Larangan Kaum Kafir Dijadikan Bithânah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (TQS Ali Imran [3]: 118)

Dalam pertarungan apa pun, pengetahuan tentang siapa yang menjadi lawan tanding sangat diperlukan. Demikian juga penyikapan yang tepat terhadapnya. Apabila hal itu tidak dimiliki, tentu akan berakibat fatal. Bayangkan jika kita memiliki seorang musuh yang sangat membenci kita, namun justru kita anggap sebagai teman kepercayaan. Karena dianggap sebagai teman, berbagai rahasia pun kita beritahukan kepadanya. Akibatnya sudah bisa diduga. Musuh itu akan lebih mudah menikam dan mengalahkan kita.

Sebagai dîn yang sempurna, Islam tidak alpa memberitahukan hal itu kepada umatnya. Dalam beberapa ayat diberitakan bahwa musuh umat Islam adalah Iblis dan para pengikutnya, yakni kaum kafir. Mereka tak henti-hentinya memerangi Islam dan Umatnya. Mereka juga amat senang jika kaum Muslim ditimpa krisis dan bencana. Besarnya kebencian mereka sudah tak terkira.

Realitas tersebut mengharuskan mereka diperlakukan sebagai musuh. Mereka tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin, pelindung, dan orang dalam yang mengetahui berbagai rahasia penting kaum Muslim. Cukup banyak al-Quran yang menegaskan perkara tersebut. Di antaranya adalah QS Ali Imran [3]: 118.

Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Bithânah

Allah Swt berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmânû lâ tattakhidzû bithânat[an] min dûnikum (hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu). Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Sehingga, dhamîr mukhâthab (kum, kalian) pada frasa min dúnikum menunjuk kepada orang-orang Mukmin. Oleh karena kata dûna bermakna ghayru (selain), maka pengertian min dúnikum –sebagaimana dijelaskan al-Razi dan al-Khazin– mencakup semua orang nonmuslim atau kafir, baik Yahudi, Nasrani, musyrik, maupun munafik. Penjelasan senada juga disampaikan oleh mufassir lainnya, seperti al-Thabari, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baidhawi, Ibnu ‘Athiyyah, al-Syaukani, al-Jazairi, dan lain-lain dalam kitab tafsir mereka.

Ditegaskan dalam ayat ini, kaum Muslim dilarang menjadikan orang-orang kafir atau munafik itu sebagai bithânah. Al-Qurthubi dan al-Khazin menerangkan, sebutan bithânah dikhususkan bagi orang yang mengetahui hakikat perkara rahasia. Menurut al-Jazairi bithânah al-rajul berarti orang-orang yang mengetahui hakikat perkara yang disembunyikan dari pandangan manusia karena adanya suatu kemaslahatan.

Al-Zujjaj menyatakan, kata al-bithânah dalam ayat ini bermakna al-dukhalâ’ (orang-orang dalam) yang dibukakan pintu lebar bagi mereka dan mereka pun bisa mengetahui hakikat perkara yang sebenarnya. Ibnu Katsir juga memaparkan bahwa al-bithânah adalah orang-orang yang bisa mengamati perkara-perkara rahasia yang harus disembunyikan di hadapan musuh.

Tipologi demikian terdapat pada sahabat karib atau teman kepercayaan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan al-Thabari dalam tafsirnya, ayat ini melarang kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir sebagai akhillâ wa ashfiyâ’ (sahabat dan teman dekat). Di samping kawan dekat, menurut al-Baghawi juga menjadi auliyâ’ (para wali: pelindung, penolong, pembantu, dsb).

Memberikan izin resmi bagi intelejen kafir untuk melakukan kegiatan spionase terhadap kaum Muslim bisa dimasukkan larangan ayat ini. Sebab, pemberian izin itu berarti mempersilakan mereka mengetahui berbagai perkara rahasia kaum Muslim.

Menginginkan Keburukan

Selanjutnya Allah Swt menerangkan penyebab larangan tersebut. Allah Swt berfirman: lâ ya’lûnakum khabâl[an] ([karena] mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudaratan bagimu). Al-Alusi dan al-Baghawi menjelaskan bahwa  kata al-khabâl berarti al-syarr wa al-fasâd (keburukan dan kerusakan). Menurut al-Syaukani, makna al-khabâl adalah kerusakan dalam perbuatan, badan, dan akal.

Dengan demikian, kaum kafir senantiasa menempuh berbagai upaya dan strategi mereka untuk menimbulkan keburukan, kerusakan, dan bencana bagi kaum Muslim. Kerusakan yang ditimbulkan itu, kata al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, bersifat menyeluruh, baik dalam urusan dîn maupun urusan dunia.

Dalam perkara dîn, mereka berupaya keras memurtadkan umat Islam dari agama mereka (lihat QS al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 98-100). Mereka tidak rela selama kaum Muslim belum mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120). Sehingga mereka pun giat mempropagandakan sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, dan berbagai ide kufur lainnya kepada kaum Muslim; mendukung dan mensponsori ide sesat semacam Islam Liberal, Ahmadiyyah, dll; mengekspor gaya hidup bebas, seperti perilaku free sex; menghalangi terbitnya UU Antipornografi, dsb. Itu semua mereka lakukan untuk merusak aqidah kaum Muslim.

Dalam perkara dunia, mereka menjalankan berbagai langkah untuk menjarah kekayaan kaum Muslim. Mereka menekan rezim di negeri Muslim untuk memberlakukan sistem ekonomi liberal. Dengan sistem ekonomi tersebut, akan lebih mudah bagi mereka menguasai tambang-tambang di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, kaum Muslim hidup miskin meskipun memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Mereka juga memaksakan utang hingga kaum Muslim terperangkap dalam hegemoni mereka. Ini semua menunjukkan bahwa kaum kafir itu memang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya.

Permusuhan mereka terhadap kaum Muslim kian jelas dengan firman Allah Swt selanjutnya: waddû mâ anittum (mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu). Al-Zamakhsyari menerangkan, kata al-‘anat berarti syiddah al-dharar wa al-masyaqqah (bahaya dan kesulitan yang amat besar). Itu artinya, kaum kafir itu amat menyukai umat Islam ditimpa kesulitan dan kemudaratan besar. Sebaliknya, mereka tidak rela jika kaum Muslim mendapatkan kemenangan, keberhasilan, dan kebahagiaan.

Dengan sepak terjang demikian, wajarlah jika mereka tidak boleh dijadikan sebagai orang dalam, orang yang mengetahui rahasia-rahasia kaum Muslim. Jika larangan itu dilanggar, yakni kaum kafir dijadikan sebagai orang dalam atau teman kepercayaan, maka akan mamudahkan bagi mereka mengalahkan umat Islam.

Besarnya Kebencian Mereka

Selanjutnya Allah Swt memberitakan tentang besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap Islam dan umatnya. Allah Swt berfirman: Qad badat al-baghdhâ’ min afwâhihim (telah nyata kebencian dari mulut mereka). Al-Syaukani menyatakan, kata al-baghdhâ’ berarti syiddah al-buhgdh (kebencian yang amat besar). Ini berarti, besarnya kebencian mereka sudah tampak pada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka.

Dalam beberapa ayat, al-Quran memberitakan ucapan kebencian kaum kafir ini. Mereka menghina Rasulullah saw sebagai majnûn, orang gila. Penghinaan mereka itu disitir Allah Swt dalam firman-Nya:

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

“Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan Al Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (TQS al-Hijr [15]: 6).

Lihat juga dalam QS al-Shaff [37]: 36, al-Dukhan [44]: 14. Mereka tidak hanya mendustakan al-Quran, namun juga melecehkannya. Wahyu yang diturunkan Allah Swt mereka sebut sebagai asâthîr al-awwalîn, dongengan orang-orang yang dahulu (lihat QS al-Muthaffifin [83]:13).

Sebagaimana terhadap Nabi dan kitabnya, mereka juga melecehkan kaum Muslim. Allah Swt berfirman:

وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ

“Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat” (TQS al-Muthaffifin [83]: 29- 32)

Penghinaan itu terus berlangsung hingga kini. Di antara mereka ada yang melecehkan al-Quran sebagai The Satanic Verses, Ayat-ayat Setan. Lainnya menyatakan, al-Quran merupakan sumber kekerasan dan terorisme. Ada pula yang menghina Rasulullah saw dalam bentuk kartun. Dalam kartun itu, Rasulullah saw digambarkan sebagai teroris yang menyelipkan bom di sorbannya. Ada pula yang menyebut Islam sebagai the satanic ideology, ideologi syetan.

Semua ucapan itu menunjukkan betapa besar kebencian mereka terhadap Islam dan umatnya. Meskipun demikian, kebencian yang tampak dalam ucapan mereka itu masih belum seberapa. Kebencian sesungguhnya yang terpendam dalam hati mereka jauh lebih besar. Allah Swt berfirman: wa mâ tukhfî shudûruhum akbar (dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi).

Setiap orang mungkin dapat menyimpan rahasia dalam dadanya sehingga orang lain tidak mampu mengetahuinya. Namun tidak ada yang tersembunyi bagi Allah Swt. Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, termasuk segala rahasia yang tersimpan dalam dada manusia (lihat QS al-Taghabun [64]: 4). Dalam ayat ini Allah Swt menguak isi hati mereka. Bahwa kebencian yang mereka sembunyikan dalam dada mereka jauh lebih besar dari apa yang telah mereka ucapkan.

Kemudian Allah Swt berfirman: Qad bayyannâ lakum al-âyâti in kuntum ta’qilûn (sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya). Ditegaskan bahwa larangan menjadikan kaum kaum kafir sebagai orang dalam dan teman kepercayaan itu adalah Allah Swt melalui ayat-ayat-Nya. Demikian juga yang menyingkap jati diri kaum kafir yang penuh dengan kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan umatnya.

Karena larangan dan berita itu itu berasal dari Allah Swt, dapat dipastikan kebenarannya. Maka selayaknya dipatuhi. Yakni tidak menjadikan musuh-musuh Islam itu sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan kalian. Itu adalah tindakan yang pantas dan masuk akal. Ini termasuk salah satu upaya membendung permusuhan kaum kafir. Sebaliknya, betapa ironinya jika kita menjadikan orang yang membenci, memusuhi, dan memerangi kita sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan.
WaLlâh a’lam bi al-shawâb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*