AS Rekayasa Kenaikan Minyak Dunia

busung-lapar.jpg

Pengantar

Harga minyak mentah dunia pernah menembus angka kritis, yakni US$100. Anehnya, harga minyak mentah dunia seolah-olah tanpa kendali sedikitpun. Padahal secara ilmu ekonomi, antara supply dan demand tidaklah mengalami perubahan yang signifikan. Lantas mengapa harga minyak mentah dunia begitu fluktuatif dan cenderung naik terus? Adakah rekayasa? Siapakah pemain sebenarnya? Benarkah AS merekayasa penentuan harga minyak dunia? Lalu apa motif di balik itu semua? Untuk menjawab pertanyaan di atas, Gus Uwik dari Redaksi al-Wa’ie secara khusus mewawancarai Bapak Ichsanuddin Noorsy dari Tim Indonesia Bangkit. Berikut petikan wawancaranya.

 Apa yang sebenarnya terjadi dengan fluktuasi harga minyak dunia?

Jika dilihat secara mendalam, berfluktuasinya harga minyak dunia dan bahkan cenderung naik tanpa kontrol sama sekali sebenarnya tidak lepas dari keberadaan AS. Harga minyak dunia memang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan AS. Dengan kata lain, gonjang-ganjing harga minyak mentah dunia sebenarnya tidak lebih dari ‘permainan’ AS dalam upayanya untuk ‘mengeruk’ keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingannya. Mengapa? Karena AS menguasai minyak dari hulu sampai hilir; bukan hanya perdagangannya saja, namun juga teknologi eksplorasi, produk derivatifnya, bahkan modal. Walhasil, kenaikan harga minyak dunia tanpa kontrol ini memang semuanya by design. Jawabannya bisa disederhanakan seperti ini.

 Apa motif AS di balik ini semua?

Menurut saya, motif AS melakukan ini semua adalah agar: Pertama, memukul pesaing ekonomi dan politiknya. Sebagaimana yang dirilis oleh NewsWeek bulan Desember  2007: (1) Situasi politik ekonomi AS sejak 2001-2007 hanya memberi keuntungan kepada UE, Jepang, RRC dan justru menjadi pemicu bagi bangkitnya perlawanan dari negara-negara musuh potensial AS seperti Venezuela, Brazil, Bolivia, Argentina, Rusia dan Iran. Negara tersebut bukan saja secara politik senantiasa ‘berseberangan’ dengan AS, tetapi juga merupakan produsen minyak besar di dunia. Jika negara-negara tersebut tumbuh ekonominya maka mereka menjadi permasalahan tersendiri bagi AS. Belum lagi Cina yang saat ini dalam pemakaian konsumsi BBM menempati nomor ke-2 terbesar. Jelas, Cina saat ini terus berkembang menjadi ‘negara adikuasa’. Kondisi ini tentu sangat tidak diinginkan oleh AS. Karena itu, dalam upayanya untuk ‘menghadang Cina’ AS merkasyasa kenaikan harga minyak dunia. (2) Adanya upaya Rusia menggeser Unipolar, yakni dunia yang senantiasa berporos pada AS semata menjadi multipolar, yakni tidak semata-mata ikut pada kepentingan AS saja. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam kasus atau rekayasa yang dilakukan oleh Rusia, di antaranya dalam kasus penempatan rudal di Polandia, pertemuan Kawasan Kaspia dan lainnya. Jelas ini mengancam eksistensi AS sebagai negara adikuasa satu-satunya setelah ‘tumbangnya’ Uni Soviet. AS tidak mau kehilangan ‘pengaruhnya’ di mata negara-negara kecil di dunia. (3) Biaya Perang Irak yang begitu besar yang harus ditanggung oleh APBN AS. Hingga saat ini Perang Irak bukannya menunjukkan tanda-tanda selesainya ‘misi’, namun justru muncul ‘frustasi’ akibat semakin berlarut-larutnya permasalahan yang ada. Jelas ini membutuhkan back up dana yang cukup besar. Belum lagi adanya bencana alam yang menerjang dalam negeri AS, seperti Badai Katrina. Tanggungan biaya akibat bencana alam mini hanya tersedia US$ 116 miliar dari total kebutuhan US$ 150 miliar. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya defisit perdagangan dengan RRC hingga mencapai (US$ 298 miliar).

Kedua, upaya perbaikan kampanye politik perang Bush. Sebagaimana yang dilansir oleh The Economist, 30 June 2007, hingga tahun 2007 belanja AS untuk kebutuhan militer tetap menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan sektor lainnya, bahkan kecenderungannya semakin naik; yakni 45,7% dari total belanja pertahanan, setelah pengelolaan minyak dan industri IT (knowledge base economy). Anggaran belanja militer yang membengkak ini merupakan akibat kampanye Bush ‘perang melawan terorisme’. Ini menyebabkan anggaran belanja negara mengalami kondisi yang timpang dan tidak sehat. Anggaran tersedot habis untuk membiayai ‘proyek perang’ Bush. Dari sinilah diperlukan fresh money yang bisa digunakan untuk memperkuat pondasi ekonomi. Tegasnya, harus ada upaya perbaikan (baca: timbal balik keuntungan) akibat ‘kampanye politik’ ini.

Ketiga, upaya perbaikan kondisi dalam negeri AS terutama dalam pelayanan publik. Adanya pernyataan Alan Green Span pada tanggal 21 Juli 2001 yang mengungkapkan masalah internal ekonomi AS, dimana sejatinya ekonomi AS berada dalam kondisi yang begitu ‘kepayahan’. Beberapa sektor pelayanan publik  mengalami tingkat kelesuan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Di antaranya dibidang asuransi sosial (social insurance), perumahan rakyat (public housing), gaji dan upah yang menurun (minimum wage and salary), asuransi kesehatan (health insurance) dan pemotongan pajak (tax cuts).

Belum lagi kegalauan dari para pengamat dan pejabat publik terhadap perekonomian AS yang akhir-akhir ini berada dalam fase yang ‘mengkhawatirkan’. Sebut saja pernyataan Joseph E Stiglitz (6 Oktober 2004) yang menyatakan bahwa dalam empat tahun pemerintahan AS, Bush telah gagal mengatasi masalah ekonomi yang senantiasa ‘merundung’ AS. Fakta menunjukkan bahwa angka pengangguran mencapai 5%, inflasi 1%, pertumbuhan di bawah 2,5% dan diperparah lagi dengan adanya perdagangan dengan RRC yang kian lama kian mengalami defisit.

Walhasil, ekonomi AS terancam resesi. Kondisi ini kian lama kian berkembang. Akibatnya, Januari 2006, ekonomi dunia melemah mengalami kelesuan. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai tonggak dekade keserakahan. 

Nah…inilah kondisi sebenarnya yang terjadi di AS. Jadi, AS sebenarnya berada dalam kondisi krisis. Selain pondasi ekonominya mengalami keguncangan, AS juga mendapat ‘ancaman’ dari negara-negara penghasil minyak besar dunia. Jika dibiarkan maka kehancuran AS adalah sebuah keniscayaan. Ini tentu tidak boleh terjadi berlarut-larut. Karena itu, AS berupaya mengatasinya. Salah satunya dengan ‘mempermainkan’ harga minyak dunia.

 Lalu bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?

Dalam dunia kapitalis, atau dalam ekonomi global dalam bahasa netralnya, Indonesia ini sebagai ‘ekor’. Ketika kepalanya terlibas maka ekornya pun akan ‘terlibas’. Bahkan lebih panjang lagi dampaknya. Kita bisa melihat, sekarang hampir semua sektor industri Indonesia terpuruk, kan? Sekarang sektor perumahan sudah terkena, kedelai sudah kena imbasnya, harga mie instan sudah naik 30% di pasar, belum yang lain. Ya…habis-habisan. Jadi, tidak bisa dikatakan apakah kena dampak atau tidak? Semuanya sudah kena dampaknya.

 Tegasnya semua sektor terimbas?

Pasti. Jadi, imbas yang paling buruk adalah imported inflation itu, yakni sarana Amerika meningkatkan biaya produksi minyak di satu sisi, tetapi di sisi lain memukul harga jualnya. Dengan kata lain, AS berusaha memperbaiki posisi harga jualnya. Dalam konteks Indonesia, AS dan sekutunya mendesakkan agar Indonesia memberlakukan secara bebas ‘pasar bebas’ migas. Artinya, produk migas asing dengan berbagai macam derivative-nya bisa keluar-masuk dengan bebas  ke pasar Indonesia; bukan hanya bidang tataniaga perdagangan migas saja namun juga termasuk eksplorasi, eksplotasi hingga pemasarannya. Kita bisa mengerti jika kemudian asing berusaha mendesakkan (dan berhasil) mengajukan penghapusan subsidi terhadap migas sebagaimana tertuang dalam Perpres 7/05 RPJMN. Dengan kondisi ini, tidak aneh jika akhirnya terjadi liberalisasi seluruh sektor migas.

 

Berapa sebetulnya jumlah produksi real minyak Indonesia?

Sebenarnya tingkat kebutuhan minyak Indonesia adalah 1.450 barel perhari. Namun, kondisi lifting (tren produksi) baru mencapai 910 barel perhari. Jelas ada kekurangan antara 500–540 barel perhari. Ini di dapat dari mana? Ya dari impor. Inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi negara net imported migas.

 Apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia? Tatkala harga minyak dunia naik, kok kita tidak mendapatkan keuntungan? Yang digembar-gemborkan justru kerugian?

Inilah kondisi ironisnya. Hampir sebagian besar perusahaan yang mengeksplorasi minyak Indonesia pemainnya adalah asing. Akibatnya, seluruh keuntungan lari keluar negeri. Ditambah lagi Pemerintah Indonesia mempunyai posisi tawar yang sangat rendah dalam negosiasi bagi hasil kontrak karya. Walau kelihatan tidak dirugikan, yakni dengan nisbah bagi hasil 55:45 atau 60:40, Pemerintah Indonesia sejatinya sangat dirugikan. Kita bisa melihat, dalam setiap kontrak karya, Pemerintah Indonesia harus menanggung cost recovery. Intinya, segala macam biaya yang tercakup dalam produksi minyak menjadi tanggungan Pemerintah Indonesia. Inilah celah yang bisa dimainkan oleh asing. Seluruh biaya produksi yang seharusnya menjadi tanggung jawab operator akhirnya terbebankan kepada Pemerintah Indonesia. Walhasil, hasil akhir bagi hasil keuntungan sangatlah kecil daripada apa yang diharapkan.

Belum lagi dalam pengukuran dan penjualan CO sering terjadi kecurangan dalam alat ukur yang dilakukan oleh para operator asing. Ditambah dengan perilaku mereka yang memang rakus, bernafsu untuk mengeksploitasi sebanyak-banyaknya tanpa memandang dampak lingkungan, dan lain sebagainya. Penyimpangan dalam eksplorasi dan pendistribusian hasil produk juga menjadi permasalahan tersendiri. Kondisi ini juga turut andil dalam mengurangi ‘margin keuntungan’ yang seharusnya didapat oleh Pemerintah Indonesia.

Inilah ‘bodohnya’ Pemerintah. Kok mau dicengkeram seperti itu…

 Solusinya?

Menurut saya, solusi bagi Indonesia agar bisa ‘menangguk keuntungan’ atas permainan AS ini tidak lain dan tidak bukan harus dilakukan secara sistemik. Menurut saya, hal-hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah: (1) merenegosiasi kontrak. Jika memang diputus, ya diputus saja kemudian diserahkan pada BUMN kita sendiri. Namun, jika tidak bisa maka direnegosiasi lagi dalam bagi hasil serta tanggung jawab cost recovery-nya; didudukkan pada beban tanggung jawab dan bagi hasil keuntungan secara proporsional. Seharusnya Pemerintah Indonesia harus lebih untung dari operator asing. (2) Sekuritas kontrak. (3) Insentif produksi. (4) Revitalisasi kilang. (5) Investasi baru pada penemuan sumur-sumur, kilang-kilang pengolah minyak mentah serta gudang penyimpanan. (6) Konversi energi dari powerplant dan transportasi publik. (7) Mencegah dan menghentikan secara total eMining (pencurian migas). (8) batasi kepemilikan mobil. (9) Relokasi dan redistribusi APBN. (10) Sebarkan pembangunan hingga kepelosok negeri, (11) Berhenti berutang dan jadwal ulang kembali utang-utang luar negeri yang sudah terlanjur terjadi. (12) Ubah haluan ekonomi dari mekanisme pasar ke ekonomi konstitusi.

 

15 comments

  1. Jafar Abu Tama Al malangi

    Ada yg terlupakan dari Akhi Ichsanuddin……
    Solusi no.13 dan yg terakhir…

    Ganti dengan Syari’at Islam dan Tegakkan Dawlah Khilafah Islam.

    Salam.

  2. Gantikan sistem kapitalistik yg jelas mencekik berbagai sendi kehidupan dengan sistem ISLAM yang telah terbukti 1400 tahun lamanya!!!,MARI KITA BERSAMA-SAMA PERJUANGKAN UNTUK MENEGAKAN KEMBALI DAULAH KHILAFAH ISLAMIYAH MANHAJ NUBUWAH demi terciptanya kesejahteraan di DUNIA & AKHIRAT!!!

  3. Abdul_Hamid_Riau

    Selama kebijakan ekonomi Indonesia masih berhaluan kapitalistik yg kebijakannya ditentukan oleh Mafia Berkley si kaki tangan IMF dan kelompok2 konglomerasi lainnya, kita bakal disetir dan dijajah terus oleh barat. Ini seperti bola salju yg meluncur deras dari puncak gunung, terus menggelinding semakin besar ! Revolt is just a matter of time. Allahu akbar!

  4. iman ti bandung

    Pak Ichsan : “…Inilah ‘bodohnya’ Pemerintah. Kok mau dicengkeram seperti itu…”

    Pernyataan yang benar2 menggigit…

  5. Di tengah sistem kehidupan yang tegak di atas dasar akidah kufur sekularisme, akidah kaum kuffar Yahudi, Nasrani, Liberalis, Sekularis, Pluralis… sistem kufur yang mengkondisikan kemaksiatan, kedzaliman yang sangat besar…
    يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي اْلقَوْمَ الَّظالِمِيْنَ

    “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51)

  6. Satria Revolusi

    Dari dahulu sampai kapan pun juga,,, Amerika dan sistem ekonomi kapitalis (keparat), tidak akan pernah merasa puas untuk menghisap darah negeri-negeri kaum muslim. Dengan berbagai cara keji mereka terus menancapkan kuku tajamnya demi kepentingan mereka sendiri.

    So… Masihkah kita berharap pada Amerika dan sistem ekonomi penjajahnya…
    Hanya Islam yang bisa menyelesaikan semuanya, hanya Islam yang bisa memanusiakan manusia. Tentunya hal tersebut hanya akan terwujud jika islam diterapkan secara komprehensif dalam naungan Khilafah Islamiyah…

  7. Deep thinkin

    Yang menjadi masalah adalah orang2 miskin tidak tahu mereka sedang diperah, dan terus2-an dibodohi. Semoga orang2 miskin tsbt segera sadar kemudian mengambil senjata melawan kezaliman. Dan berpuasa sunah adalah senjata ampuhnya(karena mereka adalah orang2 tak berdaya,iya ‘kan?), kemudian berdo’a, memohon agar penguasa zalim segera menerima akibat perbuatannya.

  8. saya hanya mau menambahkan, kemarin pagi waktu eropa barat, harga minyak sudah menembus $120/barel & sebentar lagi menyentuh $130 cenderung bergerak terus ke $150/barel !!!!!!
    sebuah rekor yg tak terkira, sepanjang sejarah dunia

    kita tinggal menunggu apa dampak berikutnya ke indonesia???
    kayaknya kenaikan bbm jilid satu bakal udah basi, karena rakyat indonesia bakal berdebar menanti kenaikan bbm jilid dua dlm thn ini juga!!!!!!!!

  9. negara kita ini memang sedang menderita sakit berkepanjangan tak berujung,hingga rakyatpun tak bisa lagi berdiri untuk melawan penyakit kolektif itu, tapi lebih parah lagi para pemakai dasi negri ini yang dimana sebagai pondasi rakyat dlm mengambil kebijakan malah pura2 tidak ngerti dgn realitas yg ada (KEHANCURAN SISTEMATIS SEBUAH NEGARA)…….

  10. Bagaimana caranya Amerika memainkan minyak dunia? Kabarnya negara OPEC menolak menaikkan produksi minyak supaya harga menjadi turun, negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEC menikmati kenaikan minyak dunia.

  11. أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

    Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik (sistem hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

    «اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ»

    Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia membebani mereka, maka bebanilah dia! (HR Muslim dan Ahmad).

  12. Amerika yang sedang terkena supreme mortage yang menyebabkan goncangan ekonominya dan hal inipun berimbas pada pertumbuhan ekonomi dunia dan juga mengakibatkan kerugian besar perusahaan2 keuangan seperti citibank, Merrill Lynch, dsb. Dengan kondisi yang terpuruk begitu kenapa AS masih bisa mempermainkan dunia, bagaimana sebenarnya antisipasi kita sebagai ummat Islam menghadapi itu semua?
    Di salah satu sisi beberapa negara OKI yang menjadi produsen minyak menikmati limpahan booming harga dengan pembangunan yang luar biasa bahkan mungkin terlalu bermegah2an, di sisi lain saudara kita di Irak, Palestina, Afghan terpuruk diperangi dan dihancurkan, hal ini sangat ironis.
    Trus bagaimana peran OKI atau lembaga2 semisal agar kerjasama ekonomi antar anggotanya terjalin dalam rangka melaksanakan perintah Allah : Ta’awanu ‘alal birri wattaqwa “tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa”.

    Akibat kenaikan ini tentunya juga ditanggung banyak negara-negara OKI yang lemah secara ekonomi terkena dampaknya ini, apakah menggerakkan saudara-saudara kita yang memiliki minyak berlimpah di Timur Tengah (Para Emir-emir dan Raja-raja Arab)sana untuk sedikit membantu mensubsidi kekurangan minyak Indonesia khususnya agar tidak terjadi gejolak ekonomi yang besar tentunya dengan pola kerjasama yang saling menguntungkan. Atau adakah lembaga semacam Rabitah al-Alam al-lslami atau mungkin yang lain, yang mau menggerakkan hati para pemimpin Arab agar mau saling berbagi dan menolong saudara muslimnya khususnya di Indonesia?

    Ataukah kita ini sedang menjadi ummat akhir zaman yang seperti buih, banyak tapi hanya bisa diatur dan diombang-ambingkan saja, semoga saja tidak.

    UMMAT ISLAM BERSATULAH

  13. hancurlah Amerika, hancurlah kapitalis, kehancuran Amerika kapitalis di depan mata, SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARIAH, TERAPKAN KHILAFAH, ALLAHU AKBAR.

  14. Ucok Sihaloho

    tulisan berikut ini mungkin bisa jadi analisis menarik bagi para politikus. dicuplik dari : http://www.usnews.com/blogs/capital-commerce/2008/5/7/can-the-economy-survive-200-a-barrel-oil.html

    Can the Economy Survive $200-a-Barrel Oil?
    May 07, 2008 02:28 PM ET | James Pethokoukis | Permanent Link

    It’s an economic experiment I would rather not take part in: seeing how $200-a-barrel oil would affect the U.S. and global economy. “The possibility of $150-$200 per barrel seems increasingly likely over the next six-24 months, though predicting the ultimate peak in oil prices as well as the remaining duration of the upcycle remains a major uncertainty” is what Goldman Sachs economist Arjun Murti wrote earlier this week. (Note that Murti blames the weak dollar for a good part of the continuing rise in oil prices.)

    Murti is hardly alone in such seemingly spectacular speculation. Analysts at Deutsche Bank and CIBC World Markets, investor Jimmy Rogers, and the current president of OPEC have all made such forecasts.

    And what would such a price rise do to the economy? Market strategist Ed Yardeni thinks he has a pretty good idea (bold is mine):

    A super-super spike would most likely put a stake in the heart of global economic growth. A global economic downturn would be the most likely outcome, led by a longer and deeper recession in the US. Then again, in this scenario, the price of oil would probably fall rapidly and sharply back down to $100 a barrel, or even lower, as demand weakened. Wouldn’t the drop in oil prices then revive economic growth? Normally, it would, but if the super-super spike occurs, the resulting longer and deeper recession could trigger the dreaded “negative feedback loop” from the credit crisis.

    My take: In addition to the economic impact, I think you would see political opposition to increased oil drilling and nuclear power—necessary to create a “hydrogen economy”—get a real beat-down from public opinion. Do Americans really want to spend a $1 trillion a year on gasoline?

  15. Sayangnya informasi seperti ini hanya diketahui sedikit orang saja. Mayoritas ummat Islam Indonesia sudah tercekoki dengan berita-berita yang berkiblat memuja kaum kapitalis. Seperti apa sepak terjang mereka, konspirasi mereka, keserakahan mereka yang menghisap habis sumber kekayaan alam Indonesia tidak pernah dibahas diangkat ke permukaan.

    Saudara-saudaraku, sebagus apapun konsep, sebagus apapun analisa, seluhur apapun cita-cita… hanya akan jadi selembar kertas usang, lusuh kemudian lembab dan lapuk.
    Menjadi ide yang menguap di udara dan tersapu angin.

    Jika tidak ingin hal tersebut terjadi, maka AYO SEBARKAN ! Sampaikan informasi-informasi berharga ini SELUAS MUNGKIN. Tidak hanya sesama netters tapi juga tetangga, sanak saudara siapapun yang kita temui di jalan. DAKWAH adalah KEWAJIBAN TIAP MUSLIM apapun profesinya.

    AYO KUASAI OPINI PUBLIK! S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*