Kehidupan Ekonomi Dalam Daulah Khilafah

KEHIDUPAN EKONOMI DALAM DAULAH KHILAFAH
Oleh: Muhammad Riza Rosadi

Muqadimah

Keberadaan daulah khilafah Islamiyah adalah dalam rangka melanjutkan kembali kehidupan Islam serta menjadikan manusia hidup dengan Islam, yakni dengan menjadikan pemikiran dan hukum-hukum Islam sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Daulah khilafah akan menerapkan Islam bagi seluruh rakyat dalam seluruh aspek kehidupan mereka baik kehidupan politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.

Penerapan hukum-hukum Islam di bidang ekonomi akan menjadikan kegiatan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Islam secara keseluruhan. Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai tujuan yang satu yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh bagi setiap individu rakyat –muslim dan non-muslim—yang hidup dalam naungan daulah khilafah. Hal ini mudah dipahami karena semua kegiatan ekonomi di arahkan untuk mewujudkan penerapan politik ekonomi Islam, yakni menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka. Politik ekonomi seperti ini pada akhirnya akan menciptakan kehidupan ekonomi yang sejahtera, penuh ketenangan, kesederhanaan, namun tetap produktif dan inovatif.

Kondisi ini berbeda dengan kehidupan ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis. Meskipun penerapan sistem ekonomi kapitalis berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun secara bersamaan penerapan sistem ekonomi kapitalis telah melahirkan gejolak, pertentangan antar kelas yakni pemilik modal (kapitalis) kelompok pekerja. Akibatnya akan kita temukan berbagai dampak nyata dalam kehidupan ekonomi kapitalis mulai dari ketimpangan sosial yang parah, munculnya ketegangan, pertentangan dan keresahan diantara kelompok masyarakat, berkembangnya kehidupan materialistik yang penuh dengan keserakahan karena sangat mencintai harta dan asyik dengan kekayaan, serta terjadinya proses dehumanisasi karena manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hanya berupaya memperebutkan materi semata. Merebaknya kegiatan prostitusi, perjudian, pornografi pada berbagai media, bisnis hiburan yang penuh maksiyat, praktek riba, narkoba, miras, korupsi, sogok-menyogok dan lain-lain telah membuktikan hal itu.

Selain itu penguasaan asset umat dan negara –seperti hutan, pertambangan dan kepemilikan umum lainnya- oleh hanya segelintir orang-orang tertentu telah berdampak pula pada kerusakan dan terganggunya berbagai kemaslahatan umum. Hal ini semua terjadi karena kehidupan ekonomi kapitalis dibangun atas nilai manfaat yang menghalalkan segala cara (bebas nilai).

Sebaliknya, kondisi di atas tidak akan ditemukan dalam kehidupan ekonomi di dalam daulah khilafah. Hal ini karena dengan diterapkannya hukum-hukum Islam dalam bidang ekonomi telah menjadikan kegiatan ekonomi berjalan diatas pedoman dan pijakan yang jelas. Kegiatan ekonomi yang menjadi perhatian bukanlah hanya sektor produksi untuk mengejar pertumbuhan semata. Sektor ini tetap penting, namun yang lebih penting lagi adalah kegiatan ekonomi yang dapat menjamin terpecahkannya persoalan ekonomi yang sebenarnya, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh individu rakyat serta terjaminnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) mereka. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat serta terjaminnya peluang yang sama untuk memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kadar kemampuannya secara alami akan menghilangkan berbagai sebab yang dapat menciptakan ketegangan, pertentangan dan keresahan diantara kelompok masyarakat.

Untuk memberikan gambaran bagaimana kehidupan ekonomi dalam daulah khilafah Islamiyah di masa mendatang, maka menjelaskan berbagai pandangan, kebijakan, program-program ekonomi yang dijalankan oleh daulah khilafah adalah suatu hal yang sangat penting. Tulisan ini berusaha mencoba memberikan sedikit gambaran bagaimana kehidupan ekonomi dalam daulah khilafah. Untuk itu alur pembahasannya akan dimulai dengan pandangan Islam tentang ekonomi, kemudian tentang pandangan Islam tentang problematika ekonomi, dilanjutkan dengan politik ekonomi Islam yang memberikan gambaran tentang kebijakan ekonomi yang ditempuh untuk menyelesaikan problematika ekonomi, dan akhirnya akan diberikan gambaran tentang berbagai kegiatan ekonomi praktis.

Dari sisi pandangan ekonomi, akan dijelaskan perbedaan pandangan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis dalam memandang ‘ekonomi ; perbedaan pandangan dalam menetapkan apa yang menjadi permasalahan (problematika) ekonomi yang sebenarnya ; serta berbagai langkah dan strategi yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut. Dan pada bagian akhir akan dipaparkan gambaran riil dan praktis kehidupan ekonomi yang dapat dilihat dari kegiatan ekonomi diberbagai pasar komoditi yang mencakup kegiatan produksi, investasi, perdagangan, konsumsi dan distribusi ; pasar input yang mencakup sektor jasa (tenaga kerja), politik pertanahan ; sektor kegiatan keuangan dan perbankan ; perdagangan luar negeri, hingga pendapatan dan belanja negara.

Pandangan Tentang Ekonomi

Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan manusia pada saat mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini dikarenakan setiap manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya. Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi, investasi serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Namun intinya pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumberdaya yang dimilikinya.

Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumberdaya yang langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa; membahas aktivitas yang berkaitan dengan cara-cara memperoleh barang dan jasa; juga membahas aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan investasi, yakni kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki serta membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada ditengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, investasi dan distribusi barang dan jasa tersebut semuanya dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dibahas dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas yang memasukkan seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, investasi dan distribusi dalam pembahasan ilmu ekonomi berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui dengan memahami pandangan tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :

“Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (dihadapan Allah), hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan” (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah ra.)

Hadits di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban terhadap empat perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta maka setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi. Namun pengaturan Islam dalam bidang ekonomi tidaklah mencakup seluruh kegiatan ekonomi. Untuk kegiatan ekonomi yang termasuk dalam pengadaan dan produksi barang dan jasa dari sisi produktivitas barang dan jasa, Islam tidak mengaturnya bahkan menyerahkannya kepada manusia. Namun Islam mengatur kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan cara-cara perolehan harta (konsep kepemilikan); cara-cara pengelolaan harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi) dan pengembangan kepemilikan harta (investasi) serta cara-cara mendistribusikan harta ditengah masyarakat. Pembahasan tentang pengadaan dan produksi barang dan jasa di pandang sebagai bagian dari ilmu ekonomi, sedangkan pembahasan tentang cara memperoleh harta, cara pengelolaan harta serta cara pendistribusia harta di pandang sebagai bagian dari sistem ekonomi. Atas dasar inilah maka Islam membedakan antara pandangan tentang ilmu ekonomi dan pandangan tentang sistem ekonomi.

Menurut An-Nabhaniy (1990), Pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi harta kekayaan (barang dan jasa) dalam kehidupan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah cara memperoleh, memanfaatan serta mendistribusikan harta kekayaan (barang dan jasa). Masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi (‘ilmun iqtishadiyun) yang bersifat universal dan sama untuk setiap bangsa di dunia. Sedangkan masalah harta dari segi cara memperoleh, memanfaatan serta mendistribusikannya dimasukkan dalam pembahasan sistem ekonomi (nizhamun iqtishadiyun) yang dapat berbeda antar setiap bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya).

Menurut Islam dari segi keberadaannya, harta kekayaan tersebut sebenarnya terdapat dalam kehidupan secara alamiah, dimana Allah SWT telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia. Allah SWT berfirman dalam banyak ayat :

“Dialah yang telah menciptakan untuk kalian semua, apa saja yang ada di bumi.”(QS. Al-Baqarah : 29)

“Allahlah yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya.”(QS. Al-Jatsiyat :12)

“Dan (Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”(QS. Al-Jatsiyat : 13)

“Maka, hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, Anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Abasa : 24-32)

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain yang serupa menunjukkan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Dia-lah Yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan.

Agar harta kekayaan yang telah Allah SWT ciptakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia, maka tentunya manusia haruslah melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk dapat melakukan pengelolaan terhadapnya. Berkaitan dengan upaya manusia mengelola kekayaan dunia dari segi bagaimana cara memproduksi harta serta upaya meningkatkan produktivitasnya, maka Islam sebagai sebuah prinsip hidup tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus, namun menyerahkan kepada manusia untuk mengatur dan mengelolanya dengan kemampuan yang mereka miliki. Tidak terdapat satu keteranganpun baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan masalah bagaimana memproduksi harta kekayaan tersebut. Justru sebaliknya malah kita menemukan banyak keterangan yang menjelaskan, bahwa syara’ (Islam) telah menyerahkan masalah tersebut kepada manusia untuk menggali dan memproduksi kekayaan tersebut. Diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah memberi nasihat kepada orang yang sedang melakukan penyerbukan kurma, setelah orang tersebut mengikuti nasihat Nabi saw, ternyata orang tersebut mengalami gagal panen. Setelah ini disampaikan kepada Nabi saw, maka beliau saw bersabda :

“Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.”(HR. Muslim dari Anas ra.)

Juga terdapat riwayat hadits, bahwa Nabi saw telah mengutus dua orang kaum muslimin berangkat ke Yaman untuk mempelajari industri persenjataan. Semuanya ini menunjukkan, bahwa syara’ telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka. Kesemuannya ini menurut pandangan ekonomi Islam dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal sehingga boleh dipelajari dan diambil dari manapun ia berasal apakah dari Barat maupun dari Timur.

Berbeda halnya dengan masalah di atas, maka aktivitas ekonomi yang menyangkut bagaimana cara perolehan harta dan pengelolaan (konsumsi dan investas) serta pendistribusiannya, maka Islam turut campur dengan cara yang jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadits tentang pertanyaan Allah SWT kepada manusia di hari kiamat kelak, bahwa mereka akan diminta pertanggungjawaban tentang hartanya dari mana serta dengan cara apa ia memperolehnya, juga tentang bagaimana ia memanfaatkan hartanya tersebut mulai dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya. Pengaturan Islam dalam bidang ini juga dapat dilihat dari hukum-hukum fiqih praktis yang mengatur seluruh kegiatan tersebut mulai dari hukum tentang sebab-sebab kepemilikan harta; hukum tentang pengembangan kepemilikan harta seperti jual-beli, syirkah (perseroan) dan lain-lain.

Dari segi tata cara perolehan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan, seperti hukum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hukum-hukum kontrak jasa, industri serta hukum-hukum waris, hibah, wasiat dan lain sebagainya. Demikian juga dalam masalah pemanfaatan harta kekayaan Islam ikut campur tangan secara jelas. Misalnya Islam mengharamkan pemanfaatan beberapa bentuk harta kekayaan yang haram, seperti minuman keras, bangkai, daging babi. Selain itu Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang pendistribusian harta kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada masyarakat, pembagian harta waris, pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi Islam menyerahkannya kepada manusia. Dengan kata lain Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, sebab itu termasuk dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal.

Menurut Az-Zein (1981); An-Nabhaniy (1995); Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sedangkan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa dimasukan dalam pembahasan sistem ekonomi.

Ilmu ekonomi menurut pandangan Islam adalah ilmu yang membahas tentang upaya-upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitas barang dan jasa. Atau dengan kata lain berkaitan dengan produksi suatu barang dan jasa. Karena harta kekayaan sifatnya ada secara alami serta upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya dilakukan manusia secara universal, maka pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan pembahasan yang universal pula sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun juga selama bermanfaat.

Sedangkan “sistem ekonomi” menjelaskan tentang bagaimana cara memperoleh dan memiliki, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan harta kekayaan yang telah dimiliki tersebut. Atau dengan kata lain menjelaskan tentang kepemilikan harta kekayaan, bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan harta kekayaan serta bagaimana mendistribusikan harta kekayaan kepada masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling efisien yang dimasukkan dalam pembahasan “ilmu ekonomi” dengan pembahasan ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa yang dimasukkan dalam pembahasan “sistem ekonomi”. Sedangkan Sistem Ekonomi Kapitalis menjadikan pembahasan “ilmu ekonomi” dan “sistem ekonomi” sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan pembahasan ”sistem ekonomi” sebagai bagian dari “ilmu ekonomi” yang berlaku universal. Menurut faham Kapitalis pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa; serta pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa semuanya disatukan dalam lingkup pembahasan apa yang mereka sebut dengan ilmu ekonomi. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa.

Dengan penjelasan ini dapat kita ketahui dan pahami bahwa pembahasan “sistem ekonomi” sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku secara universal. Oleh karena itu sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Kapitalis serta berbeda pula dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Sosialis dan Komunisme.

Problematika Ekonomi dan Solusinya

Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya Kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Sebagai catatan yang dimaksud kebutuhan di sini mencakup kebutuhan (need) dan keinginan (want), sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena di satu sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.

Dari pandangan tersebut di atas maka sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problematika ekonomi akan muncul pada setiap diri individu, masyarakat atau negara karena adanya keterbatasan barang dan jasa yang ada pada diri setiap individu, masyarakat atau negara untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Karena itu disimpulkan bahwa problematika ekonomi yang sesungguhnya adalah karena adanya kelangkaan (scarcity).

Dari pandangan demikian muncul pula solusi pemikiran untuk memecahkan problematika ekonomi tersebut dengan jalan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan sebagai upaya untuk meningkatkan barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itulah maka sistem ekonomi Kapitalis menitikberatkan perhatiannya pada upaya peningkatkan produksi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perhatian yang begitu besar terhadap aspek produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat, sebab pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.

Karena sangat mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul riil yakni lebih mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor moneter). Dalam kenyataannya, sistem ekonomi kapitalis pertumbuhannya lebih dari 85 % di topang oleh sektor non-riil dan sisanya sektor riil. Akibatnya adalah ketika sektor moneter ambruk, maka ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problematika ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan antara pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada kebutuhan yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) dan ada kebutuhan yang sifatnya pelengkap (al hajat al kamaliyat) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang makan makanan tertentu maka pada saat itu sebenarnya kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk makan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu meskipun hanya beberapa potong saja, maka sebenarnya kebutuhan dia akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal –meskipun hanya dengan jalan menyewa– maka sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Dan jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Adapun kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) maka memang pada kenyataannya selalu berkembang terus bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun perlu ditekankan disini bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat sebab ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.

Berbeda halnya dengan kebutuhan manusia, maka keinginan manusia memang tidak terbatas. Sebagai contoh seseorang yang sudah dapat makan kenyang –kebutuhan akan makanan sudah terpenuhi– tentunya ia dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya. Demikian pula seseorang yang telah berpakaian –kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi– tentunya dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal. Contoh lainnya adalah seseorang yang telah memiliki rumah tinggal –kebutuhan papannya telah terpenuhi– tentunya dapat saja menginginkan rumah tinggal yang lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu sebenarnya kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas adapun keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih hidup. Oleh karena itulah pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Karena itulah permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu barang dan jasa yang ada, kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan – meskipun di negara-negara kaya– orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak. Atas dasar inilah maka persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dan untuk mengatasinya maka menurut sistem ekonomi Islam, haruslah dengan jalan memberi perhatian yang besar terhadap upaya perbaikan distribusi kekayaan di tengah masyarakat, namun aspek produksi dan pertumbuhan tetap tidak diabaikan.

Politik Ekonomi Islam : Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat.

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem Ekonomi Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.

Pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan (perumahan).

Allah SWT berfirman :

“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah :233)

Juga firman Allah SWT:

“Dan berilah mereka nafkah (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu). “ (QS. An-Nisa : 4)

Firman-Nya juga :

“Dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj : 28)

Firman-Nya juga :

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq : 6)

Az-Zein (1981), mengutip hadits Rasulullah saw yang bersabda :

“Anak Adam tidak mempunyai kebutuhan selain dari sepotong roti untuk menghilangkan laparnya, seteguk air untuk meredakan dahaganya dan sepotong pakaian untuk menutup ‘auratnya. Dan lebih dari itu adalah keutamaan.” (Al-Hadits)

Nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang tiga tersebut. Selain dari barang yang tiga tersebut merupakan kebutuhan pelengkap (kamaliyat).

Demikian pula jasa-jasa keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, maka haruslah ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Demikian pula dengan kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari tanpa di mempunyai kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Karena kesehatan juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw :

“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa jasa pendidikan adalah merupakan kebutuhan pokok, adalah karena tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, terlebih lagi di akhirat kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam hal ini Rasululah saw bersabda :

“Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia mempunyai ilmu, barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah ia mempunyai ilmu.” (Al-Hadits)

Rasulullah SAW bersabda:
“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani).

Tidak akan mungkin seseorang dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat tanpa adanya ilmu. Dan ilmu pengetahuan tidak mungkin diperoleh tanpa adanya pendidikan. Karena itulah maka pendidikan sebagai sarana untuk menuntut ilmu termasuk juga dalam kebutuhan jasa yang pokok.
Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kelompok kebutuhan pokok yang berupa barang (sandang, pangan dan papan) dengan kelompok kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan). Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Sistem Ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Adapun tahap-tahap strategi tersebut adalah :

(1) Memerintahkan kepada setiap individu bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
Agar semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelangkap (sekunder dan tersier), maka barang-barang kebutuhan yang ada harus bisa diperoleh oleh manusia sehingga mereka dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sementara barang-barang pokok tersebut tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila mereka berusaha mencarinya. Karena itu, Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rizki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki –khususnya bagi orang harus menangggung diri sendiri– adalah sebuah kewajiban sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

(2) Kepala keluarga diwajibkan menafkahi kebutuhan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Menurut Az-Zein (1981), kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut telah ditetapkan oleh syara’ atas orang-orang tertentu. Kewajiban memberi nafkah kepada isteri yang berupa pangan, sandang dan papan adalah merupakan kewajiban setiap suami. Dalam hal ini

Allah SWT berfirman :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq : 6)
Rasulullah saw bersabda :
“Mereka (para isteri) mempunyai hak atasmu agar kamu memberi makan dan pakaian kepada mereka.” (Al-Hadits)

Juga sabda Beliau saw :
“Hak mereka atas kamu adalah kamu membaguskan bagi mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.”(Al-Hadits)

Nash-nash ini menjelaskan kewajiban suami untuk menafkahi isterinya. Selain itu kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya, berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (QS. Al-Baqarah :233)

Juga kewajiban anak-anak untuk menafkahi kedua orang tua mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak.” (QS. An-Nisaa : 36)

Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seorang lelaki adalah sesudah kasabnya (usahanya), dan anaknya itu termasuk kasabnya.” (AL-Hadits)

Dari nash-nash ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak wajib menafkahi kedua orang tuanya. Nafkah itu menurut syara’ adalah pangan, sandang dan papan.

Selain itu kewajiban kerabat yang mempunyai pertalian darah (mahram) untuk menafkahi kerabatnya itu didasarkan pada firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… dan ahli waris pun berkewajiban demikian. “ (QS. Al-Baqarah : 233)

Rasulullah saw bersabda :
“Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu dan saudara perempuanmu, kemudian kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh.” (Al-Hadits)

(3) Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda :

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tersebut dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw berkata kepadanya :

“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.” (Al-Hadits)

Juga, dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah saw memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati.
Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra lalu bertanya :

“Apa yang sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar ra, seraya berkata :“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari mesjid namun memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka :“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’iy, dan telah diterapkan oleh para pemimpin Negara Islam (Daulah Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

(4) Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga dan tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknysa dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian…”(QS. Al-Baqarah :233)

Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, bukanlah hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw telah bersabda :

“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu.” (HR. Ibnu Majah)

Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.

(5) Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahramnya, dan iapun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda :

“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR. Al-Bazzar)

Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sehingga tetangganya tidak meninggal karena kelaparan. Namun untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab memang negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

(6) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna –baik karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah SWT :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah :103)

Juga firman-Nya :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para aamil (pekerja zakat), para muallaf yang diikat hatinya, …” (QS. At-Taubah: 60)

“Al-Aamilun” adalah para pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat. Negara kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan (asnaf) yang jelas-jelas tersebut dalam Al-Qur’an. Di antara mereka ada orang-orang fakir (al-fuqaraa) dan orang-orang miskin (al-masaakin), sebagaimana dalam ayat 60 surat At-taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kekurangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw bersabda :

“Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali aku bertanggungjawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu Rasulullah saw membacakan firman Allah SWT : “Para nabi itu menjadi penanggungjawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda : “Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silahkan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Tetapi jika dia mati dan meninggalkan hutang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya.” (HR. Pemilik Kitab Shahih yang Enam)

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Keamanan, Kesehatan Dan Pendidikan)

Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), dimana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa yakni keamanan, pendidikan dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, negara (pemerintah)lah yang berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Maal.

Jaminan Keamanan

Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw :

“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)

Sedangkan dalil yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmiy) sebagaimana sabdanya :

“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukanya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka terpelihara oleh-Ku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan jalan yang hak. Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari, Muslim dan pemilik sunan yang empat)

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat, adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan dan mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta orang lain. Aturan yang tegas ini selain berfungsi sebagai upaya mencegah terjadinya tindakan gangguan keamanan, juga berfungsi sebagai tindakan hukuman hingga membuat pelaku jera. Sebagai gambaran, kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.
Menurut Al-Maliki (1990), Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishash, dengan jalan dibunuh kembali, atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa diyat (denda) yang besarnya senilai dengan 100 ekor unta. Bahkan terhadap pembunuhan yang tidak sengajapun akan dikenakan hukuman kepada orang yang telah lalai tersebut. Dalil yang menunjukkan hal ini semua firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampau batas sesuadah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah : 178)

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman :

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan mebayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak meperolehnya , maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisaa : 92)

Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan harta orang lain dengan jalan mencuri, menggarong atau merampoknya, maka akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras. Sebagai gambaran kepada pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1 dinar = 4,25 gram emas) atau setara dengan 3 dirham perak, maka Islam menetapkan hukuman potong tangan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)

Berkaitan dengan besarnya jumlah percurian banyak hadits Rasulullah saw yang menegaskannya. Rasulullah saw bersabda :

“Tangan pencuri (harus) dipotong, karena (mencuri) barang seharga seperempat dinar.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat yang lain Beliau saw juga bersabda :

“Potonglah (tangan pencuri), karena mencuri seharga seperempat dinar, dan jangan kamu potong kurang dari harga itu.” (HR. Ahmad)

Masih banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum Islam yang menjamin keamanan jiwa, darah dan harta setiap warga negara. Hukum-hukum itu diterapkan dengan tegas adalah dalam rangka mencegah masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan.

Jamninan Kesehatan

Menurut Al-Badri (1990), adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah SAW itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslimin, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslimin.

Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah SAW terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya yang hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Maal dan untuk seluruh kaum muslimin.

Rasulullah SAW pernah sangat marah kepada seorang pegawai negara yang mewakili beliau dalam pengambilan zakat. Orang tersebut ternyta telah menerima hadiah dari seseorang. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Urwah bin Zubair, dari Abi hamid as Sa’idy ra, bahwa Rasulullah SAW telah mempekerjakan salah seorang dari suku Azad untuk mengambil Zakat Bani Sulaim. Ketika ia kembali dengan membawa sejumlah harta, maka Rasulullah menghitungnya. Orang tersebut berkata kepada Rasul SAW: “Ini adalah untukmu dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku” Mendengar pengakuan tersebut, Nabi SAW berkata:

“Apakah tidak lebih baik jika engkau duduk-duduk saja di rumah ibumu sampai hadiah itu datang padamu? (Apakah mungkin hadiah itu akan datang bila engkau duduk-duduk di rumah ayah-ibumu?)”.

Seketika itu juga beliau berdiri dengan maksud untuk menjelaskan aspek hukum Islam tentang masalah tersebut kepada orang banyak. Setelah mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, beliau berkata:

“Bagaimana mungkin ada seorang laki-laki yang telah aku pekerjakan mengerjakan suatu tugas yang dipercayakan Allah kepadaku. Kemudian ia berkata: Ini kuserahkan kepadamu, dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik jika ia duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? (Apakah mungkin hadiah itu akan datang bila engkau duduk-duduk di rumah ayah-ibumu??). Demi Dzat dan jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah aku menugaskan seseorang atau suatu pekerjaan yang telah dipercayakan Allah kepadaku, kemudian ia berlaku curang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan memikul unta yang mulutnya tak henti-hentinya meneteskan busa, atau sapi yang terus-terusan mengauk, atau kambing yang tak berhenti mengeluarkan kotoran.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya ke langit, hingga tampak putih ketiaknya, seraya berkata: “Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan, Ya Allah, saksikanlah!” (HR. Muslim).

Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah SAW pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.

Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah SAW di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah SAW memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslimin milik Baitul Maal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena mereka memang berhak.

Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Sayyidina Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut.Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para Khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra.

Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta, dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.

Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.

Jaminan Pendidikan

Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Ia menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Maal.

Rasulullah SAW juga telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan, apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul Maal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke Baitul Maal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau SAW, memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul maal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).

Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani)

Demikian juga, mengemban dakwah Islamiyah adalah kewajiban atas segenap kaum Muslimin, berdasarkan firman Allah SWT:

“Serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (QS An Nahl 125).

Juga sabda Rasulullah SAW:

“Sampaikan apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat” (HR Bukhari).

Tetapi, mungkinkah tugas dakwah dan tabligh itu dapat terlaksana tanpa adanya pendidikan ?
Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Mencari ilmu adalah kewajiban yang yang harus dipikul oleh setiap individu (fardlu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardlu kifayah (fardlu atas sebagian kaum muslimin) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslimin berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslimin.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan. Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syari’at Islam.

Gambaran aktivitas ekonomi dalam daulah khilafah (sedang ditulis)

Pasar Komoditi

  • Kegiatan Produksi…
  • Kegiatan Konsumsi…
  • Kegiatan Investasi…

Pasar Input

  • Pasar Tenaga Kerja….
  • Seputar Pertanahan….

Pasar Uang (sektor Moneter)

  • Mata Uang….
  • Larangan Riba….
  • Ketentuan jual beli Valas….

Perdagangan Luar-negeri

  • Politik ekonomi LN…

Mekanisme Distribusi Kekayaan di Tengah Masyarakat

  • Mekanisme ekonomi…
  • Mekanisme non-ekonomi…

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

  • Sumber-sumber pemasukan…
  • Pos-pos pengeluaran…

DAFTAR BACAAN :

  1. Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.
  2. Al-‘Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV. Pustaka Setia.
  3. Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit Gema Insani Press. Jakarta.
  4. An-Nabhaniy, T. 1953. An-Nizham Al-Islam. Penerbit Hizbut Tahrir. Baerut.
  5. ……… 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Bairut.
  6. Arief, S. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Penerbit CIDES. Jakarta.
  7. Az-Zein, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbadingan (Terjemahan). Penerbit Husaini. Bandung.
  8. Budiono. 1998. Ekonomi Makro. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2. Edisi 4. BPFE. Yogyakarta.
  9. Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan). Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.
  10. Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
  11. Djojohadikusumo, S. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  12. ……… 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta.
  13. Magnis-Suseno, F. 1999. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
  14. Mannan, M.A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
  15. Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
  16. Qardhawi, Y. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema Insani Press. Jakarta.
  17. ……… 1995. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Terjemahan). Penerbit Robbani Press. Jakarta.
  18. Qureshi. A.I. 1985. Islam and The Theory of Interest. (Terjemahan). Penerbit Titamas. Jakarta.
  19. Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
  20. Samuelson, P. A dan Wiliam D. Nordhaus. 1995. Mikroekonomi Edisi Ke-14 (Terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta.
  21. Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
  22. Tambunan, T. 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Penerbit Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
  23. Tjokroamidjojo, B. 1976. Perencanaan Pembangunan. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.
  24. Ya’kub, H. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan ke-3. (Terjemahan). Penerbit CV. Diponegoro. Bandung.
  25. Zallum, A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit Hizbut Tahrir. Baerut.
  26. ……… 1983. Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah. Penerbit Darul Ilmu lil Malayiin. Baerut-Lebanon.

5 comments

  1. Bagus, Terima Kasih atas informasinya.

  2. Wih mas Reza tulisannya top dech…Makasih ya, ayo terus menulis, masih jarang lho pakar ekonomi syariah
    http://jamil.niriah.com

  3. Alangkah Sempurnanya Hukum Islam….
    Mengapa kita masih mencari hukum2 lain?
    “Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah????”
    Masak malah lebih setuju dgan PASAR BEBAS…

  4. sunggug luar biasa sistem buatan Allah… cuman kapan umat islam sadar untuk bersama2 dan saling membahu untuk memperjuangkan Penegakan Syariat Islam!!! Takbir….3x!

  5. putri nurani

    Subhanallahoh…
    gak sabar nunggu gambaran aktivitas ekonomi dalam daulah khlafah (yang sedang ditulis itu)
    Moga Allah SWT memberi kemudahan kepada mas Reza untuk nyelesaiin tulisannya itu. kita tunggu lho…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*