Dalam era komunikasi seperti saat ini, media massa cetak maupun elektronik memegang peran sangat penting. Ada yang sampai mengatakan media massa ibarat angkatan kelima setelah angkatan darat, laut, udara dan kepolisian. Meski tanpa senjata, dengan ketajaman penanya media massa bisa melakukan perubahan besar—lebih besar daripada yang mungkin bisa dilakukan oleh kekuatan militer—melalui kemampuan mempengaruhi khalayak.
Dalam konteks dakwah, peran media juga sangat besar. Melalui media cetak maupun elektronik, sekian banyak pemikiran, pemahaman, keyakinan dan gaya hidup tersebar ke tengah masyarakat nyaris tanpa henti. Namun, ibarat pisau, media massa adalah pisau bermata dua. Bagus jika itu semua islami. Menjadi soal besar jika sebaliknya. Bukan ketaatan yang disebarkan tetapi kemaksiatan. Bukan keimanan tetapi malah kekafiran. Bukan sikap percaya tetapi justru keraguan. Bukan rasa suka tetapi justru kebencian. Bukan kedamaian tetapi rasa takut.
The Jakarta Post adalah contoh dari koran yang dalam penulisannya mengandung banyak sekali bias, bahkan cenderung melakukan pendiskreditan pada Islam, khususnya terhadap gagasan syariah dan Khilafah; semacam “shariato phobia”. Lihatlah, untuk menyebut organisasi-organisasi massa Islam seperti HTI berulang-ulang koran ini menggunakan istilah radical atau hard liner (garis keras). Misalnya, dalam berita mengenai demo besar menuntut pembubaran Ahmadiyah berjudul Thousands demand Ahmadiyah disband edisi 21 April 2008, The Jakarta Post menulis: The demonstrators, from several hard-line groups such as the Islam Defenders Front (FPI) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Hard-liner (garis keras) adalah istilah pejoratif; sudah mengandung pengertian atau konotasi buruk dan merendahkan. Kelompok-kelompok semacam itu adalah kelompok yang cenderung anarkis, anti dialog, tidak toleran, tidak intelek dan tidak mungkin membawa kebaikan. Dengan menyebut HTI sebagai hard-liner, juga istilah radical atau fundamentalist, The Jakarta Post ingin membawa pembacanya pada penilaian yang buruk dan kurang bersahabat terhadap HTI.
Bukan hanya dalam penulisan berita, The Jakarta Post juga banyak sekali memberikan ruang bagi artikel opini yang mudah sekali menimbulkan persepsi yang salah, keraguan bahkan kebencian dan sangka buruk serta phobia. Misalnya artikel berjudul “Bottom of FormOnly democracy, Not Caliphate, Unites Muslims” pada 10 Agustus 2007. Ditulis oleh Mohammad Yazid, artikel ini memprovokasi pembaca dengan pernyataan bahwa ide Khilafah justru akan mendorong terjadinya separatisme. Katanya: The Khilafah Islamiyah concept, which is expected to be able to reunite Muslims, may instead further encourage separatism.
Sama dengan Mohammad Yazid, Abdul Kadir Riyadi dalam artikel Political Islam No Way pada 27 Juni 2007 juga menyebut pemaksaan syariah kepada masyarakat dengan agama dan kultur yang beragam sangat berbahaya—tanpa menjelaskan di mana letak bahayanya.
Artikel yang tampaknya dibuat menyongsong Konferensi Khilafah Internasional 2007 itu tanpa tedeng aling-aling mengajak pembaca untuk mewaspadai agenda “tersembunyi” di balik KKI. Dengan tegas dia mendorong pembaca untuk menolak jika hasil KKI endanger the nation (membahayakan negara)—seolah-olah dalam konferensi itu bakal terjadi sesuatu yang sangat gawat. Bahkan dia membuat asumsi yang sangat menyesatkan, bahwa seandainya HTI berkuasa, ia pasti akan menerapkan sistem politik yang sama dengan yang diterapkan di negara-negara Arab yang dicirikan dengan banyaknya kekerasan. Selanjutnya ia mengambil kesimpulan serampangan, bahwa politik Islam bukanlah jawaban dan tidak relevan. Karena itu, gagasan semacam ini tidak ada tempat di negeri yang menghormati keragaman dan toleransi—seolah politik Islam itu tidak menghormati keragaman dan intoleran.
Artikel yang ditulis oleh Muhammad Nafik pada 21 Agustus 2007 kiranya paling provokatif dan ngawur. Ia menulis dengan judul “Caliphate Campaign Puts National Unity at Risk (Kampanye Khilafah Menempatkan Kesatuan Nasional dalam Ancaman).” Tanpa ragu dia mengatakan, “A serious threat to national integration is also emerging now from Islamist groups (Ancaman serius terhadap integrasi nasional sekarang juga datang dari kelompok-kelompok Islam). Dalam hal ini, termasuk Hizbut Tahrir
Karena itu, Nafik mengajak untuk menolak usaha penerapan syariah oleh negara, karena hal ini akan mendorong terjadinya disintegrasi. Dengan nada adu domba, Nafik kemudian menulis bahwa pernyataan Presiden SBY tentang empat pilar negara—Pancasila, UUD 45, NKRI dan pluralisme adalah final dan tidak dapat ditawar-tawar lagi—menjadi kabur dan kehilangan bobot karena Presiden gagal menegaskan posisinya dalam menghadapi gerakan-gerakan Islam yang menawarkan ideologi sektarian untuk menggantikan Pancasila dan demokrasi. Kemudian Nafik mendorong Pemerintah untuk melawan ide syariah. Katanya, “What the government should do is to join hands with the moderate Muslim groups to perpetually counter the campaign with concrete action to oppose such an anti-pluralist idea.
Kritik Konstruktif
Menyimak pola penulisan dan posisi koran The Jakarta Post yang tampak sangat anti Islam, khususnya terhadap ide syariah dan Khilafah, akhirnya DPP HTI mengambil keputusan untuk menemui redaksi koran itu. Langkah itu semakin kuat terutama setelah terbit artikel yang sangat provokatif berjudul „Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir” yang ditulis oleh Bramantyo Prijosusilo pada 16 April 2008. Dalam tulisannya, Bramantyo mencoba membandingkan antara Ahmadiyah dan Hizbut Tahrir (
Setelah membuat perbandingan antara Ahmadiyah dan HTI, Bram lantas secara semena-mena mengajukan pertanyaan retorik, “Mana yang lebih berbahaya bagi negeri ini?” Kita tentu saja bisa menduga arah pertanyaan ini, yakni ingin menggiring pembaca pada kesimpulan bahwa HT sesungguhnya lebih berbahaya daripada Ahmadiyah. Oleh karena itu, simpul Bram lebih jauh kira-kira, kalau Ahmadiyah dilarang, mestinya organisasi yang lebih berbahaya itu juga harus lebih dulu dilarang.
Dialog antara DPP HTI dan redaksi The Jakarta Post berlangsung di gedung baru koran yang berdiri 25 tahun lalu itu di kawasan Palmerah, Slipi,
Dialog berlangsung dengan sangat terbuka, akrab dan hangat; kadang meningkat panas. Namun, suasana dialog yang konstruktif tetap terjaga. Dalam kesempatan itu, Jubir HTI menjelaskan visi dan misi HT serta apa yang dimaksud dengan syariah dan Khilafah; tentu saja juga menyampaikan kritik tajamnya kepada redaksi The Jakarta Post yang banyak memuat artikel yang sangat provokatif, bias dan mendiskreditkan Islam, terutama ide syariah dan Khilafah, termasuk penggunaan sebutan hard-liner, radical dan fundamentalist. Jubir HTI meminta sebutan semacam itu jangan lagi digunakan. Disarankan, sebut saja nama organisasinya tanpa embel-embel radikal dan lainya.
Ketika membahas mengenai syariah dan Khilafah diskusi meningkat panas. Tentu saja tidak tercapai kata sepakat. Namun, dari diskusi itu kita menjadi semakin mengerti apa yang dipersoalkan dari gagasan-gagasan mulia itu. Mengapa, dasarnya apa dan termasuk bagaimana mereka memahami ide itu dalam konteks Indonesia.
Endy Bayuni sebagai pemimpin redaksi menyambut kedatangan DPP HTI dengan senang dan menghargai cara HTI dalam merespon penulisan The Jakarta Post, yakni dengan dialog. Dia berjanji akan memperhatikan kritik, saran dan masukan HTI.
Lebih dari dua jam pertemuan hangat dan akrab itu berlangsung, yang diakhiri dengan tawaran simpatik yang disampaikan oleh Pimred The Jakarta Post agar HTI membuat tulisan khusus tentang Khilafah yang akan dimuat di koran yang banyak dibaca oleh kalangan diplomat dan ekspatriat asing itu. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]
Manusia itu kan berasal cuma dari sperma (mani), terkadang mereka lupa asal kejadian tersebut dan setelah tumbuh memilik harta dan anak serta jabatan tinggi, mereka berpikir bahwa hal itu adalah hasil kerja mereka. Padahal semua itu datang dari Allah swt. Mereka minta rizki dari Allah Swt, tapi mereka tidak mau menggunakan aturan Allah Swt. Ini kan aneh, sangat dzoluman dan jahuula. Kalau tidak mau pakai aturan Allah Swt; jangan tinggal di bumi Allah, Jangan makan rizki Allah, Jangan minta-minta sama Allah ! Jangan dikubur di tanah Allah !, Ayo mau apalagi
Apalagi kalau mereka mati; mereka minta di do’akan agar Allah memasukkannya ke Surga. Sangat aneh .. memang manusia itu. Saran saya, kembalilah kepada Aturan Allah Swt kalau hendak Selamat di dunia dan akherat.
Thanks