Menyoal Kekerasan terhadap Anak
Oleh Siti Nuryati (Muslimah HTI)
Dunia anak masih dalam duka. Hidup dan kehidupan anak terus ternoda dan dinodai oleh berbagai aksi kekerasan baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan negara. Dari tahun ke tahun berbagai aksi kekerasan tersebut terus mengalami peningkatan.
Belum lama ini kita dikejutkan dengan ulah seorang ibu yang tega membakar dua balitanya hidup-hidup lantaran kesal pada suami. Belum reda kasus tersebut, kisah seorang bapak yang tega menyetrika tubuh anaknya sudah harus menyusul menambah deretan panjang kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Tak hanya mengalami perlakuan salah dari orang tua/anggota keluarga, sosok bernama anak ini pun kadang masih harus berhadapan dengan guru yang belum seluruhnya mampu menjadikan dirinya sebagai pendidik anak yang baik. Bahkan di sektor publik, realitasnya bahkan lebih ironis. Banyak anak-anak yang dipaksa bekerja untuk menambal kehidupan ekonomi keluarganya.
Di beberapa daerah anak-anak sudah harus terjun menjadi kuli kontrak siang dan malam, buruh selama delapan jam sehari di pabrik dalam ruang tertutup dan menggunakan alat bermesin, atau kuli turunan di perkebunan. Bahkan ada pula yang dijadikan mangsa di hotel-hotel, tempat hiburan atau lokalisasi maksiat.
Di jalanan, manusia bernama anak itu, lagi-lagi menghadapi masyarakat dan negara yang tidak ramah terhadap diri dan statusnya. Berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk masyarakat telah menjadi bagian kesehariannya. Dan jangan heran, kekerasan itu, bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di pelosok kampung.
Mengurai Tanggung Jawab
Anak-anak, makhluk yang karena belum matangnya jasmani dan mentalnya ini seharusnya diberikan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak. Namun apa yang terjadi? Meski hak-haknya telah diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 39/1990, bahkan Undang-undang Perlindungan Anak (UU No.23/2002) pun telah dikeluarkan, namun semua itu masih sering sebatas ornamen dalam gelap.
Banyak faktor penyumbang terus berlangsungnya kekerasan terhadap anak. Mulai dari konflik sosial horizontal dan vertikal, policy dan kewajiban negara (pembangunan) yang tidak mendahulukan kepentingan terbaik dan memberikan yang terbaik kepada anak, keluarga yang kurang melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, masyarakat yang belum atau kurang menyadari kedudukan dan hak-hak seorang anak, penegakan hukum yang tidak memberikan keadilan bagi anak, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan kedudukan anak dalam keluarga, masyarakat dan negara berada pada kelas bawah yang pada gilirannya mengantarkan pada munculnya perasaan tak bersalah manakala akan atau setelah melakukan kekerasan terhadap anak.
Jika demikian, setidaknya ada empat subjek yang layak dituntut tanggung jawabnya terkait dengan “hidup matinya” dunia anak-anak. Pertama, Orang Tua. Para orang tua mestinya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan biarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi.
Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya).
Kedua, Guru. Di sini peran seorang guru dituntut untuk melihat bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan.
Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak. Ada toleransi yang diberikan sehingga tidak menimbulkan kepanikan bagi siswa.
Ketiga, Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat sekitar dia hidup. Untuk itu diperlukan kesadaran juga kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak kita ini. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu ini akan berpengaruh paa pembentuk mental dan pribadi anak. Menjadi tanggung jawab penyelenggara siaran TV untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.
Keempat, Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Bahwa orang tua berkewajiban menyayangi, mendidik dan melindungi anak-anaknya, itu benar. Namun ini bukan berarti, negara lantas melepas tanggung jawabnya. Untuk membumikan Konvensi-Konvensi yang telah diratifikasi, selain pengembangan sistem hukum formalnya, dibutuhkan juga perubahan yang sifatnya struktural. Adalah hal yang mustahil berharap masyarakat menyadari arti penting hak-hak anak jika disaat yang sama ternyata negara dan elit-elit politik masih belum memiliki sensitivitas terhadap persoalan anak. Padahal negara adalah pemegang kunci dalam pemenuhan hak-hak anak. Dapat dikatakan bahwa tidak terpenuhinya hak anak secara optimal karena tidak ada penjaminan yang jelas oleh negara.
Jika kita menginginkan generasi masa depan tumbuh dengan lebih baik, sangatlah wajar apabila anak-anak harus mendapatkan perhatian. Anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya di bawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Karena kita sadari kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas, bahkan masa depan anak-anak kita.
Bisa-bisa mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang tidak siap terjun dalam kehidupan ini. Bahkan tak mustahil mereka akan tumbuh menjadi ”anak-anak bermasalah” yang tidak mampu menyelesaikan persoalan dirinya, alih-alih persoalan bangsanya apalagi persoalan manusia secara universal. Untuk itu tiada dapat ditunda lagi, tumbuhnya komitmen bersama untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak, yang nota bene merupakan generasi penerus bangsa ini.(*)
…justru karena ada konvensi internasional dan UUPA, anak Indonesia terpuruk….
Selamatkan anak indonesia!!!