Dra. Zulia Ilmawati, S.Psi: Muslimah Juga Wajib Berpolitik

Membicarakan peran kaum Muslimah saat ini terasa sangat relevan, apalagi dalam situasi ketika mereka sedang berada dalam tarikan dua ide yang bertentangan satu sama lain. Di satu sisi terdapat gagasan agar kaum Muslimah lebih mengedepankan peran publiknya—baik dalam bidang politik, karir, maupun sosialnya—agar Muslimah tidak terkungkung hanya dalam area ‘dapur-sumur-kasur’. Di sisi lain, kaum Muslimah juga dihadapkan pada peran domestik, yakni menjadi ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Bagaimana Islam sesungguhnya Islam memandang peran domistik dan peran publik perempuan? Bagaimana pula Islam mengharmonikan kedua peran itu dalam tataran praktik? Untuk mengulas masalah tersebut, kami menghadirkan wawancara singkat dengan Dra. Psi. Zulia Ilmawati, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (Redaksi)

Menurut Ustadzah, bagaimana sebenarnya posisi dan peran perempuan dalam Islam?
Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia. Peran utamanya adalah sebagai ibu (ummun) dan pengatur rumah tangga (rabbah al-bayt). Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat, perempuan Muslimah juga harus berperan aktif dalam dakwah guna menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Keduanya harus bisa dilaksanakan seoptimal mungkin, tanpa perlu mengorbankan satu sama lain.

Kongkretnya, peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga itu seperti apa?
Sebagai ibu, seorang perempuan, setelah menikah dan hamil, harus bisa menjaga diri dan kandungannya dengan sebaik mungkin. Setelah melahirkan, ia harus menyusui, merawat, dan membesarkan anaknya. Di sinilah seorang perempuan memiliki hak radhâ‘ah (penyusuan) dan hak hadhânah (pengasuhan), sekaligus—bersama suaminya—memiliki kewajiban tarbiyah (pendidikan).
Sementara itu, sebagai pengatur rumah tangga, seorang perempuan Muslimah harus bertanggung jawab terhadap segala urusan kerumahtanggaan agar rumahnya itu secara fisik benar-benar menjadi tempat yang sehat, aman, dan nyaman untuk semua penghuninya; dan secara psikologis bisa memberikan rasa tenteram. Dari sana akan tercipta apa yang disebut rumah tangga yang sakinah.

Untuk menjalankan fungsi sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, apa saja yang harus dipersiapkan?
Menjalankan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga adalah aktivitas yang sangat mulia. Peran itu akan menentukan keberhasilan rumah sebagai institusi umat yang pertama dan utama, yang melahirkan anak yang berkualitas sebagai penerus generasi. Peran ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Karena itu, peran ini harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Karena itu, perlu persiapan matang agar sejak sebelum berkeluarga, seorang perempuan Muslimah tidak terkaget-kaget dan merasa berat dengan beban itu. Pertama, diperlukan persiapan ilmu, yaitu ilmu yang berkaitan dengan bagaimana menjalankan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga peran di tengah umat. Kedua, persiapan fisik. Calon ibu harus memiliki fisik yang sehat agar bisa melahirkan dan membesarkan generasi yang juga sehat. Tanpa fisik yang kuat, peran tersebut tidak akan berjalan dengan optimal. Ketiga, persiapan mental. Kehidupan sebelum dan sesudah berkeluarga tentu sangat berbeda. Kalau sebelumnya hidup sendirian, maka setelah berkeluarga, perempuan akan hidup dengan suami, anak-anak, dan barangkali juga keluarga besarnya. Persoalan-persoalan yang akan dihadapi setelah berkeluarga tentu jauh lebih kompleks karena melibatkan banyak orang. Di sini dibutuhkan kematangan dalam berpikir, berbuat, dan menyelesaikan berbagai masalah.

Tadi disampaikan bahwa seorang perempuan dalam Islam juga memiliki peran dakwah, seperti apa penjelasannya?
Dakwah merupakan kewajiban setiap Muslim, perempuan maupun laki-laki. Keduanya wajib menyampaikan, menyebarkan, dan memperjuangkan Islam agar semakin banyak orang yang memahami dan mengamalkan Islam. Dalam konteks sosial, dakwah juga harus dijalankan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara senantiasa berada dalam tatanan yang islami. Rasul yang mulia pernah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum Muslim).” (HR al-Hakim).
Dakwah yang digerakkan untuk menjawab persoalan masyarakat dan memperjuangkan tegaknya syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara disebut juga dakwah politis. Dakwah semacam ini juga harus dilakukan oleh perempuan Muslimah. Misalnya, dengan melakukan pencerdasan kepada sesama kaum perempuan agar mereka sadar dan lebih memahami syariat Islam, khususnya yang berkenaan dengan peran perempuan, melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap penguasa agar tetap berjalan di atas rel Islam, serta bersama kaum lelaki berjuang hingga tegaknya kembali syariat Islam dan Khilafah Islamiyah di muka bumi ini.

Bagaimana realita kaum Muslimah saat ini berkaitan dengan kedua peran tersebut?
Secara faktual, kaum Muslimah memang tengah menghadapi persoalan besar. Secara umum, saya kira, perempuan Muslimah masih banyak yang belum memahami posisi dan perannya dengan baik. Lihat saja, tidak banyak toh yang terlibat dalam dakwah, apalagi dakwah politis; seolah-olah peran ini hanya milik kaum lelaki saja. Kalau pun ada peran mereka di luar rumah, yang diburu bukanlah peran dakwah, tetapi karir dalam pekerjaan atau profesi yang pada faktanya tidak jarang malah menyimpangkan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Memang, ada perempuan yang berkiprah di medan politik, tapi peran politik itu tidak jarang justru bersebrangan dengan visi dan misi dakwah Islam. Pada saat yang sama, peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dipandang tidak cukup terhormat sehingga banyak yang menjalaninya tanpa penghayatan, sekadarnya, dan seadanya.

Saat ini gencar diserukan istilah ‘pembebasan perempuan’. Bagaimana pandangan Ustadzah dalam hal ini? Apakah seruan itu bisa menjadi solusi?
Seruan ‘pembebasan perempuan’ awalnya diusung oleh kaum feminis Barat yang pada waktu itu memang melihat kaum perempuan di sana dalam posisi tertindas dan terpinggirkan. Muncullah kemudian tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Padahal pada faktanya, ada hal-hal tertentu yang memang laki-laki berbeda dengan perempuan. Di sinilah kemudian banyak muncul persoalan, di antaranya terabaikannya peran utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ide semacam ini jelas bukan merupakan solusi, karena bertentangan dengan pandangan Islam mengenai posisi dan peran perempuan. Ide semacam ini cepat atau lambat justru akan menimbulkan persoalan baru, seperti yang terlihat sekarang dengan maraknya pergaulan bebas, tingginya tingkat perceraian, keluarga berantakan (broken-home), kenakalan anak dan remaja akibat minimnya kasih sayang dalam keluarga, dan sebagainya.

Lalu, upaya apa yang harus dilakukan untuk memposisikan kembali peran perempuan secara benar?
Ada beberapa sebab mengapa kaum perempuan tidak dapat menjalankan perannya dengan baik. Pertama, karena tidak adanya pemahaman yang mendalam tentang bagaimana seharusnya peran perempuan dalam pandangan Islam. Kedua, karena adanya opini yang menilai peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sebagai peran yang kurang bernilai. Karena itu, upaya yang harusnya dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada para perempuan tentang bagaimana seharusnya peran perempuan dalam pandangan Islam dan meng-counter opini-opini yang menyesatkan itu.

Hambatan apa saja yang muncul dalam upaya memposisikan kembali perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan sekaligus mendorong peran politik perempuan di tengah masyarakat?
Saya melihat, hambatan itu datang dari dua arah. Pertama, dari dalam (internal) perempuan sendiri, berupa keengganan untuk berusaha dan belajar, sikap nrimo (fatalistik), dan ketidakmauan untuk berubah. Kedua, hambatan dari luar (eksternal) berupa tatanan sekularistik yang membuat masyarakat cenderung berpikir dan bertindak tidak lagi berlandaskan nilai-nilai Islam. Ada tarikan kehidupan materialistik yang mendorong perempuan untuk keluar rumah mengejar capaian-capaian material melalui berbagi jenjang profesi, ditambah lemahnya proses edukasi, khususnya terhadap perempuan, bagi tumbuhnya kesadaran islami menyangkut peran perempuan.

Keberhasilan peran dakwah politik perempuan tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kaum pria (suami). Bagaimana Ustadzah melihat realitas yang ada dan bagaimana semestinya?
Dalam banyak kasus, suami masih belum memberikan dorongan yang optimal dalam peran politik perempuan. Memang benar, kewajiban utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, tetapi dia juga punya kewajiban dari Allah untuk menjalankan peran dalam dakwah politiknya. Seharusnya para suami memberikan dukungan penuh agar peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan peran politiknya itu dapat berjalan optimal. Di sinilah dibutuhkan pengertian dan kerjasama yang baik antar keduanya; kerjasama dalam mengarahkan dan mendidik anak-anak, juga menyediakan pembantu, misalnya, agar aneka ragam urusan rumah tangga bisa dikerjakan dengan lebih ringan. Jika memang tidak ada pembantu, suami juga harus mau membantu istri agar semua berjalan optimal tanpa perlu saling menyalahkan.

Kalau begitu, jelas diperlukan relasi yang sangat baik antara suami dan istri. Lantas bagaimana mewujudkan sinergi relasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) agar peran tersebut bisa dijalankan secara optimal?
Upaya untuk mewujudkan sinergi seperti itu sebetulnya sudah harus diawali ketika akan membentuk keluarga. Harus jelas dari awal, dalam rangka apa dan untuk apa atau apa visi dan misi keluarga yang akan mereka bentuk. Setelah kehidupan rumah tangga berjalan, masing-masing harus menjalankan perannya secara optimal menuju tercapainya visi dan misi tadi. Untuk itu, jelas diperlukan kerjasama, saling pengertian, dan komunikasi yang baik. Dengan cara ini, insya Allah semua peran suami dan istri akan dapat dijalankan dengan baik. Jika semua itu tidak ada, pasti akan timbul persoalan.

Kalau begitu, kelihatannya saat ini sangat diperlukan upaya pencerdasan perempuan?
Tentu. Saya sangat setuju, karena hanya melalui pencerdasan seorang perempuan dapat menjalankan perannya dengan baik. Untuk mendidik anak agar berkualitas tentu juga diperlukan ibu yang berkualitas, yakni ibu yang memiliki kepribadian Islam yang baik dan wawasan yang luas mengenai perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga maupun pengemban dakwah. []

Biodata
Ustadzah Dra. Psi. Zulia Ilmawati lahir di Magelang 28 Februari 1965. Ia adalah ibu tiga orang anak buah pernikahannya dengan M. Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI. Sejak mahasiswa, ia telah berkecimpung di dunia keorganisasian dan dakwah, antara lain pernah menjadi Pengurus Nasyiyatul Aisyiyah Payaman Magelang, Pengurus Senat Fakultas Psikologi UGM, dan Pengurus KOHATI Komisariat F. Psikologi UGM.
Selepas kuliah, ia pernah menekuni dunia kepengajaran sebagai Kepala TKA/TPA Al-Muslim Indraprasta 1 Bogor tahun 1994-1995 dan Pengajar PGTK/PGSD Al-Banna Bogor tahun 1995-1996.
Psikolog lulusan Fak. Psikologi UGM ini pernah menjadi konselor SMU Bina Insani Bogor tahun 1997-1999. Saat ini, ia mengasuh Rubrik Konsultasi Remaja Majalah Remaja Islam Permata dan menjadi Konsultan Psikologi SDIT Insantama.Sekarang pengasuh Rubrik Konsultasi Keluarga Tabloid Suara Islam. Semasa mahasiswa, Jamaah Shalahuddin dipilih menjadi wadah aktivitas dakwahnya dan pernah menjabat sebagai Ketua Keputrian.

5 comments

  1. …semoga berpolitiknya muslimah bukan untuk mengejar jatah 30% dalam parlemen….

  2. Mbak Zulia Teruskan perjuanganmu untuk menda’wahi kaum perempuan kalau bisa masuk ke TV Mbak agar bisa dialog interaktif salam toek keluarga ……..

  3. Terus berjuang untuk mendakwahkan Islam, tapi jangan lupa tugas pokoknya ya…!

  4. assalamu’alaikum,
    bagaimana untuk bisa mengundang beliau menjadi penceramah, adakah nomor telpon yg bisa dihubungi??
    terima kasih
    wassalamu’alaikum

  5. Assalamualaikum Yulia, senang bisa menjumpaimu disini. Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*