LSM Gender Marak di Aceh
LSM perempuan marak di Serambi Mekah. LSM yang tadinya mewacanakan “menanusiaan” dan “recovery” kini mulai beralih pada “gender”
Hidayatullah.com–Beberapa saat usai musibah tsunami, ratusan LSM asing bertebaran di Aceh. Sebagian bahkan ada yang berkedok kemanusiaan, meski misinya adalah melakukan penyebaran injil. Kementerian Kesejahteraan Rakyat pernah mencatat, ada sekitar 150 LSM asing yang ikut berpartisipasi dalam fase rekonstruksi Aceh. Itupun yang tercatat resmi dalam MoU.
Tahun 2006, sebagaimana dikutip Antara, Sedikitnya ada 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diduga melakukan misi pemurtadan dan upaya pendangkalan aqidah terhadap puluhan anak bawah umur di daerah berjuluk Serambi Mekah itu.
“Dari hasil investigasi tim kami sekitar tiga bulan yang lalu, sampai hari ini ada puluhan anak Aceh di bawah umur direkrut dan dibiayai suatu yayasan yang diduga melakukan pendangkalan aqidah,” kata ketua tim investigasi dan koordinator Forum masyarakat anti trafiking (Format) NAD, Tarmizi M Daud.
Selain itu, musibah nampaknya ikut membawa “berkah”. Menjamurnya LSM asing membuat sebagian warga Aceh menjadi staf dan relawan di beberapa LSM asing. Proyek-proyek bertema “kemanusiaan” menjadi bahasa di mana-mana.
Sementara itu, pasca tsunami, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan tiba-tiba menjamur baik cendawan di musim hujan. Diantaranya; JARI (Jaringan Perempuan Untuk Keadilan – Aceh), RpuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), MISPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia), Solidaritas Perempuan Aceh, SeIA (Serikat ureung Inong Aceh), GKA (Gugus Kerja Aceh), Flower Aceh, BSUIA (Balai Syura Ureung Inong Aceh), YTMA (Yayasan Titah Madani Aceh), PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh), ‘Aisyiah Muhammadyah dan Perempuan Islam serta masih banyak yang lain.
Bahkan sebagian besar aktifis garis depan People Crisis Center (PCC) adalah perempuan, juga dengan Yayasan Matahari. Dua lembaga ini termasuk yang paling aktif dalam misi kemanusiaan pada masa darurat di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Ada pula Yayasan an-Nisa (Aceh Barat) dan Meulaboh Crisis Center (MCC).
Di Aceh Utara ada LBH-APIK dan Yayasan Hati Nurani (Lhoksukon). Di Pidie ada PASKA. Juga Badan Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (BPPPA) dan Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pusat Studi Perempuan Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry.
Menariknya, menjelang usai masa kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) melakukan recovery di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias tahun 2009 depan, wacana LSM di Aceh yang tadinya kemanusian dan recovery (pemulihan), kini beralih pada HAM dan gender. Wacana peran perempuan Aceh dan gender juga makin mengemuka setelah gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Effendi Hasan, mahasiswa S3 Universiti Kebangsaan Malaysia dalam sebuah artikelnya berjudul Rabu 27 Juni 2007 “Ada Apa Dengan Gender?” yang dimuat di situs www.acehinstitute.org mempertanyakan ada apa di balik isu-isu gender yang tiba-tiba menjamur di Serambi Mekah tersebut. Hasan, menilai, ada agenda Barat yang tiba-tiba masuk di Aceh yang dikenal sangat menjaga keislaman itu.
“Ada apa sebenarya dengan gender ini?. Apakah hak-hak wanita Aceh telah ditindas sehingga tokoh-tokoh gender Aceh dan NGO asing (baca: Barat) berlomba-lomba menuntut dan memperjuangkan hak tersebut. Kalaupun benar hak-hak wanita Aceh ditindas, siapa yang telah menindasnya?. Benarkan kaum laki-laki Aceh telah menindas dan melakukan kekejaman terhadap wanita ketika mereka memerintahkan isteri-isterinya dan anak-anak perempuannya untuk bekerja dan tinggal di rumah?,” tulis Effendi Hasan.
Menurut Hasan, tidak ada alasan kuat bagi para pegiat gender di Aceh untuk membawa wacana gender dari Barat di propinsi tersebut.
“Tapi, yang menjadi pertanyaan kita semua, mengapa masih ada sebagian tokoh gender di Aceh masih mengikuti dan mempelopori konsep-konsep pembebasan gender ala Barat?. Tidak cukupkah bagi tokoh gender Aceh untuk mencoba mengulang-kaji sejarah kegagahan dan peranan kesetaraan gender yang telah dipelopori oleh pahlawan dan tokoh perlawanan perempuan Aceh dahulu, dimana peranan mereka justru melebihi dari tokoh-tokoh pembebasan gender dari Barat itu sendiri. Atau memang sebaliknya tokoh gender Aceh takut di anggap kolot oleh tokoh gender Barat karena masih berpegang teguh pada nilai-nilai dan tradisi perjuangan tokoh-tokoh wanita dan pahlawan perempuan Aceh tempoe doeloe?. Atau malah tokoh-tokoh gender Aceh sengaja mengadaikan nilai-nilai tradisi dan maruah bangsa keacehan karena mengharapkan bantuan atau dana yang berlimpahan dari NGO asing yang akan di berikan kepada mereka dengan menjalankan agenda gender?.”
Dihapuskan
Maraknya isu gender di propinsi ini nampaknya memang menjadi masalah tersendiri. Sebelumnya, sebagaimana diberitakan Harian Analisa, edisi Senin, 28 Januari 2008, ribuan santri dayah dari sejumlah kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menggelar aksi unjuk rasa di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Ahad (27/1) pagi.
Dalam aksinya tersebut, para santri yang datang dari daerahnya dengan menggunakan puluhan bus dan truk mendesak agar keseteraan gender harus dihapuskan di Aceh karena tidak sesuai dengan ajaran Islam, meskipun itu diperjuangkan banyak orang selama ini.
Selain itu, Pemerintah Aceh dibawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub, Muhammad Nazar juga diminta untuk serius dalam pelaksanaan ajaran syariat Islam secara kaffah di berbagai sektor kehidupan masyarakat, tidak hanya kalangan bawah saja.
Perwakilan santri dan ulama dayah, Muslim At-Tahiri yang membacakan sejumlah rekomendasi meminta Pemerintah Aceh membuat sebuah qanun yang mengatur tentang paham Sunni di Aceh.
“Itu harus diatur dalam bentuk qanun. Akidah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tidak diperbolehkan di Aceh,” kata Muslim At Tahiri.
Selain itu, mereka juga juga meminta agar paham sekularisme dan pendangkalan akidah Islam diberangus. “Pemerintah Aceh harus serius dalam menjalankan amar makruf nahi munkar dan mengalokasikan dana bagi upaya meningkatkan penegakan syariat Islam,” ujar Tahiri.
Rekomendasi tersebut selanjutnya diserahkan kepada seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tgk Harmen Nuriqmar, yang hadir dalam kesempatan tersebut . Terhadap tuntutan dan rekomendasi santri dan ulama dayah tersebut, Harmen Nuriqmar menyatakan, ia akan menyerahkannya kepada Gubernur Aceh. “Saya akan meneruskan rekomendasi ini kepada rapat paripurna DPRA, selain kepada gubernur untuk ditindaklanjuti,” sebutnya. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com Tuesday, 05 August 2008]
Wahai rakyat aceh, janganlah kalian lengah sesungguhnya jaring-jaring kemaksiatan sedang ditebar ditanah anda maka kembalilah anda sebagaimana para pendahulu anda kepada Allah dan tinggalkanlah uluran tangan kaum kafir itu sesungguhnya yang diinginkan mereka tidak lain adalah lepasnya anda dari tali Agama Allah