Korupsi Diduga Marak di DPR

Jakarta, Kompas – Tertangkapnya Bulyan Royan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, merupakan konfirmasi atas dugaan tentang maraknya praktik korupsi di lembaga legislatif itu. Apalagi, ada wakil rakyat yang tertangkap tangan pula oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap Bulyan, dan anggota DPR lain, perlu dilihat sebagai cara membersihkan dan memperbaiki citra DPR. ”Survei Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, masyarakat menilai DPR sebagai salah satu lembaga terkorup. Tetapi, itu sulit dibuktikan sebelum KPK menangkap sejumlah anggota DPR yang diduga korupsi,” kata Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Selasa (1/7) di Jakarta.

Selain DPR, hasil survei yang dilakukan TII sejak tahun 2005 juga menunjukkan, lembaga yang dipersepsikan masyarakat sebagai terkorup adalah peradilan, partai politik, dan kepolisian.

Dua tersangka

Secara terpisah, setelah memeriksa selama semalam, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah mengatakan, Bulyan ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga menerima suap dari DS, rekanan pemenang tender pengadaan kapal patroli di Direktorat Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (Dephub).

Saat meninggalkan KPK untuk dibawa ke rumah tahanan Polda Metro Jaya, Selasa pagi, Bulyan enggan memberikan komentar. Ia meminta wartawan bertanya kepada KPK.

Ketika ditangkap di Plaza Senayan, Senin sekitar pukul 17.00 di Plaza Senayan, menurut Chandra, tim dari KPK menemukan uang sebesar 66.000 dollar AS dan 5.500 euro atau sekitar Rp 607,2 juta (asumsi 1 dollar AS = Rp 9.200) dan Rp 79,75 juta (asumsi 1 euro = Rp 14.500) dari tangan Bulyan. ”Dia tertangkap tangan. KPK tidak menjebaknya,” ucap Chandra.

Uang itu diduga dari Dedi Suwarsono atau DS, Direktur PT BMKP. ”Modusnya, DS menitipkan uang itu di tempat penukaran uang asing dan BR (Bulyan Royan) mengambilnya. BR kami tangkap sesaat setelah mengambil uang itu,” papar Chandra.

Menurut Chandra, pemberian uang itu diduga terkait dengan posisi Bulyan saat menjadi anggota Komisi V DPR. Sejak pertengahan Juni lalu, Bulyan pindah ke Komisi I.

Selain menangkap Bulyan, Selasa sekitar pukul 07.00, KPK juga menjemput Dedi dari rumahnya di kawasan Permata Hijau, Jakarta. Semalam, Dedi juga ditetapkan sebagai tersangka. Sekitar pukul 23.10, saat meninggalkan KPK, Dedi tak mau berkomentar.

Kamaruddin Simanjuntak, advokat Dedi, menjelaskan, pemberian uang adalah fee yang biasa diberikan sebelum tender, besarnya 7-8 persen dari nilai tender. Fee diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Dephub.

Jejaring kompleks

Menurut Tommy, praktik korupsi di DPR membentuk jejaring yang amat kompleks sehingga tidak mudah mengungkapnya. Kesulitan pengungkapan ini masih ditambah oleh kuatnya posisi lembaga legislatif pada saat ini dan masih minimnya kontrol dari masyarakat. Korupsi di DPR kian diperparah oleh tingginya ambisi politikus untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.

Direktur Eksekutif Lead Institute Bima Arya menambahkan, tiadanya jenjang karier yang jelas dalam politik juga menjadi sebab maraknya korupsi di DPR. ”Untuk bisa duduk di DPR, sekarang lebih ditentukan kedekatan dengan pimpinan partai dan dana yang dimiliki, serta bukan prestasi. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya,” kata dia.

Dana yang besar dalam politik, lanjut dia, antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat pemilu, memelihara pemilih, dan mengamankan posisi di partai.

Dengan keadaan seperti ini, kata Bima, pemberantasan korupsi di DPR tidak dapat hanya dilakukan dengan mengandalkan tindakan tegas KPK. Namun juga harus diiringi upaya lain, seperti perbaikan dalam perekrutan politik dan peningkatan kesadaran politik masyarakat sehingga mereka dapat lebih mengawasi kerja para wakilnya di parlemen.

Secara terpisah, Ketua DPR Agung Laksono, Selasa, menyesalkan terjadinya lagi kasus suap yang melibatkan anggota Dewan. Pimpinan DPR akan mengundang pimpinan fraksi untuk melakukan evaluasi total kerja DPR. ”Ini sudah yang kesekian kalinya. Pimpinan DPR ingin lembaga ini bersih,” katanya.

Seseorang itu bisa melakukan korupsi, kata Agung, didorong dua hal. Pertama, kebutuhan akan uang. Kedua, sistem yang longgar.

Agung mulai memikirkan untuk mengevaluasi fungsi budget DPR. Salah satu usulannya, pada masa mendatang, DPR tidak perlu lagi melakukan pengawasan sampai pada satuan tiga atau proyek, tetapi tahap program saja.

Menteri Perhubungan Jusman Syefii Djamal mengatakan, pihaknya sudah bertemu Ketua KPK Antasari Azhar. Dephub siap bekerja sama dengan KPK jika memang diperlukan untuk mengungkapkan kasus penyuapan anggota DPR dalam pengadaan kapal patroli itu. (nwo/har/sut/dik/vin/ryo)

Sumber : www.kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*