Bantahan Terhadap Artikel Dr Syafii Maarif

Ali Ghufron Nurhasyim

Saya membaca artikel Dr Syafii Maarif di rubrik Resonansi berjudul “Nasir Abbas tentang Ali Ghufron” dalam Republika edisi 4 Maret 2008 yang menyatakan antara lain: 1. Nasir gagal menyadarkan adik iparnya agar kembali ke jalan yang benar, tidak larut dalam terorisme. 2. Sekarang hubungan Nasir dengan Ali Ghufron memburuk bahkan ucapan salam Nasir ketika membesuk di tahanan tidak dijawab. 3. Setelah Nasir ditangkap, lalu sadar, polisi menjadikannya “teman” untuk membongkar jaringan teror, di samping disuruh menyadarkan bekas anak buahnya dalam dunia hitam itu, Nasir menyatakan bahwa misinya setelah siuman adalah menghentikan kejahatan, kekerasan, dan para penyimpang. 4. Kejahatan semacam ini jelas harus ditumpas. 5. Melakukan teror di Indonesia adalah perbuatan biadab.

Bantahan, tanggapan, dan komentar saya sebagai berikut: 1. Sebenarnya saya tidak begitu berminat menanggapi, pertama karena berkenaan dengan Nasir Abbas, abang ipar alias keluarga dekat saya. Aib dia akan dinilai sebagai aib saya juga. Kedua menurut saya Dr Syafii kurang hati-hati dalam menulis dan berbicara ikut selera goyang lidah asal bunyi (asbun), termasuk dalam masalah-masalah prinsip yang menentukan nasib manusia di dunia maupun akhirat.

Masalah yang demikian urgen dan kritisnya pun dianggap sepele saja, seperti ejekan dan pelecehannya terhadap Allah, Rasul-Nya, Alquran, dan syariat Islam dengan berbagai macam ucapan kufur akbar, misalnya syariat Islam tidak selaras dengan kondisi masyarakat, Alquran tidak mampu mencegah perpecahan dan carut-marut umat Islam di Pakistan, dan sebagainya. (Baca komentar-komentarnya termasuk kata pengantarnya terhadap buku Islam Syariat tulisan Dr Haedar Nashir).

2. Pernyataan Dr Syafii bahwa Nasir pernah membesuk saya di dalam tahanan dan menyampaikan salam kepada saya dan saya tidak menjawab, ini benar-benar dusta. Selama saya ditahan sejak Desember 2002 sampai Maret 2008, mulai di Klaten hingga sekarang di LP Nusakambangan, belum pernah Nasir membesuk saya, dan belum pernah menyampaikan salam baik langsung maupun tidak langsung dan saya tidak menjawabnya. Sewaktu saya di LP Kerobokan Bali, ada seorang yang menyampaikan bahwa dia akan besuk, tapi ternyata tidak jadi, dan pernah juga Achmad Michdan (pengacara dari TPM) menyampaikan kira-kira enam bulan lalu bahwa ada seorang yang tidak dikenal mengaku dari keluarga saya menelepon atau mengirim SMS mau mendaftar untuk membesuk saya. Dugaan saya dia adalah Nasir. Saya tunggu tapi tidak datang juga.

3. Dr Syafii menyatakan Nasir telah gagal menyadarkan adik iparnya (maksudnya saya) agar kembali ke jalan yang benar. Saya tidak mengerti maksud sejati ungkapan ini. Jika maksudnya Nasir punya angan-angan ingin memengaruhi saya tapi tidak mampu melahirkannya melalui lisan maupun surat, ini mungkin ada benarnya. Tapi, jika yang dimaksud adalah menasihati saya atau menyampaikan hujjah-hujjahnya bahwa amalan jihad saya salah, sungguh dia telah berbuat dusta dan memutarbalikkan fakta, karena yang berusaha dengan sungguh-sungguh “menyadarkan” itu saya, yang saya tempuh dengan mendoakan dan menyampaikan nasihat dan peringatan dengan lisan maupun tulisan.

Sesuatu yang paling utama yang saya berusaha untuk menyadarkannya adalah tindakan pindahnya dari menjadi penumpang bus yang sopirnya orang beriman, para penumpangnya juga orang-orang yang beriman meskipun tidak luput dari kesalahan, dan aktivitasnya juga jelas antara lain berjuang fii sabilillah, ke sebuah bus yang disetir Bush atau anteknya yang mayoritas penumpangnya terdiri dari orang-orang kafir, musyrik, munafiq dan zindiq, dan fasiq dan aktivitasnya berjuang fii sabilith thaghut. Dia bukan sekadar penumpang biasa, bahkan melatih dan menunjukkan bagaimana cara menghancurkan bus yang dikendarai orang beriman sekaligus membinasakan para penumpangnya.

Dalam syariat, perbuatan ini disebut khianat terhadap Allah, Rasul-Nya, dan amanat-Nya (QS Al-Anfal 18: 27) dan jika sudah sampai membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum mukminin, maka termasuk kufur akbar yang bisa mengeluarkan pelakunya dari lingkaran Islam apabila pada dirinya tidak ada penghalang takfir (pengkafiran) misalnya karena bodoh atau terpaksa yang diakui syariat. Inilah pegangan Ahlus Sunnal wal Jamaah, golongan yang bersikap i’tidal dan wasth (seimbang dan pertengahan) yang tidak melampaui batas seperti Khawarij yang mengkafirkan setiap pelaku dosa, dan tidak mengurang-ngurangkan, cuek, dan sembrono seperti golongan murjiah khususnya ghulatnya (ekstremnya) yang tidak mengkafirkan manusia dengan perbuatan dan ucapan yang kufur akbar meskipun tidak ada penghalang pengkafiran pada dirinya.

Tentang pemahaman bahwa Bom Bali dan sebagainya bukan termasuk jihad, pendapat ini saya hargai, ini masalah khilafiyah. Perbedaan dalam masalah ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bermusuhan sesama Muslim apalagi sesama mujahid. Banyak kaum mukminin yang tidak setuju jihad dengan cara seperti Bom Kuningan tapi mereka istiqomah berada di gerbongnya, tidak melompat ke gerbong kaum mujrimin (para pendosa).

Itulah gambaran sekilas upaya saya menyadarkan Nasir yang saya lakukan semata-mata menunaikan perintah Allah Azza wa Jalla (QS Attahrim (66): 6) yaitu menyelamatkan keluarga dari api neraka. Atas semua nasihat, Nasir mengambil sikap diam sampai hari ini. Diamnya bukan karena setuju sepenuhnya, dan bukan pula karena menolak seluruhnya, dan tidak juga karena tidak mampu mengomentarinya. Dia diam mengikut dugaan saya itulah menurutnya sikap yang paling baik dan bijak, dan sikap seperti ini dia tunjukkan sejak awal mengenal saya. Dia sangat menghormati saya, dan saya pun sewaktu bergaul dengannya menghormatinya dan mencintainya.

Selama ditahan, saya baru berjumpa Nasir dua kali. Sekali ketika dia menjadi saksi kasus saya di ruang pengadilan, ini pun tidak mendapat kesempatan berjabat tangan. Kedua kalinya di Polda Metro Jaya sewaktu saya direncanakan menjadi saksi kasus Al Ustadz Abu Rusydan.

Dalam pertemuan yang kedua ini alhamdulillah kami bisa bertemu agak lama, kira-kira tiga jam lebih, karena pada saat itu dengan izin Allah tanpa saya duga sebelumnya istri saya (adik Nasir) di Jakarta untuk mengurus visa, lalu dia pun datang ke Polda bersama Zaid (anak saya), maka bertemulah kami antarkeluarga di sana (saya beserta istri dan anak, Nasir dan Syamsul Bahri biras saya atau adik ipar Nasir. Dalam perjumpaan ini tidak ada kesan masalah salam, apakah saya menjawab salam Nasir atau tidak. Pertemuan biasa-biasa saja antarkeluarga saling melepaskan rasa rindu, hanya saya sisipkan nasihat agar sabar dan istiqamah, dan ini merupakan kebiasaan saya yang sudah tidak asing lagi bagi setiap orang yang mengenali saya.

Kalau tidak salah tahun 2004, diadakan juga pertemuan yang digagas Brigjen Polisi Surya Darma. Hadir saya, Syamsul Bahri, Nasir, dan Surya Darma. Surya membuka majelis dan mengatakan ingin berdiskusi dengan saya. Saya katakan tentang apa? Dijawab tentang agama. Dengan siapa? Dijawab antara kita. Lalu saya katakan: Kalau diskusi, saya tidak bersedia, tetapi kalau Anda bertanya, insya Allah saya jawab satu per satu sesuai dengan pemahaman saya. Nasir mengikuti dari awal hingga akhir dan tidak komentar sama sekali dan tidak menunjukkan sikap tidak setuju atau menentang keterangan saya, diam seribu bahasa.

Pernah dia mengirim surat sewaktu saya disidik di Polda Bali. Isinya, antara lain, agar saya tidak terperanjat karena dia sudah berubah pikiran, bertobat, dan mengajak saya sama-sama bertobat. Perlu dicatat surat ini sebelum pertemuan dua kali yang tersebut di atas.

Surat tersebut menurut penilaian saya bukan tulus dari kemauan dan pikiran Nasir, tapi rekayasa polisi untuk memengaruhi saya dan menurunkan mental saya, sebab pembawanya adalah polisi. Setelah saya baca, diminta lagi, dan isinya persis dengan surat sebelumnya dari saudara yang lain lewat polisi yang sama. Jika Dr Syafii menjadikan surat ini sebagai pijakan kesimpulannya, maka inilah yang disebut asbun.

4. Menurut Dr Syafii, saya orang yang tidak sadar diri alias sesat dan berada di atas jalan yang batil, tidak mau kembali ke jalan yang benar, berada dalam dunia hitam, orang yang menyimpang, pelaku kejahatan dan perbuatan biadab, orang yang tidak siuman, orang yang harus ditumpas, orang yang melakukan teror karena kemiskinan, dan sebagainya.

Terima kasih atas markah (nilai, bahasa Melayu) yang Anda berikan. Saya berdoa kepada Allah Jalla Sya’nuhu Dzat Yang Maha Menghitung dan Menilai, semoga semua sikap terhadap saya itu, dijadikan-Nya perantara untuk menghapuskan dosa-dosa dan menambah pahala-pahala saya.

Risalah ini terpaksa tidak menanggapi celaan, tuduhan, dan penilaian Dr Syafii terhadap jihad dan mujahidin khususnya di Nusantara mengingat ruangannya terbatas. Saya sarankan para pembaca termasuk Dr Syafii, agar tidak asal bunyi dalam menilai, membaca Menebar Jihad Menuai Teror karya Asysyaikh Al-Ustadz Sulaiman Ibnu Walid Damanhuri. Buku ini mencoba menjawab komentar dan pertanyaan seputar ”terorisme” dalam empat kasus pengeboman (Kuta, Marriott, Kuningan, dan Jimbaran).

5. Saya juga berkewajiban dan berhak untuk menegur dan menasihati Dr Syafii Maarif, meskipun menurut dugaan kuat saya, perasaannya tidak menerima saya sebagai penasihatnya, sebab dia manusia yang hebat sedang saya hanyalah seorang teroris yang berkubang dalam dunia hitam. Nasihat saya, sebaiknya mulai sekarang menumpukan perhatian untuk mengoreksi diri, dan mengurangkan kesibukan mengoreksi orang lain, serta menghentikan sama sekali kegemaran mengoreksi ayat-ayat Allah dan syariat-Nya.

http://www.republika.co.id 

One comment

  1. Ingat sesungguhnya sesama muslim adalh saudara…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*