UU PA, Benarkah Menjamin Hak Anak?

Oleh: Aris Solikhah

Anak adalah permata bagi keluarga, calon generasi suatu bangsa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan di masa datang. Karena itu, mustinya anak mendapat perlakuan istimewa karena di tangan merekalah kelak, hitam putihnya bangsa ini ditentukan. Sayang, justru nasib anak-anak saat ini berada dalam dunia serba gelap.

Berbagai tekanan mental, ekonomi, psikologi dan sosial telah mengebiri dunia ceria mereka.

Lihat saja, angka kekerasan terhadap anak terus meroket. Menurut catatan Pusdatin Perlindungan Anak Indonesia tahun 2005, tindak kekerasan sebanyak 736 kasus. Dari jumlah itu, 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan penelantaran anak sebanyak 130 kasus.

Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Hasilkonsultasi anak di 18 provinsi dan nasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa penganiayaan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, baik di sekolah, rumah, institusi masyarakat dan negara. Keluarga sebagai sumber kasih sayang, tempat perlindungan, pendidikan dini, tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Upaya untuk mengentaskan nasib anak-anakpun dibuat. Di tingkat dunia, telah digelar Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB pada 20 November 1989. Aktor di belakang konvensi ini tentu saja para pengemban sekularisme-liberal yang mengklaim sebagai pejuang hak anak.

Sejalan dengan itu, pada 1990, perwakilan Indonesia turut menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan demikian, Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai implementasinya, pemerintah kemudian mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

Padahal, subtansi KHA versi PBB itu belum tentu cocok dengan situasi dan nilai-nilai masyarakat di Indonesia. Karena itu, kendati sekilas maksud dikeluarkannya UU PA ini tampak baik, kita perlu mengkritisi beberapa pasal yang justru berpeluang membahayakan bagi eksistensi anak.

Agenda Tersembunyi

Dalam pasal 1 UU PA disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Standar apa yang digunakan hingga muncul angka 18 ini? Apakah penelitian ilmiah, nilai-nilai budaya, agama atau apa? Ini tidak dijelaskan dalam UU PA. Namun bila dirunut asal muasal munculnya UU PA yang merupakan hasil rativikasi KAH PBB, maka definisi ini bersumber pada nilai-nilai budaya sekularisme yang menafikkan agama sebagai pengatur kehidupan. Karena itu, definisi ini jelas absurd, bahkan sarat kepentingan.

Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkaitkan definisi tersebut dengan pasal-pasal lain dalam UU PA. Misalnya dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.” Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk menikah. Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.

Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian “anak” versi UU PA.

Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi, kematangan biologis anak saat ini terpacu sangat cepat. Usia puber analk-anak saat ini jauh lebih maju dibanding zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dini dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?

Di situlah muncul persoalan. Anak-anak dan remaja akhirnya digiring menuju pintu seks bebas, karena pintu pernikahan tertutup bagi mereka. Tak ayal, seks di luar nikah, pencabulan dan pemerkosaan di kalangan orang di bawah usia 18 tahunpun merajalela dewasa ini. Ditambah lagi, sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema nikah muda selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat buruk.

Memang suatu kenyataan, kematangan biologi anak-anak masa sekarang kebanyakan tak diimbangi kematangan berpikir dan keberanian menentukan sikap hidup. Tetapi memberikan solusi pelarangan menikah di bawah usia 18 tahun, bukanlah solusi tepat. Alangkah lebih baik jika merancang program-program agar anak-anak dan remaja memiliki kematangan dalam berbagai hal secara benar dan bertanggung jawab. Anak-anak harus dipahamkan hak dan kewajibannya sejak dini sehingga segera memahami perannya kelak, baik sebagai seorang individu, ayah, ibu, anggota masyarakat dan negara. Di sinilah perlunya pondasi agama (baca: Islam) diperlukan.

Termasuk dalam mendefinisikan “anak”, sangat jelas jika mengacu pada ajaran Islam. Mengapa Islam? Adalah kewajaran belaka jika nilai-nilai agama mayoritas penduduk Indonesia yang dijadikan sumber hukum.

Dalam agama Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa). Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memilkul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka tidak boleh dilarang.

Pasal 3 dan 4 UU N0 23 tahun 2002 mengatur tentang hak-hak memerlukan penjelasan lanjut mengenai batasan definisi kekerasan. Dikhawatirkan orangtua anak yang melakukan upaya edukasi melalui suatu tindakan fisik (mencubit, menjewer, memukul ringan) ke tubuh sang anak dan anggapan ancaman psikologi akan terjerat hukum.

Padahal kita memahami bahwa seorang anak sebelum baligh umumnya tak bisa membedakan suatu kebaikan dan keburukan. Misalnya, dalam ajaran Islam seorang anak pada usia 10 tahun tak mau melakukan shalat lma waktu, maka orangtuanya diperbolehkan memukul untuk mendidik dan mendisiplinkan diri.

Berkaitan Pasal 5 dan pasal 29 tentang identitas anak terkait dengan pengaturan anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, hal ini selaras dengan pasal 4 UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Anak mendapatkan status kewarganegaraan walau dia dilahirkan diluar nikah dan hasil dari pernikahan percampuran agama (khususnya ibu muslim dan sang ayah beragama lain). Tentu saja ini bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengakuan identitas anak tanpa memandang status pernikahan kedua orangtuanya merupakan bentuk peremehan institusi pernikahan dan pelanggaran nilai-nilai agama.

Salah satu pasal UU No.23 tahun 2003 ini yakni pada pasal 74 menyebutkan “Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”. Oleh karena itu tepat tanggal 20 Juli 2004 Menteri Pemberdayaan Perempuan atas nama Presiden RI didampingi Menteri Sosial RI, membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang beranggotakan sembilan orang. Pembentukan ini dikukuhkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden No: 77 tahun 2003 dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Sesuai dengan amanat UU No: 23 tahun 2002 pasal 75 ayat (2), ke sembilan anggota KPAI tersebut merupakan wakil dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan wakil dari kelompok masyarakat yang kesemuanya terpilih melalui proses seleksi, dari hasil seleksi tersebut diajukan ke Presiden dan kemudian dikirimkan ke DPR untuk mendapatkan pertimbangan hingga akhirnya terpilih ke sembilan anggota KPAI.

Tim KPAI inilah yang bertugas mengindentifikasi hal-hal yang dianggap sebagai bentuk tindakan diskriminasi, cakupan hak anak dan kekerasan terhadap anak. Hasil temuan KPAI juga sangat mempengaruhi keputusan pengadilan tentang pengalihan hak pengasuhan anak, terutama dalam kasus-kasus perceraian dan kasus yang dianggap diskriminasi anak. KPAI mempunyai berhak melakukan suatu tindakan yang dianggap tepat untuk melidungi psikologi jiwa dan fisik anak bahkan tanpa seizin orangtuanya. Seolah-olah indepedensi dan kinerja KPAI sebagai pengawal dan pengawas UU No: 23 tahun 2002 melampaui kewenangan dan hak orangtua terhadap anak mereka.

Seperti kasus Rasya (anak pasangan Teuku Rafly-Tamara Blezinski). KPAI melakukan tindakan-tindakan yang akhirnya menentukan keputusan dan kesepakatan hak asuh anak kedua orangtuanya. Pada kasus Rasya, KPAI melakukan terapi psikologis pada Rasya tanpa izin Tamara. Sedangkan pada saat itu sesuai kesepakatan ’jadwal’ Rasya bersama Tamara. Bukan maksud membela Tamara, sadar atau tidak, dengan kewenangannya, Komnas KPAI telah turut campur dalam urusan pribadi keluarga Tamara dan menelikung hak asuh Tamara sebagai seorang ibu. Beberapa pasal-pasal juga perlu dikritisi dan dicermati secara seksama sehingga jelas dan tak bias.

Kembalikan Fungsi Keluarga dan Ibu

Ketika dilahirkan manusia baru (newborn baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan antara diri , ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light).  Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship.  Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling.   Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut.


Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya.  Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan.

Solusi dari masalah anak-anak di Indonesia adalah dengan jalan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama. Kedua nilai ini lebih bersifat mapan dan karena negara ini berlandaskan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sangat wajar nilai-nilai agama menjadi rujukan utama rakyat Indonesia.

Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu, dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara khususnya Departemen Agama memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.

One comment

  1. *mode provokasi on*
    Hare gene masih ngomongin sila pertama?!
    .
    *mode islami on*
    …kudunya yang dimaksud “ajaran agama” adalah syariah dan khilafah….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*