemukakan Pemerintah untuk menjelaskan alasan krisis ini, misalnya pengaruh harga minyak dunia serta jumlah cadangan sumberdaya energi (khususnya minyak) di
Tulisan ini akan mencoba memaparkan fakta-fakta yang terkait dengan pengadaan energi yang menjadi sumber masalah keenergian
Problem Pengaturan Energi di Indonesia
Dibandingkan dengan penggunaan rata-rata dunia, tingkat pengunaan energi
Dalam perhitungan estimasi sumberdaya energi, perlu ditekankan aspek penting yang menjadi dasar estimasi, yaitu bahwa pengertian sumberdaya energi adalah cadangan yang telah terbukti (proven) serta dapat diambil dengan kemampuan teknologi terbukti (proven) yang tersedia. Sumberdaya energi dikatakan cukup jika telah terdapat data-data yang cukup dan telah diverivikasi dengan berbagai metode eksplorasi yang mungkin. Untuk sumberdaya minyak bumi, hal ini sering disebut sebagai cadangan P90, P70 dan seterusnya, yaitu memiliki probabilitas 90% untuk mendapatkannya dalam jumlah yang diestimasikan ketika dilakukan penambangan dan seterusnya. Cadangan P50 ke bawah tidak dianggap sebagai sumberdaya energi. Demikian juga cadangan yang walaupun memenuhi kriteria terbukti tetapi sulit untuk diambil dengan teknologi yang ada; ia belum dikatakan sebagai sumber daya energi.
Berdasarkan hal ini, Indonesia memiliki 86,9 miliar barel cadangan minyak bumi, sedangkan yang terkategori proven adalah setara 9 miliar barel.5Laju konsumsi minyak Indonesia sedikit mengalami penurunan dari 384 juta barel (tahun 2000) hingga 350 juta barel (tahun 2006). 6 Produksi minyak menurun tajam dari 517 juta barel (tahun 2000) menjadi 363 juta barel (tahun 2006).7 Sementara itu,
Lalu untuk menutup defisit neraca minyak bumi,
Pada dasarnya, perdagangan minyak internasional tidak dilakukan langsung oleh produsen kepada konsumen. Perdagangan minyak internasional berlangsung melalui broker (perantara). Dalam kenyataannya, harga pasar minyak internasional (yang sering disebut harga spot) lebih banyak ditentukan dengan mekanisme ini, bukan berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran antara produsen dan konsumen semata. Pada umumnya, perdagangan ini melibatkan lembaga pendanaan (funding), yaitu bank. Dengan kata lain, perdagangan sering tidak dilakukan secara tunai. Hal ini yang menyebabkan negara-negara produsen minyak tidak dapat dengan leluasa mendapatkan keuntungan akibat melonjaknya harga minyak pada pasaran internasional sebagaimana yang terjadi pada akhir tahun 2007.
Pengelolaan minyak di
Konsep ini didasarkan pada keterbatasan dana negara untuk melakukan investasi pada sektor pertambangan minyak dalam aspek pemodalan serta tanggungan risiko. Dengan konsep ini keuangan negara diharapkan aman dari risiko kegagalan penambangan. Namun, implikasi langsung dari konsep ini sangat jelas, yaitu Pemerintah hanya mendapatkan sebagian dari keuntungan penambangan, bukan mendapatkan penghasilan (revenue) dari penambangan. Di samping itu, Pemerintah tidak memiliki produk penambangan selama kontrak berlangsung. Dengan kata lain, Pemerintah (negara) tidak lagi memiliki produk minyak bumi.
Solusi Islam
Dalam pandangan Islam, sumberdaya energi termasuk minyak bumi termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ فِيْ الْمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air,
‘Illat kepemilikan umum dari hadis tersebut adalah jumlah yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air yang mengalir). Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Ia datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw. pun menarik kembali tambang itu darinya.” (HR Abu Dawud).
Berdasarkan kedua hadis ini, sumberdaya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua aspek, yaitu termasuk dalam kata api serta tersedia dalam jumlah besar. Karena sumberdaya energi (minyak bumi, gas alam, batubara, sumberdaya nuklir, geotermal, hidropower, energi kelautan termasuk dalam kepemilikan umum maka aktivitas pertambangan sumberdaya energi harus merupakan industri milik umum.
Kepemilikan terhadap industri meliputi kepemilikan atas: modal; alat produksi; bahan
Industri milik swasta bisa dilibatkan dalam pengelolaan kepemilikan umum hanya dalam konteks ijârah (kontrak kerja). Dalam hal ini, BUMN yang menangani industri milik umum mengontrak industri swasta untuk melakukan pekerjaan yang ditentukan dalam kontrak. Dalam kasus minyak bumi sebagai contoh, Pertamina sebagai BUMN dapat mengontrak industri swasta untuk melakukan pekerjaan pengeboran dan selanjutnya dibayar untuk pekerjaan tersebut. Pihak swasta (termasuk asing) tidak bisa memiliki hasil produksinya.
Pendanaan (modal) termasuk bagian dari kepemilikan. Karena itu, pendanaan (investasi) swasta bagi industri sumberdaya energi baik untuk ekplorasi maupun eksploitasi tidak dibenarkan. Pendanaan semua industri milik umum (termasuk industri energi) secara integral termasuk dalam anggaran negara (Baitul Mal dalam sistem Khilafah) dari sektor kepemilikan umum. Semua penghasilan dari industri milik umum langsung dimasukkan dalam Baitul Mal (anggaran negara).
Pertanyaan yang muncul adalah: “Sanggupkah anggaran negara memikul semua beban keuangan bagi pendanaan industri milik umum (dalam kasus ini pertambangan minyak) yang meliputi biaya modal, biaya operasional (termasuk gaji) serta biaya dampak lingkungan untuk semua aktivitas industri tersebut (produksi, distribusi, dan pengembangan atau eksplorasi)?”
Jika pertanyaan ini dijawab berkaitan dengan sistem APBN Indonesia sekarang maka jawabannya sudah pasti, yaitu tidak pernah akan sanggup. Kemampuan pendanaan swasta dalam negeri pun tidak sanggup untuk menanggung pendanaan sektor industri sumberdaya alam. Dengan demikian, solusinya adalah mengundang investor swasta asing.
Akan tetapi, harus diperhatikan lebih dulu bagaimana struktur APBN sekarang serta bagaimana struktur Baitul Mal dalam konsep Islam. Sumber pendapatan negara dalam APBN sekarang sebagian besar berasal dari pajak. Pendapatan negara dari eksploitasi sumberdaya alam tidak lain merupakan pembagian (sharing) keuntungan negara dari berbagai industri pertambangan. Dana belanja negara total sebesar Rp 751,2 triliun (contoh: APBN tahun 2007)12 dengan berbagai alokasinya hanya menyisakan dana jauh dari cukup untuk melakukan pendanaan berbagai industri pertambangan termasuk investasi negara pada sektor minyak bumi.
Dalam sistem Islam, negara harus mendanai semua industri milik umum. Tentunya ini memerlukan dana sangat besar. Namun, negara menerima secara penuh semua penghasilan (revenue) dari industri-industri tersebut, bukan sekadar sharing keuntungan. Jumlah ini tentunya juga sangat besar. Sebagian industri milik umum yang menanggung beban pemenuhan kebutuhan pokok umum masyarakat harus mengalami defisit “cash flow”, yaitu pengembalian dana ke anggaran negara (Baitul Mal) lebih kecil daripada pendanaan negara untuk industri tersebut. Akan tetapi, hal ini bisa ditutupi dari sektor industri milik umum lainnya yang tidak menanggung beban pemenuhan kebutuhan pokok umum. Secara keseluruhan, negara harus mengatur supaya pengelolaan keseluruhan industri milik umum mampu menghasilkan “positif cash flow”, yaitu memberikan keuntungan bersih bagi anggaran negara. Keuntungan bersih ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendanai berbagai pemenuhan kebutuhan pokok umum seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dan pembangunan sarana serta prasarana umum.
Berdasarkan uraian sebelumnya, cadangan minyak terbukti di Indonesia hanya cukup untuk rentang waktu 18 tahun ke depan, sedangkan cadangan minyak dengan data eksplorasi kurang lengkap (spekulatif) mampu diproduksi hingga 180 tahun ke depan jika laju produksi diasumsikan tetap sebesar 500 juta barel pertahun. Estimasi pertumbuhan kebutuhan energi tentunya akan memperpendek rentang ini. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Dr. Andang Widi Harto; Dosen Fakultas Teknik Nuklir UGM]
Catatan kaki:
1 “World energi resources and Consumption,” Wikipedia-the free ensiklopedia.
2 Ibid.
3 Blue Print Pengelolaan Energi Nasional Indonesia 2005-2025
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Data Warehouse, Pusat Data dan Informasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, www.esdm.go.id
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Bab III tentang Penguasaan dan Pengusahaan Pasal 6.
11 Ibid, Bab VI tentang Penerimaan Negara Pasal 31.
12 Tempo Interaktif.com – Panitia Anggaran DPR setujui RAPBN Perubahan tahun 2007.