Membebaskan Tanah Isra Miraj

Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang sangat bersejarah bagi kaum Muslimin. Pada tanggal 27 bulan tersebut, Rasulullah saw atas kekuasaan Allah Swt diperjalankan dari masjid al-Haram ke mesjid al-Aqsha Palestina dan selanjutnya mi’raj ke sidratu al-Muntahâ hanya dalam waktu semalam.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

”Maha suci (Allah) yang telah menjalankan hamba-Nya di malam hari dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha yang kami berkati di sekelilingnya untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat kami. Sesungguhnya Ia maha Mendengar dan maha Melihat.” (QS al-Isrâ [17]: 1)

Namun di tengah gempitanya perayaan tersebut, Palestina yang merupakan tempat isra dan mi’rajnya Rasullah saw, kiblat pertama dan kota suci ketiga kaum muslimin Islam hingga saat ini masih terjajah oleh negara Yahudi. Konflik nyaris tak pernah padam. Bukan hanya dengan Palestina dengan Israel yang sejak tahun 1948 telah mencaplok sebagian wilayah kaum muslimin tersebut tapi juga perseteruan internal kaum muslim sebagaimana yang terjadi antara Hamas dan Fatah.

Penyiksaan dan pembantaian yang dilakukan secara sadis oleh tentara Israel terhadap kaum muslim hampir tak pernah sepi dari pemberitaan media. Ribuan nyawa kaum muslimin telah melayang dan mereka yang nasibnya terlunta-lunta di daerah pengusian terus bertambah. Saat ini diperkirakan jumlahnya telah mencapai sembilan juta orang (http://news.bbc.co.uk).

Berbagai keprihatinan dan perhatian telah ditunjukkan oleh masyarakat Internasional termasuk pemimpin-pemimpin negeri-negeri Islam terhadap kawasan tersebut, namun kondisinya semakin tidak menentu. Presiden SBY sendiri bahkan menegaskan sikap politik luar Indonesia terhadap Palestina yakni mendukung berdirinya negara Palestina. Hal tersebut disampaikannya sewaktu mendapat kunjungan dari Perdana Menteri Palestina, Salam Fayyad tanggal 12 Juli lalu. Bukan itu saja, ia juga menjanjikan bantuan kepada 1.000 pejabat Palestina (www.presidensby.info).

Sekilas nampak bahwa pernyataan SBY bernilai positif bagi perjuangan rakyat Palestina, padahal sejatinya pernyataan tersebut justru memperkokoh eksistensi negara Israel dan membuktikan sikap politik SBY sebenarnya tidak berbeda dengan para penguasa negeri-negeri Islam lainnya yang menjadi antek dan kaki tangan AS dan Negara-negara Eropa.

Sikap tersebut, pada dasarnya merupakan skenario negara-negara Barat yang dimotori oleh Amerika dan Inggris. Berbagai perundingan telah dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Salah satunya adalah Peta Jalan Damai yang digagas oleh Bush yang dikukuhkan pada Perjanjian Anapolis Desember 2007 lalu.

Berdirinya negara Palestina dianggap merupakan jalan terbaik untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan di Timur Tengah khususnya bagi rakyat Palestina. Hal tersebut tercermin dari pernyataan Bush yang mengomentari Peta Jalan Damai tersebut yang berjudul A Performance-Based Road Map to a Permanent Two-State Solution to the Israeli-Palestinian Conflict:

The roadmap represents a starting point toward achieving the vision of two states, a secure State of Israel and a viable, peaceful, democratic Palestine, that I set out on June 24, 2002. It is a framework for progress towards lasting peace and security in the Middle East.”(Peta jalan damai tersebut merupakan titik awal untuk mencapai visi dua negara, negara Israel yang aman, dan Palestina yang bergairah, damai dan demokratis yang telah saya rancang pada tanggal 22 Juni 2002. Hal tersebut merupakan kerangka untuk mencapai perdamaian dan keamanan di Timur tengah).(www.whitehouse.gov)

Ambisi Yahudi

Di sisi lain sebagian dari komunitas Yahudi (zionism) menganggap bahwa tanah Palestina adalah tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka. Berbagai cara mereka tempuh agar janji tersebut menjadi kenyataan termasuk berkongsi dengan Negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Namun demikian semasa kaum Muslimin masih dipimpin oleh seorang Khalifah, upaya mereka selalu kandas. Sejumlah delegasi Yahudi pernah bermaksud bernegosiasi dengan Khalifah Abdul Hamid II agar beliau mengizinkan orang-orang Yahudi berkunjung ke Palestina kapan pun mereka mau dan membolehkan orang-orang Yahudi mendirikan tanah koloni di dekat al-Quds yang dapat disinggahi ketika mereka melakukan ziarah. Sebagai kompensasinya mereka menawarkan kepada Khalifah: membayar seluruh hutang Daulah Utsmaiyyah, membangun armada lautnya untuk melindungi negera tersebut dan memberikan utang sebesar 35 juta lira emas tanpa bunga untuk membenahi keuangan negara dan meningkatkan pemasukannya. Dengan penuh ‘izzah sang Khalifah dengan tegas menolak tawaran tersebut dengan mengatakan:

“Katakanlah kepada orang-orang Yahudi yang tak punya malu itu sesungguhnya utang negara bukanlah suatu aib karena negara-negara lain pun seperti Perancis juga memiliki hutang. Sesungguhnya Baitul Maqdis yang mulia telah ditaklukkan pertama kali oleh sayyidina Umar dan saya tidak siap menanggung malu sepanjang sejarah dengan menjual tanah yang suci kepada orang-orang Yahudi dan mengkhianati amanah yang dibebankan kaum muslimin untuk menjaganya. Suruhlah orang-orang Yahudi menyimpan uang mereka. Negara yang tinggi tidak mungkin berlindung di balik benteng dengan harta musuh Islam. Beritahukan kepada mereka untuk keluar dan dan tidak mencoba lagi bertemu dengan saya atau masuk ke tempat ini” (Shahwah ar-Rajul al-Marîdh: 213-214)

Di lain waktu beliau juga pernah memberi peringatan kepada Theodore Hertzel tokoh utama pendirian negara Israel:

“Nasehatilah Dr. Hertzel agar tidak mengambil langkah-langkah serius dalam masalah tersebut. Karena saya tidak dapat melepaskan Palestina meski sejengkal. Ia bukan milikku, akan tetapi milik ummat Islam. Kaumku telah berjihad dan menumpahkan darah mereka untuk merebut tanah tersebut. Jika suatu saat daulah Khilafah telah tercerai-berai, maka pada saat itu mereka dapat mengambil Palestina tanpa kompensasi apapun.Namun, selama nyawa masih di kandung badan saya, maka dibedahnya tubuh ini lebih ringan bagi saya daripada melihat Palestina lepas dari negara Khilafah. Kami tidak akan pernah setuju jasad kami dibedah sementara kami masih hidup.”(www.hizb-ut-tahrir.info)

Abdul Hamid II sangat faham bahwa tanah Palestina bukanlah tanah milik seorang sultan, milik penguasa kaum muslimin dan bukan pula milik rakyat Palestina semata. Ia adalah tanah kaum muslim yang harus dijaga hingga Hari Kiamat. Sikap tersebut menunjukkan pemahaman beliau yang lurus tentang status Palestina sekaligus menunjukkan tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga keutuhan wilayah kaum muslimin. Sikap ini pula yang melekat pada pemimpin-pemimpin Islam di masa lampau. Shalahuddîn al-Ayyûby misalnya telah mengobarkan jihad pada tahun 583 H untuk mengusir tentara Salib yang mencoba untuk menguasai kembali wilayah Palestina. Hal yang sama juga dilakukan oleh Qutuz, Muhammad bin Qalun, Asyraf Khalil yang mematahkan serangan Mongol dan Tartar.

Namun setelah lengsernya Abdul Hamid II pada tahun 1909, orang-orang Yahudi pun dapat melenggang ke Palestina setelah orang-orang Turki Muda menjual tanah-tanah sebagian tanah tersebut kepada orang-orang Yahudi. Jika bukan karena pecahnya perang Dunia I dan penolakan kaum muslimin Palestina menjual tanah-tanah tersebut mungkin seluruhnya telah dikuasai Yahudi. Dari tahun 1909-1914 saja jumlah orang Yahudi yang melakukan migrasi ke Palestina sekitar 12 ribu Orang (Shahwah ar-Rajul al-Marîdh: 220).

Kemudian pada perang Dunia I, yakni 11 Desember 1917 Inggris berhasil menguasai wilayah Palestina. Bahkan pemimpin pasukan sekutu Jendral Allenby berkata:”Sekarang perang Salib telah usai.” Demikianlah dendam kesumat orang-orang kafir yang selama ratusan tahun dapat terbalaskan setelah berhasil melemahkan kekhilafahan Islam.

Kemudian pada tanggal 2 November 1917 Inggris menjanjikan pembentukan negara kepada Yahudi di Palestina melalui perjanjian Balfour. Setelah perang Dunia I berakhir Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengontrol Palestina yang salah satu agendanya adalah mempersiapkan berdirinya negara Palestina. Inggris pun mengambil sejumlah langkah untuk merealisasikan perjanjian Balfour. Salah satunya adalah melatih dan mempersenjatai orang-orang Yahudi.

Setelah berakhirnya perang dunia II, Majelis Umum PBB pada tanggal 29 Oktober 1947 mengeluarkan resolusi No. 181 yang membagi tanah Palestina menjadi dua bagian yakni tanah Arab dan tanah Israel. Selanjutnya pada tahun 1948 Israel terlibat perang dengan enam negara Arab—yang juga merupakan kaki tangan Inggris yang bermaksud mencegah berdirinya negara Israel. Perang tersebut sebenarnya merupakan rekayasa Inggris untuk menujukkan kehebatan Israel. Akhirnya tanggal 15 Mei 1948, Israel mengukuhkan dirinya sebagai sebuah negara merdeka. (al-Qadhayâ as-Siyâsiyyah: 6-8)

Setelah itu berbagai perundingan mulai dari Perjanjian Madrid, Oslo hingga Anapolis terus digelar. Tujuannya tidak lain untuk mengokohkan eksistensi negara Yahudi tersebut sambil menyibukkan kaum Muslimin solusi-solusi murahan yang sarat dengan konspirasi negara-negara Barat. Pokok perundingan hanya terbatas pada persoalan perdamaian kedua negara dan upaya pegembalian tanah Palestina yang direbut pada perang 1967 dan bukan meminta pengusiran orang-orang Yahudi dari tanah Palestina dan penghapusan negara Israel dari peta Arab.

Status Tanah Palestina

Palestina merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh Daulah Khilafah Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di dalam al-Mustaqshâ fi Fadhâil al-Masjid al-Aqshâ, setelah menaklukkan Damsyiq beliau kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ke daerah Iliyâ (Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama beberapa hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai kepada kaum Muslimin dengan syarat Umar bin Khattab menjumpai mereka.

Abu Ubaidah kemudian mengirim surat untuk meminta pendapat Umar bin Khattab. Umar lalu berunding dengan sejumlah sahabat tentang hal tersebut. Utsman r.a. mengusulkan agar beliau tidak ke Iliyâ dengan maksud untuk menghinakan mereka. Sementara Ali bin Abu Thalib meminta beliau tetap ke wilayah tersebut untuk meringankan pengepungan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Umar lantas memilih pendapat Ali dan memintanya menjadi pengganti beliau di Madinah. Setelah sampai di wilayah tersebut Umar bertemu dengan Abu Ubadah dan sejumlah pemimpin pasukan kaum muslimin seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sofyan. Abu Ubaidah bermaksud mencium tangan Umar atas kemenangan ini namun Umar malah bermaksud mencium kaki Abu Ubaidah. Namun masing-masing menolak untuk diberi penghormatan demikian. Umar lalu menyetujui perdamaian dengan orang-orang Nashrani (al-Bidâyah wa an-Nihâyah: V/65-66).

Adapun isi perjanjian antara Umar bin Khattab dengan Penduduk ‘Iliyâ yang dikenal dengan perjanjian ‘Umariyah atau ‘Iliyâ adalah:

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah apa yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, amirul mukminin kepada penduduk Iliyâ di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa dan harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja mereka tidak boleh ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil bagiannya ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka tidak boleh dimudharatkan. Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. Penduduk Iliyâ harus membayar jizyah sebagaimana halnya dengan penduduk kota lain. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan Lashut. Barangsiapa yang keluar dari mereka maka jiwa dan harta mereka aman serta perniagaan dan salib-salib mereka dibiarkan. Dan barangsiapa di antara mereka yang menetap maka mereka aman. Dan mereka harus membayar jizyah sebagaimana halnya penduduk Iliyâ. Dan siapa saja dari penduduk Iliyâ yang pergi dengan hartanya ke Romawi dan dan membawa perniagaan dan salib mereka maka mereka aman hingga mereka tiba ditempat mereka. Dan penduduk al-Ardh yang berada di Iliyâ sebelum terbunuhnya Fulan maka mereka boleh menetap namun mereka wajib memberikan jizyah sebagaimana penduduk Iliyâ. Dan siapa yang mau maka mereka boleh pergi dengan orang-orang Romawi. Dan siapa saja yang mau kembali kepada kelurganya maka tidak diambil apapun dari mereka hingga mereka memanen hasil pertanian mereka. Dan apa yang ada di dalam tulisan ini merupakan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para Khalifah dan kaum muslimin jika mereka memberikan jizyah. (Perjanjian) ini disaksikan oleh Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Auf dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Târîkh ar-Rusul wa al-Mulûk: II/307)

Bertolak dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam katagori ardh al-shulhi (tanah yang diperoleh melalui perundingan damai). Sedangkan status ardh al-shulhi sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Islam dengan penduduk negeri yang ditaklukkan. Selama tidak bertentangan dengan syara’, kaum Muslim pun wajib menaati klausul perjanjian yang telah disepakati itu. Rasulullah saw bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Perjanjian damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi).

Di dalam kitab ‘Awn al-Ma’bûd dijelaskan bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan makna kharaja makhraj al-ghâlib (mengikuti adat kebiasaan). Alasannya, perjanjian damai antara kaum Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada ghalibnya, yang diseru dengan hukum adalah kaum Muslim. Sebab, merekalah yang bersedia tunduk terhadapnya.

Rasulullah saw juga bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Kaum Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).

Berkaitan dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai status Yahudi. Di situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. Ketentuan ini berlaku hingga hari kiamat. Berdasarkan klausul tersebut, kaum Yahudi tidak boleh tinggal di Palestina. Terlebih dengan cara merampas dari pemiliknya, mengusir penduduknya, dan mendirikan negara yang berkuasa di atasnya.

Dukungan yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam eksistensi negara Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan tindakan yang dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum muslimin. Mereka tanpa malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di atas tanah yang dirampas dari kaum muslim. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen Barat (’umalâ) yang terus mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Padahal Allah Swt telah mengingatkan:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang yang tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalaian dari neger- kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Namun Allah melarang kalian untuk membantu orang-orang yang telah memerangi kalian, mengeluarkan kalian dari negeri kalian dan berupaya untuk mengeluarkan kalian. Barangsiapa yang menolong mereka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (QS al-Mumtahanah: 8-9)


Kemerdekaan dengan Khilafah

Terampasnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi dan dominasi negara-negara kafir terhadap negeri-negeri Islam lainnya seperti Irak dan Afganistan merupakan buah pahit akibat lenyapnya Khilafah Islamiyyah, institusi yang menjadi tameng kaum muslimin menghadapi negara-negara kafir. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ

”Barangsiapa yang mentaati saya maka ia telah mentati Allah dan barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah mentaati saya. Barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka ia telah bermaksiat kepada saya. Sesungguhnya imam adalah perisai di mana (kaum muslimin) berperang dan berlindung di baliknya. Jika ia memerintahkan dengan ketakwaan kepada Allah dan berbuat adil maka ia akan mendapat pahala dan jika ia berkata sebaliknya maka ia akan mendapatkan dosa.” (HR. Bukhari-Muslim)

Oleh karena itu hanya Khilafah-lah yang dapat melindungi kehormatan Islam dan kaum muslimin, menjaga perbatasan negeri-negeri Islam, menyatukan potensi ummat Islam dan mengumandangkan jihad fi sabilillah melawan negara-negara kafir seperti Israel dan mengusir mereka dengan penuh kehinaan dari tanah-tanah kaum muslimin.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak akan datang Hari Kiamat hingga kaum muslim memerangi Yahudi. Maka kaum muslim memerangi mereka hingga mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Namun batu atau pohon itu berkata: Ya muslim, ya Abdullah ini Yahudi di belakang saya, kemarilah dan bunuhlah dia kecuali pohon gharqad karena ia adalah pohonnya orang Yahudi. (HR. Muslim dan Ahmad)

Walhasil bulan Rajab merupakan momentum yang sangat tepat untuk menggelorakan dan meneguhkan kembali semangat kaum muslimin untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah, institusi yang akan membebaskan tempat Isra dan Mi’rajnya Rasulullah saw. Apalagi negara adidaya tersebut juga diruntuhkan pada bulan yang sama, 28 Rajab 1342 H. Wallahu a’lam bis-Shawab.

(M. Ishaq, Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia).

One comment

  1. Ayo Tegakkan khilafah untuk membebaskan al aqsha, palestina dan seluruh negeri2 Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*