Politik dan Kuota Perempuan
Kancah politik bukanlah barang baru bagi para perempuan yang memiliki kesadaran politik tinggi sehingga mereka tidak ragu melangkahkan geraknya dalam mewakili serta menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Sebagaimana bunyi ayat dari surah Ali Imron 104 : ”Hendaklah diantara kalian sekelompok umat yang menyerukan kebajikan serta memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar…” Maka, sudah jelas bahwa perempuan berhak untuk berpolitik dan bergabung dalam partai politik untuk memperjuangkan aspirasi umat serta meluruskan kebijakan-kebijakan pemerintah yang zalim dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Yang menjadi pertanyaan, apakah para perempuan yang kini mulai bergerak maju dalam kancah perpolitikan
Dalam Khilafah Islam, perempuan pun berhak untuk duduk dalam Majelis Ummat yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengoreksi penguasa bila terbukti melanggar syara’ dalam pelaksanaan kebijakan serta menyampaikan aspirasi rakyat. Aktifitas politik lainnya yaitu berhak memilih khalifah (pemimpin negara). Kedudukan dalam masalah peradilan pun perempuan dibolehkan menjabat sebagai qadhi khushumat (tindak kriminal biasa) atau qadhi hisbah/muhtasib (tindak kriminal yang menyangkut hak masyarakat), sepanjang bukan urusan kriminal pada tata negara atau pemerintahan. Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab, beliau meminta Syifa binti ’Abdullah al-Makhzumiyah sebagai qadli di sebuah pasar di Madinah.
Bedanya, dalam Islam justru urusan tata negara memang perempuan tidak dibolehkan ikut berkecimpung misalnya menjadi pemimpin negara (khalifah), mu’awin tanfidz maupun tafwidh (tangan kiri dan kanannya khalifah) juga posisi hukkam lainnya (semacam pimpinan wilayah –gubernur, bupati, camat atau lurah) berdasarkan hadist ;
”Tidak akan beruntung suatu kaum manakala urusan/pemerintahan mereka diserahkan kepada seorang wanita (HR. Bukhari). ”
Namun, untuk menjadi pegawai administratif dalam suatu pemerintahan masih dibolehkan tetapi untuk konteks kekuasaan pemerintahan maka perempuan tidak memiliki hak untuk berkuasa. Bisa jadi konteks ini memicu kesimpulan bahwa Islam bias gender. Pada hakikinya, perempuan dan laki-laki di dalam Islam telah memiliki hak dan kewajiban masing-masing secara proporsional baik pada sisi kemanusiaan. Kalau pun ada pembedaan pengaturan, semata-mata karena memang fitrahnya sebagai perempuan dan laki-laki ada yang harus diatur secara khusus
Apakah kemudian bila kita tidak hidup dalam tatanan Khilafah Islam justru terlepas dari hukum – hukum Allah ? Tentu saja tidak. Hukum-hukum Islam berlaku kapan pun dan di mana pun sebelum kiamat tiba dan kalau pun tatanan negara yang kini eksis tidak berbentuk khilafah dan para perempuannya pun berjuang dalam kancah politik namun perjuangannya tidak sesuai sebagaimana aturan Islam mengatur, maka ridho siapakah yang engkau cari wahai Saudari-Saudariku ?Wallahu’alam bish shawab (Mia Endriza)
Perempuan idamanku
Perempuan idamanmu
Perempuan idamannya
adalah
Perempuan yang semangat dalam dakwah…
Panggil Ia “Sang Pembebas”
hm… ni mia yang banjarmasin ya ? Wah.. kok tulisannya bisa masuk sini ya ? ^mikir dulu ah ..^ Oh, ya tulisanmu juga ada ya di baitijannati.wordpress . Waduh, dikau melanglang buana maya melalui tulisanmu ya. Ck ck ck…
Perempuan ingin mulia dan dimuliakan? Wujudkan kehidupan Islam dalam naungan khilafah rasyidah …!
setuju sobat iman…
,Allah tidak menciptakan kaum Hawa dari tulang kepala kaum adam, karena kaum hawa tidak diciptakan u/menginjak2 kaum adam,dan Allah juga tidak menciptakan kaum Hawa dari tulang kaki adam karena kaum hawa tidak u/diinjak2 kaum adam,tetapi Allah menciptakan Kaum hawa dari tulang rusuk Adam,karena u/ menenangkan hati,bisa dilindungi dan dingayomi,
islam memuliakan perempuan!!!
Amin, Insha Allah sobat al_ikhwan1924 el samarinda ….