HTI Tawarkan Solusi Agar Indonesia Kuat dan Daerah Sejahtera

Peringati 100 tahun Kebangkitan Indonesia

Setelah 100 tahun kebangkitan Indonesia, negeri ini ekonominya masih terpuruk dan terjajah. Untuk bisa keluar dari kondisi tersebut, Anggota Tim Indonesia Bangkit Dr Hendri Saparini menyatakan harus ada perubahan UU dan Kebijakan, serta upaya memperbaiki hubungan Indonesia dengan IMF. Sedangkan Ketua Lajnah Politik Hizbut Tahrir Indonesia M Rahmat Kurnia menawarkan sebuah solusi lain yang sangat memungkinkan Indonesia menjadi negara besar, kuat dan bebas dari penjajahan.

Masalah dan tawaran solusi terkait dengan kondisi ekonomi Indonesia tersebut mengemuka dalam Diskusi Panel Indonesia Menuju Kebangkitan Hakiki yang diadakan HTI Kabupaten Bogor, 11 Mei 2008 di Gd Serbaguna II Pemda Kabupaten Bogor.

Dalam kesempatan itu, Hendri Saparini yang menjadi pembicara pertama mengungkapkan data-data bahwa kondisi ekonomi Indonesia pasca 100 tahun kebangkitan nasional dalam kondisi yang sangat memprihatikan. Telah terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial yang lebar, baik antar penduduk, antar wilayah maupun antara perusahaan asing dan nasional. “Sekelompok kecil individu menguasai sebagian besar kue ekonomi nasional, yakni 150 orang terkaya Indonesia mengusai aset lebih dari Rp 400 triliun atau setengah anggaran pembangunan pemerintah,” tambahnya.

Bahkan lanjutnya tingkat kesejahteraan rakyat jauh tertinggal dibanding dengan negara Asia lainnya yang tidak memiliki sumberdaya. Pada tahun 1960-an GNP (Gross National Product) per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, China nyaris sama yakni kurang dari 100 dolar per kapita. Negara-negara Asia tersebut memulai industrialisasi pada waktu yang hampir bersamaan, tapi pada tahun 2004, GNP per kapita negara-negara tersebut sangat berbeda: Indonesia sekitar 1.000 dolar, Malaysia 4.520 dolar, Korea Selatan 14 ribu dolar, Thailand 2.490 dolar, Taiwan 14.590 dolar dan China 1.500 dolar AS.

Selanjutnya Saparini mengemukakan struktur industri manufaktur Indonesia pun rapuh, karena tergantung pada bahan impor yang tinggi. Hal itu antara lain terjadi pada industri tekstil, sepatu dan lain-lain. Daya saing industri Indonesia merosot, terjadi percepatan deindustrialisasi, pasar domestik dibanjiri produk impor bernilai tambah dan berteknologi rendah.

Bahkan, kepemilikan asing di instrumen finansial Indonesia meningkat tajam bila pada Desember 2006 senilai 595.3 triliun pada November 2007 menjadi 891,8 triliun rupiah, porsi asing pada tahun 2007 33,3 persen.

Juga telah terjadi penguasaan berbagai sektor strategis oleh asing yakni di: industri migas, tambang, keuangan dan perbankan. Sumur-sumur minyak sudah milik asing. Pemerintah sangat tinggi bergantung pada pembiayaan luar negeri. Jadi pembiayaan pembangunan sumbernya adalah dari: hutang, privatisasi BUMN dan pajak (targetnya tahun ini Rp 560 triliun).

Penyebab Keterpurukan

Setidaknya ada tiga penyebab yang disebut Hendri Saparini yang menjadikan ekonomi Indonesia terpuruk dan memprihatinkan. Pertama, karena tanggung jawab pemerintah untuk melindungi dan mensejahterkan rakyat semakin berkurang. Hal itu terjadi karena ada kampanye negara negara maju tentang neo-liberalisme yang ingin diterapkan ke negara-negara berkembang. Misalnya dalam pengelolaan minyak tidak perlu lagi dimiliki oleh negara, tetapi oleh swasta. Subsidi pun terus dikurangi.

Kedua, kebijakan ekonomi sekedar menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing bukan kepentingan nasional. Hutang yang diberikan lembaga-lembaga dunia ada persyaratan. Contoh pada tahun 2005, boleh hutang tetapi harga BBM harus dinaikkan. Pertanian harus dibuka seluas-luasnya untuk impor.

Ketiga, strategi dan kebijakan ekonomi dibiarkan disandera oleh lembaga multilateral (Washington Consensus Lewat utang luar negeri), korporasi raksasa (lewat investasi, berbagai isuue antara lain HAM, lingkungan dll). Dan, dari dalam negeri ada yang mendukung kebijakan pemerintah ini yakni para komprador. Komprador ini menyiapkan UU dan kebijakan yang seolah-olah kehendah barat menjadi legal.

Sementara pembicara lain, Maman Kh, Pengamat Sejarah Islam dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan keterpurukan ekonomi Indonesia tersebut tidak lepas dari dimarginalisasinya peran umat Islam dan Islam dari negara. Marginalisasi peran ini sudah terjadi sejak Jaman Penjajahan Hindia Belanda. Belanda telah melahirkan priyayi profesional (intelektual) yang anti Islam. “Priyayi profesional itu adalah kaum nasionalis sekular yang cenderung anti Islam. Dan merekalah yang banyak menduduki kekuasaan penting di pemerintahan,” tambahnya.

Tidak Ideologis

Sedangkan Ketua Lajnah Siyasah HTI M Rahmat Kurnia mengatakan keterpurukan dan keterjajahan Indonesia terjadi karena Indonesia negara yang tidak ditegakkan berdasarkan Ideologi. “Indonesia menyatakan bukan negara sekular, tapi juga bukan negara agama (Islam). Jadi wajar tidak bangkit-bangkit, karena landasan kebangkitannya tidak ideologis. Hanya setengah-setengah,” ujarnya.

Direktur Pusat Kajian Politik HTI itu menjelaskan Barat menjadi bangkit dan maju karena membangun negaranya atas dasar ideologi sekularisme-liberalisme. Ideologi ini lahir karena sejarah Barat. “Seakan-akan sejarah Barat kemudian dijadikan menjadi sejarah Dunia, dan seluruh dunia harus mengikuti ideologi sekular-liberalisme,” katanya.

Padahal, dunia Islam dan umat Islam memiliki sejarah tersendiri. “Sejarah Islam menunjukkan, muslim bangkit justru ketika terikat menyembah Allah dan pada hukum-hukumNya, itu terjadi sejak jaman Nabi SAW sampai abad pertengahan, tetapi sejak abad 20, Islam mulai tidak diterapkan sehingga mengalami keterpurukan,” tambahnya.

Dia menambahkan meski ideologi sekular-liberalisme dan Islam Ideologi sama-sama bisa membangkitkan, tetapi hasil akhirnya sangat berbeda. “Kalau kebangkitan yang dihasilkan ideologi Barat itu bersifat semu, sedangkan kebangkitan dari ideologi Islam bersifat hakiki,” tambah Rahmat Kurnia.

Selanjutnya Direktur Pusat Kajian Politik HTI itu memaparkan fakta-fakta semunya kebangkitan yang dihasilkan Barat. Pertama, antar negara yang menerapkan ideologi ini : AS, Inggris, Perancis dan negera-negara eropa lainnya tetap saja terpecah, persatuan terjadi ketika hanya menghadapi Islam. Kedua, ekonominya: untuk memakmurkan rakyat dilakukan dengan penjajahan dan pengerukan kekayaan negara lain. Ketiga, sosialnya: rusak banyak gadis berangan-angan menjadi model seks (85 persen, di AS) dan angka perkosaan meningkat/ tinggi (1.872 per hari di AS). Keempat, kemajuan sain dan teknologinya untuk melayani idelogi liberalisme (seks bebas, pengerukan negara lain, memata-matai negara lain dan menakut-nakuti negara lain).

Sebaliknya dia mengatakan kebangkitan yang berdasar pada ideologi Islam adalah kebangkitan hakiki, yakni didasarkan pada mabda yang benar (akidah dan aturan/ syariat Islam. Politik Islam: dalam sejarahnya menyatukan berbagai suku mulai dari andalusia hingga asia. Ekonominya: menjamin kebutuhan pokok setiap penduduk. Sosialnya: menjaga ikatan pernikahan, melarang pergaulan bebas, sehingga keluarga menjadi tenang, tentram dan penuh kasih sayang. Kemajuan sain serta teknologinya: untuk mewujudkan masyarakat yang baik dan memudahkan proses ketaatan kepada Allah.

Solusi

Sebagai solusi agar ekonomi Indonesia bangkit menurut Hendri Saparini UU dan kebijakan yang ada harus diperbaiki. Demikian pula hubungan dengan IMF dan lembaga multilateral lainnya.

“Selain itu harus ada kesepakatan kita tentang ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi. Saat ini hal itu didasarkan pada tercapainya indikator antara sesuai ukuran-ukuran global yang digunakan oleh lembaga multilateral seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dll, bukan kesejahteraan Individu,” katanya.

Saparini mencontohkan, ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah sekarang adalah tercapainya indikator makro tumbuh 7 persen, tidak perduli jumlah yang makan nasi aking bertambah. “Kalau ingin bangkit maka kita perlu membuat indikator sendiri,” tambahnya.

Berikutnya, menurut Anggota Tim Indonesia Bangkit ini perlu ada kesepakatan negara dalam memenuhi hak dasar masyarakat yakni pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, serta cara pemenuhannya. Saat ini, masyarakat harus pilih salah satu. Bila beras yang murah maka BBM-nya mahal. Harus ada switching. Subsidi seolah-olah tidak boleh diberikan. Negeri ini inginnya sesedikit mungkin memberikan subsidi masyarakat.

Padahal menurutnya di Eropa, AS subsidi mereka kepada rakyatnya semakin tinggi sampai sekitar 40-50 persen. “Indonesia semakin lama subsidinya diturunkan dan tinggal hanya 9 persen. Ini semua harus dirubah.” tandasnya. Juga, perlu kesepakatan tentang jalan menuju kemandirian ekonomi, yakni cara pembiayaan, penguasaan sektor strategis, dll.

Sedangkan Maman Kh menilai solusi untuk mengatasi keterpurukan ekonomi nasional adalah melakukan proses desekulerisasi, mengembalikan peran umat Islam dan Islam pada pemerintahan dan pembangunan.

Solusi yang serupa tetapi dengan bahasa lain ditawarkan oleh M Rahmat Kurnia Ketua Lajnah Siyasah HTI. Solusinya adalah Indonesia harus menjadi negara kuat, besar dan bepengaruh di dunia serta bisa mensejahterakan daerah. “HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menghendaki kebangkitan yang hakiki, yang Indonesia bisa lepas dari cenkeraman dan penjajahan asing,” tambahnya.

Hal itu bisa dicapai bila Indonesia melandaskan kebangkitannya pada ideologi. “Dan Ideologinya haruslah Islam, sebab kita ingin kebangkitan yang hakiki,” katanya.

Hanya saja upaya itu akan dihadang oleh tantangan yang tidak ringan, yakni adanya globalisasi yang menarik kita ke pusaran global dunia dan adanya desentralisasi bila tidak tersejahterakan akan mengarah ke disintegrasi.

Untuk bisa keluar dari tantangan tersebut lanjut Rahmat Kurnia, HTI akan dan terus berperan dalam membangkitkan umat yakni meningkatkan tarif berfikir hingga masyarakat sadar dan bergerak bersama menunju kebangkitan yang hakiki yakni berdasarkan akidah dan syariat Islam.Dengan kata lain peran utama HTI adalah terletak pada bidang pemikiran/intelektulitas dan siyasiyah (politik/pengurusan urusan umat).

“Dengan demikian berarti bahwa HTI berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan dan keterjajahan serta berusaha menjadikan Indonesia negara besar dan kuat yang mampu menyatukan dunia Islam dalam kehilafahan,” tandasnya. **

[Ahmad Soim – LS DPD HTI Kabupaten Bogor]

3 comments

  1. ummu rasikhah

    Shohih…

    Jangan jadikan negeri ini, negeri YANG BUKAN – BUKAN.

    Negara Sekuler, katanya tidak..
    Negara Islam,juga bukan…
    So… kali aja yang dimaksud Daulah Khilafah Islamiyah
    Bukan Begitu Bu MegaKarti?

  2. dukung solusi atas keterpurukan indonesia dengan menerapkan syariat islam dan khilafah menuju kebangkitan indonesia.

  3. zian aashita

    Telah jelas kebobrokan sistim kapitalis!
    mau apa lagi ? mau kemana lagi? jika tidak kembali pada Islam! satu2nya solousi menuju kebangkitan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*