Maklumat Politik Papua

A. Geografi dan Keadaan Alam

Letak

Propinsi Irian Jaya merupakan Propinsi Daerah Tingkat I paling timur dari wilayah Republik Indonesia yang terletak antara 130°45’00” sampai 141°48’00” Bujur Timur dan antara 0°19’00” sampai 10°43’00” Lintang Selatan.

Propinsi Irian Jaya berbatasan dengan :

Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea yang mengikuti garis meridian 141°48’00” Bujur Timur.

Bagian Barat berbatasan dengan Samudera Pasifik, Laut Seram dan Laut Arafuru (Propinsi Maluku).

Bagian Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik.

Bagian Selatan berbatasan dengan Laut Arafuru dan Samudera Hindia.

Dengan demikian letak Irian Jaya cukup strategis untuk lalulintas dan merupakan Pintu Gerbang Indonesia bagian Timur. Di bagian Selatan dekat dengan Benua Australia yang memungkinkan menjadi tempat persinggahan lalulintas Laut maupun udara.

2. L u a s

Luas Daerah Irian Jaya seluruhnya adalah 710.937 Km² yang terdiri dari perairan seluas 300.277 Km², sedangkan luas daratan adalah : 410.660 Km² atau 3,5 kali pulau Jawa. Daerah ini terdiri dari pulau besar (Irian daratan) dan beberapa pulau lainnya, antara lain seperti; pulau Yapen, Biak, Numfor, Waigeo, Salawati, Batanta, Misool dan ratusan pulau-pulau kecil lainnya. Luas wilayah ini terbagi atas 9 Kabupaten Daerah Tingkat II, 1 Kota Administratif, 117 Kecamatan, 66 Kelurahan dan 832 Desa Administratif.(data saat penulisan ilmiah 1986). Ditinjau dari segi topografinya, maka daerah Irian Jaya 75% merupakan daerah yang tertutup hutan tropis serta terpotong-potong oleh sungai-sungai, rawa-rawa, gunung-gunung, lereng-lereng dan lembah-lembah.

3. Sumber Daya Manusia

Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Papua menjadi persoalan tersendiri. Selain jumlah penduduk yang jarang, hanya sekitar 4 orang/km2, persebarannya pun tidak merata. Dengan luas wilayah Irian Jaya 410.660 km² itu (hampir empat kali luas P. Jawa) hanya diurus oleh 1 pemerintah provinsi (kini sudah 2 pemerintah provinsi) dengan sarana dan prasarana yang minim. Sebagian besar masyarakatnya hidup dala kondisi terisolir, tak ada jalan darat dan hanya mengandalkan penerbangan pesawat kecil (Twin Otter) untuk transportasi antar kecamatan (Distrik).

B. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Irian Jaya

Sebelum bangsa barat menemukan pulau Papua, sultan Tidore ke-10 yang bernama Ibnu Mansur bersama beberapa anggota ekspedisinya menginjakkan kaki mereka ke beberapa pulau di bagian barat pulau papau pada tahun 1453. Pulau-pulau itu kemudian dijadikan wilayah taklukannya, dan diberi nama “Papo ua” yang artinya tidak bergabung, atau tidak bergandengan (not integrated), atau tidak bersatu, kemudian dikenal dengan nama Papua. Kesultanan Tidore mempunyai peran yang cukup besar dalam perkembangan Papua, khusus dalam membuat perjanjian dengan dengan pelaut dari barat. Oleh karena itu pada tahun 1956 ketika Irian Barat masuk ke dalam pangkuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka Tidore ditetapkan sebagai Ibu kota Irian Barat yang pertama dan Gubernurnya Sultan Zainal Abidin syah.

Papua merupakan daerah yang meiliki kekhasan tertentu dibandingkan dengan daerah lain di Indinesia. Sebagian besar penduduk Indonesia berasal dari ras Austronesia, maka penduduk asli Papua adalah dari ras Melanesia yang termasuk di dalamnya Kaledonia baru, Fiji, Salomon, dan New Hebrides. Persamaan dari wilayah Melanesia ini adalah penduduknya yang berambut keriting, bermata pencarian petani dengan umbi dan talas.

Dilihat dari sejarah pemerintahannya, di Papua terjadi beberapa hal yang menarik dikaji:

Penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia

Sejarah Irian Jaya mempunyai hubungan yang unik dalam kerangka sejarah Indonesia. Propinsi paling Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini diserahkan kepada Republik Indonesia melalui perjuangan yang cukup panjang. Penyerahan wilayah-wilayah jajahan Belanda pada tahun 1950, yang didasarkan pada perjanjian politik “Komperensi Meja Bundar” tahun 1949 di Den Haag, Irian Jaya tidak termasuk di dalamnya.

Setelah Perang Dunia II, yang sebelumnya tergabung dalam Keresidenan Maluku, kemudian dijadikan suatu Keresidenan tersendiri di bawah Pemerintah Belanda, yang sejak lama berusaha memisahkan Irian Jaya dari Indonesia secara politik. Perbedaan tentang kedudukan Propinsi ini pada Konferenai Meja Bundar, memperlihatkan usaha-usaha Pemerintah Belanda untuk tetap mempertahankan Irian Jaya mendapat dukungan yang luas di negeri Belanda, terutama karena mendapat tekanan dari kelompok dalam negeri Belanda yang timbul sebagai luapan emosi Nasionalisme atas wilayah-wilayah jajahan, serta untuk menyesuaikan missi morilnya terhadap Nieuw Guinea memperkokoh posisi Belanda.

Sikap tersebut ditentang keras oleh Indonesia atas dasar anggapan hubungan Irian dengan Hindia Belanda. Berbagai ikhtiar Indonesia pada waktu itu untuk mendapat dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) tidak mendapat tanggapan. Pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membentuk suatu Negara Federasi Indonesia, Negara Indonesia Serikat yang nantinya diharapkan dapat dipertentang atau sebagai lawan terhadap Negara Republik Indonesia yang berpusat di Jogyakarta.

Tiga konferensi politik, yaitu Konferensi Malino bulan Juni 1946, Konferensi Pangkalpinang bulan Oktober 1946, dan Konferensi Den Pasar bulan Desember 1946 adalah Konferensi-konferensi dalam merintis usaha itu. Toko-tokoh Indonesia yang menghadiri konferensi itu, oleh Pemerintah Belanda dianggap mewakili daerah-daerah yang berada di luar kekuasaan de facto Negara Republik Indonesia. Mereka diundang dan diajak untuk membentuk suatu organisasi persiapan menuju suatu Negara Indonesia Serikat yang akan merdeka di masa yang akan datang dibawah pembinaan Negara Belanda. Konferensi Den Pasar bertujuan untuk mempersiapkan suatu Negara Indonesia Serikat yang dipersiapkan, dan pada konferensi itu wakil dari Irian Jaya tidak diundang.

Berbagai usaha lainnya ditempuh oleh Pemerintah Belanda untuk memisahkan Irian Jaya dari Indonesia, antara lain dengan memasukkan Irian menjadi anggota organisasi gabungan wilayah-wilayah jajahan Australia, Selandia Baru, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat, yaitu yang tergabung dalam South Pasific Commission. Juga membentuk Dewan Nieuw-Guinea, merupakan badan yang dipersiapkan ke arah pembentukan Pemerintahan Otonomi Irian di bawah Pemerintah Belanda.

Penundaan penyerahan wilayah Irian Jaya kepada Republik Indonesia tahun 1950, dan penolakan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas permohonan Indonesia untuk meninjau kembali masalah Irian Jaya pada tahun 1957, membawa akibat sikap keras Indonesia yang diikuti tindakan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1958.

Timbulnya pergolakan-pergolakan di dalam negeri seperti PRRI/Permesta, RMS, DI-TII dan sebagainya, mengakibatkan perjuangan pembebasan Irian Jaya mengendur sampai tahun 1961. Perjuangan pembebasan Irian Jaya kembali menjadi perhatian serius setelah pergolakan itu dapat diatasi.

Presiden Soekarno pada tauggal 19 Desember 1961 mengumumkan mobilisasi Nasional yang merupakan persiapan perlawanan bersenjata untuk membebaskan Irian Jaya. Penegasan sikap ini tercermin dari apa yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (TRIKORA), yaitu :

Menggagalkan pembentukan Negara Boneka Nieuw Guinea buatan Belanda.

Mengibarkan Sang Merah Putih di wilayah Irian Barat.

Mempersiapkan mobilisasi umum guna mempertahankan kesatuan tanah air.

Sejak saat itu terjadilah pertempuran walaupun masih bersifat sporadis antara Indonesia dan Belanda. Meskipun bukan keberhasilan dalam merebut kembali Irian Jaya namun kekuatan militer yang telah digerakkan itu mendorong keberhasilan diplomasi Indonesia di luar negeri. Amerika Serikat beranggapan bahwa perang terbuka akan terjadi dan hal ini tidak menguntungkan pihak Amerika, karena intervensi Militer Amerika niscaya akan terjadi untuk mencegah Indonesia merebut Irian Jaya. Tindakan demikian akan menempatkan Amerika Serikat berhadapan dengan Nasionalisme Indonesia dan masuk perangkap Moskow, Peking dan Partai Komunis Indonesia.

Perubahan sikap Amerika Serikat dalam masalah Irian Jaya yang sebelumnya berpihak kepada Belanda, mempercepat proses penyelesaian masalah Irian Jaya. Baik Amerika maupun Belanda tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Amerika Serikat telah melakukan tekanan keras terhadap Belanda untuk mengalah.

Pada bulan Agustus 1962, perjanjian Indonesia Belanda ditandatangani. Irian Jaya kemudian diserahkan oleh Belanda kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB). Selama Irian Jaya masih dalam juridiksi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1962 – 1963 Pemerintahan di Irian Jaya dilaksanakan oleh suatu Pemerintahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada tahun 1963 Irian Jaya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan menjadi suatu Propinsi dari wilayah Negara Republik Indonesia dengan nama Propinsi Irian Barat.

Penyerahan Irian Jaya dari UNTEA kepada Republik Indonesia pada bulan Mei 1963 dengan janji bahwa Indonesia akan melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Pada pelaksanaan PEPERA tersebut, wakil-wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa menghendaki penggunaan sistem satu orang satu suara, terutama di kota-kota, tetapi Pemerintah Indonesia memilih sistem musyawarah diantara wakil-wakil dari tingkat Kabupaten yang diseleksi di bawah pengawasan wakil-wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan suara bulat para wakil memilih untuk tetap bersama Indonesia. Namun demikian, pada waktu penyelenggaraan musyawarah timbul ketegangan-ketegangan terutama tentang sistem pemungutan suara oleh kelompok penduduk yang memihak Belanda menghendaki sistem satu orang satu suara.

Pelaksanaan Pepera dilaksanakan oleh Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang seluruhnya beranggotakan 1.025 orang mewakili 9 Kabupaten didasarkan atas perhitungan perimbangan penduduk. Musyawarah yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969, bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Pemerintah Indonesia : Apakah mereka akan tetap bersatu dengan Indonesia, apakah mereka ingin melepaskan diri dari hubungan dengan Indonesia?

Hasil Musyawarah Dewan Pepera memutuskan untuk tetap berada dalam wilayah Republik Indonesia, kemudian hasil musyawarah tersebut diperkuat oleh DPRD-GR Propinsi Irian Barat pada tanggal 5 Agustus 1969, dan diterima dengan setuju oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejarah Pemerintahan di Papua

Secara historis, Irian Jaya (Nieuw-Guinea) pada abad ke-8 secara tidak langsung merupakan bagian dari kerajaan Madjapahit dalam masa Pemerintahan Hayam Wuruk dimana berbagai Kepala Daerah seluruh penjuru Indonesia, termasuk sebagian wilayah Irian Jaya menandatangani perjanjian kerjasama dalam rangka kepentingan perdagangan dan untuk mempersatukan diri dengan negara Madjapahit.

Pada abad ke-15, Irian Jaya telah beradaptasi dengan Kesultanan Tidore dan dunia luar dimana membawa perubahan-perubahan sosial budaya pada penduduknya, terutama di daerah Kepala Burung (Sorong). Islam sdh Masuk (1486) yang masuk dari kesultanan Ternate (zainal abidin), lalu diikuti: tidore, jailolo dan Bacan.(skitar 400 thn lbh dulu). Sementara agama kristen yang di klaim sebagai agama pertama yang masuk ke Papua. Ini manipulasi sejarah oleh para misionaris & pemerintah. Sementara Kristen prot. 5 Febr 1855, Penginjil Protestan asal Jerman Carl W. Ottow & Johann Gottlob Geissler mendarat di P.Mansinam, 3 km dari kota pelabuhan Manokwari. Sedangkan Katolik mulai 1892, kedatangan Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ di Desa Sekeru, kini bagian Keuskupan Manokwari-Sorong

Masuknya para misionaris ini seiring dengan masuknya penjajah ke Papua. Pemerintah Hindia Belanda ditandai dengan didirikannya benteng Port Dubuis di teluk Triton. Dalam perkembangannya, berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Nomor 19 tahun 1898, Irian Jaya dibagi menjadi 2 (dua) wilayah Afdeling termasuk dalamnya Residensi Ternate, yaitu Afdeling Noord Nieuw Guinea dan Afdeling West Nieuw Guinea yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur.

Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal, Nomor 25 tahun 1901, Staatblad 1901/239, Afdeling Zuid en West Nieuw Guinea dipecah menjadi 2 (dua) Afdeling, masing-masing Afdeling yaitu Zuid Nieuw Guinea dan Afdeling West Nieuw Guinea. Dengan pembagian tersebut di Irian Jaya pada masa itu terdapat 3 (tiga) Afdeling.

Pada tahun 1942, Afdeling Noord Nieuw Guinea dipecah menjadi 5 (lima) Onderafdeling, yaitu: Onderafdeling Sorong, Serui, Sarmi, Manokwari dan Hollandia. Dengan berlakunya Bewindsregeling Nieuw Guinea 1949, maka penyelenggaraan Pemerintahan Umum di Irian Jaya dilaksanakan oleh seorang Gubernur atas nama Ratu Belanda. Berdasarkan peraturan tersebut, Gubernur berwenang dalam menetapkan pembagian wilayah Irian Jaya. Dengan kewenangan tersebut dibentuk beberapa Afdeling definitif dimana berdasarkan Bewindsregeling Nieuw Guinea 1955, keadaan pembagian wilayah Irian Jaya adalah 6 (enam) Afdeling, yaitu Jayapura Merauke, Pegunungan Tengah, Biak, Manokwari dan Fak-fak, membawahi 22 (dua puluh dua) wilayah Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Hoofd van Plaatselyke Bestuur (HPB).

Wilayah Onderafdeling membawahi Distrik yang seluruhnya berjumlah 65 (enam puluh lima) yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik dan Distrik membawahi beberapa kampung. Hubungan sejarah yang unik, menyebabkan setelah penyerahan atas wilayah Irian Jaya oleh UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Mei 1963, memerlukan pengawasan yang khusus atas wilayah ini oleh Sektor Khusus Irian Barat dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Sampai dengan tahun 1969 semua aktivitas Pemerintahan di Irian Jaya dibiayai dan dilengkapi dengan jumlah pegawai yang besar oleh Pemerintah Pusat yang dikoordinir oleh/melalui Sektor Khusus.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1969, dimulailah pelaksanaan Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten-kabupaten di Irian Jaya. Dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1969, Irian Jaya diberikan hak Otonomi. Penyerahan urusan Pemerintahan menjadi urusan rumah tangga Daerah, yang meliputi; Pertanian, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum dan Kehutanan merupakan penyerahan pertama. Dalam prakteknya kemudian sampai dengan tahun 1971, Sektor Khusus masih tetap mempunyai pengaruh yang besar terhadap Otonomi di Irian Jaya karena ketergantungan Daerah yang besar akan Subsidi dari Pemerintah Pusat dan Kepegawaian.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1969 dibentuklah 9 (sembilan) Kabupaten, tiga diantaranya yaitu : Jayawijaya, Sorong dan Japen Waropen yang merupakan pemekaran dari 6 (enam) Kabupaten sebelumnya. Tiap Kabupaten mempunyai sekitar 4 sampai 6 wilayah Kepala Pemerintah Setempat (KPS) dan setiap Kepala Pemerintah Setempat membawahi beberapa Distrik. Tiap Distrik membawahi beberapa bahkan berpuluh-puluh kampung.

Struktur Pemerintahan yang terdiri dari Kepala Pemerintahan Setempat dan Distrik tersebut, merupakan pola peninggalan Pemerintahan Belanda yang masih berlaku dan dilaksanakan sampai tahun 1973. Untuk kepentingan penyeragaman dengan struktur Pemerintahan yang berlaku pada Propinsi-propinsi di luar Irian Jaya, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1973, yang menghapuskan status Kepala Pemerintahan Setempat dan Distrik, menjadi 116 Wilayah Kecamatan. Sejak itu pula segala ketentuan peraturan perundangan tentang Pemerintahan Daerah berlaku secara keseluruhan di Irian Jaya.

C. Ideologi

Ideologi yang berkembang di Papua lebih pada ideologi kapitalis yang disebarkan melalui jaringan para misionaris. Hal ini pula yang membuat pemerintah RI kesulitan dalam menanamkan nilai ideologi negara. Narnun demikian disadari bahwa penerimaan Pancasila di dalam masyarakat dapat dikategorikan/ dikelompokkan dalam 3 bagian, yakni: menerima, menolak serta kelompok yang belum mengenal. Sebagian besar menerima ideologi yang ada. Umumnya mereka adalah pegawai/aparat pemerintahan sipil maupun ABRI, penduduk di sekitar perkotaan dengan kadar yang bervariasi antara menerima dan memahami sampai dengan yang mengetahui secara terbatas. Ada juga sekelompok kecil masyarakat yang dimiliki ide separatis umumnya terdiri dari putra asli daerah yang berada di hutan-hutan sebagai anggota GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) maupun yang berada di perkotaan sebagai orang swasta, pelajar serta mahasiswa sebagai simpatisan maupun sebagai aktivitas. Umumnya terdiri dari penduduk yang berasal dari luar daerah, dan sisa-sisa anggota ex PKI dan simpatisannya. Ada juga kelompok yang belum mengenal ideologi. Adalah bagian masyarakat khususnya masyarakat pedalaman yang karena faktor tingkat pendidikan atau tingkat kehidupan sosialnya, belum tersentuh layanan pemerintahan maupun layanan dari para misionaris. Kelompok ini merupakan bagian terbesar masyarakat asli Papua yang tinggal di tengah hutan secara nomaden. Sementara ideologi islam sendiri sudah dikenal sebagian masyarakat Papua daerah pesisir jauh sebelum datangnya para misionaris. Fakta inilah yang coba diputar balikkan oleh para misionaris dan pemerintah agar kesan Papua sebagai daerah kristen tetap terjaga.

D. Sosial Politik

Dalam bidang kehidupan sosial politik di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya terutama di kalangan masyarakat asal Irian Jaya dipengaruhi pula oleh perkembangan politik di kawasan Pasifik Selatan/Barat Daya. Timbulnya negara-negara baru di kawasan Pasifik Selatan/Barat Daya yang kebetulan merupakan negara-negara dengan identitas Melanesia telah menciptakan iklim berkembangnya cita-cita untuk berdiri sendiri bagi sementara kaum separatis Irian Jaya.

Upaya pemerintah untuk menyadarkan kaum separatis menjadi tak berarti karena dilakukan kurang begitu serius sebagaimana yang dilakukan para misionaris. Para misionaris yang berkedok kemanusiaan itu ternyata tidak menanamkan ideologi lain sehingga gerakan separatis bukannya berkurang namun semakin mendapat angin. Masyarakat Papua yang semula hidup di tengah hutan belantara secara berpindah-pindah itu sebenarnya hidup secara alamiah saja. Jauh dari gerakan separatis. Namun seiring masuknya para misionaris yang mengajari mereka ke gereja, termasuk belajar lagu kebangsaan itu membuat masyarakat yang semula hidup secara alamiah di tengah hutan itu jadi ikut gerakan separatis.

E. Ekonomi

Potensi kekayaan alam yang dimiliki Papua sangatlah besar. Selain berbagai potensi barang tambang yang sudah terkena seperti emas, tembaga, minyak bumi, gas alam dlll, Papua juga mempunyai areal hutan yang teramat luasnya.

Sementara secara geografi, Papua mempunyai dasar potensi ekonomi yang terpisah-pisah seperti letak kota/daerah kabupaten yang terpisah oleh keadaan topografi. Karena itu potensi dan kekayaan alamnya berlainan pula antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, misalnya :

Kabupaten Merauke menghasilkan kopra, karet, padi, udang, kulit buaya dan ternak;

Kabupaten Pak-Fak menghasilkan palawija dan kayu;

Kahupaten Sorong menghasilkan kopra, kayu dan ikan laut;

Kabupaten Yapen Waropen menghasilkan coklat dan kayu;

Kabupaten Jayapura menghasilkan kopra, coklat, kayu. dan ikan laut; dan

Kabupeten Manokwari menghasilkan kelapa sawit.

Dengan kondisi semacam ini dapat dipastikan menggiurkan para penjajah ekonomi untuk turut menjarah kekayaan alam Papua. Melalui kaki tangannya (antek-anteknya) para penjajah akan menggunakan segala cara untuk bisa menjarah kekayaan alam di negeri ini, tak terkecuali di Papua yang sangat menggiurkan itu.

Mineral dan Minyak

Beberapa mineral yang terdapat di Papua merupakan sumber energi penting. Hingga saat ini hanya sebagian  kecil yang dieksplorasi. “Laporan tentang Pemeriksaan Geologis Ekonomi dari Novegelkop” di Kantor Cabang Departemen. Pertambangan dan Energi Propinsi Papua menyebutkan bahwa beberapa mineral yang tersebar di beberapa Kabupaten adalah :

1. Kabupaten Jayapura  :  Aluminium, Khrom, Batu bara, Emas, Perak, Nikel, Platina/Emas putih,Tungsten, Thorium, marmer, Asbes, Talek, Batu bara dan Minyak.

2. Kabupaten Manokwati :  Nikel, Khrom, Mika, Batu bara, Timah putih, Tembaga dan Thorium.

3. Kabupaten Sorong       :  Nikel, Tembaga, Intan, Timah, Aluminium, Batu bara, dan  Minyak.

4. Kabupaten Paniai        : Warangan ( arsenic ), Marmer, Perak, Tembaga, Emas, dan  Tanah liat untuk pembuatan Porselin (koalin ).

5. Kabupaten Yapen Waropen : Nikel, Besi, Batu bara, dan Minyak.

6. Kabupaten Biak Numfor  :  Fosfat, apait, Batu bara, dan Minyak.

7. Kabupaten Jayawijaya    :  Tungsten.

8. Kabupaten Merauke        :  Emas, Perak, dan Minyak.

9. Kabupaten Fak-Fak        :  Tembaga, Emas, Air raksa.

Pertambangan

Papua memiliki berbagai mineral dalam jumlah yang sangat besar. Untuk memanfaatkan mineral-meneral tersebut, penelitian dan pendataan telah dilakukan di semua kabupaten.

Dari sekian banyak mineral di propinsi ini hanya mineral minyak bumi dan tembaga yang sudah dieksploitasi dalam skala besar.

Produksi minyak bumi di Papua melonjak sangat cepat yaitu dari 401.875 barel pada tahun 1975 menjadi 12.560.539 barel pada tahun 1985. Sedangkan produksi gas alam mencapai 7.216788 mef pada tahun 1985.

Fenomena Pengelolaan Pertambangan PT Freeport

Pertama: Sejak bulan April tahun 1967 Freeport telah memulai kegiatan eksplorasinya di Papua-yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia-sebanyak 2,5 miliar ton melalui Kontrak Karya I yang penuh dengan intrik dan tipudaya. Kegiatan eksplorasinya pun tak tanggung-tanggung. Sepanjang tahun 1998, misalnya, PT Freeport Indonesia menghasilkan agregat penjualan 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas (Lihat: Sabili edisi 16/Februari/2006). Tahun 1992 hingga 2002 Freeport memproduksi 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas (Lihat: Catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Alam). Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan rupiah sepanjang tahun.

Wajar jika hanya dalam kurun waktu dua tahun berproduksi (tahun 1973), Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya itu. Itu belum termasuk hasil tambang ikutannya seperti emas, perak, dan yang lainnya. Itu juga belum ditambah penemuan lokasi tambang baru (tahun 1988) di Pegunungan Grasberg yang mempunyai timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar. Walhasil, sejak awal Freeport telah mengeruk dengan serakah kekayaan sumberdaya alam Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kedua: Pencemaran lingkungan juga menjadi persoalan yang serius. Penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailling (butiran pasir alami yang halus hasil pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 ribu metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%-nya. Inilah yang diolah menjadi konsentrat yang kemudian diangkut ke luar negeri melalui pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru. Sisanya, sebanyak 97% berbentuk tailing. Akibatnya, sungai-sungai di sana tidak lagi disebut sungai karena berwarna coklat lumpur tempat pembuangan limbah tailing. Limbah Freeport juga telah menghancurkan fenetasi hutan daratan rendah seperti yang terjadi di Dusun Sagu, masyarakat Kamoro di Koprapoka, dan beberapa dataran rendah di wilayah Timika. Selain itu, Danau Wanagon pernah jebol dan menelan korban jiwa karena kelebihan kapasitas pembuangan dan terjadinya perubahan iklim mikro akibat penambangan terbuka.
Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan pada tahun 1996-dan disetujui oleh pihak Freeport-bahwa ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Faktanya, telah terjadi pencemaran dan linkungan baik hutan, danau dan sungai maupun kawasan tropis seluas 11 mil persegi.


Ketiga: Dampak sosial dari keberadaan Freeport tidak bisa dipandang remeh. Berlimpahnya dana yang beredar di sana justru melahirkan bisnis prostitusi. Ironisnya, dari tahun ke tahun, bisnis esek-esek ini cenderung meningkat. Sebagai misal di Timika, kota tambang Freeport, sebagaimana hasil investigasi sebuah LSM, disebutkan bahwa Timika adalah kota dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia (Lihat: Sabili, edisi 16/Februari/2006).

F. Sosial Budaya

Masyarakat Papua pada umumnya, Apabila diselidiki dari aspek kesatuan budaya, maka dari sana akan didapati empat aspek yaitu : aspek sosiologi, psychologis, antropologis dan typeologis. Keempat aspek ini antara satu suku dengan suku yang lainnya secara prinsipil sangat berbeda. Hal itu dliihat dari identitas yang diperkuat oleh kekuatan. bahasa dari berbagai suku dan daerah yang terhadap hampir 300 – 400 bahasa dengan beraneka ragam suku. Dengan demikian Irian Jaya merupakan Taman Bahasa di dunia berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Lembaga Ahli Penyelidikan Bahasa (SKL), sedangkan Bahasa Indonesia telah lama sudah memasyarakatkan di Irian Jaya dan telah berfungsi sebagai “Alat Kontak Komunikasi” yang merupakan alat pemersatu bangsa yang memperkuat Wawasan Nusantara.

Dinamika sistem Budaya di Irian Jaya bersifat paternalistik, karena berorientasi dari bawah ke atas, (Vertikal) dalam arti mengikuti Pimpinan kelompok Sukunya, seperti misalnya: Kepala-kepala Suku, Kepala Adat (Ondoavi), Kepala Perang (Panglima Perang). Susunan Pemerintahan Adat ini sangat memungkinkan akan mendukung Pembangunan daerah asalkan dibina dan kemudian diajak para Pemimpin dan bersama-sama aktif dalam proses Pembangunan Daerah.

Hukum Adat yang tak tertulis masih berlaku di berbagai suku dan Daerah seperti : Hukum Adat Tanah, Warisan (Ahli Waris, Hukum Ganti Rugi, Hukum Adat Perkawinan, Hukum Adat Transaksi (Hukum) Perjanjian dan Norma-norma Hukum. Adat lainnya tetap kuat dan berlaku sampai sekarang. Begitu pula dengan suku-suku yang masih jauh dalam jangkauan pihak Missionaris maupun Pemerintah Daerah Irian Jaya merupakan suku-suku terasing dan terisolir sekitar ± 10-20 ribu jiwa dan pada umumnya mereka itu tetap mempercayai adanya hal-hal yang bersifat tahyul.

Penduduk asli Irian Jaya termasuk ras Melanesian yang terdiri dari ± 280 suku yang beberapa diantaranya masih merupakan suku terasing yang belum tersentuh oleh modernisasi. Suku-suku tersebut hidup terpencar dan tidak merata di pedalaman Irian Jaya, masing-masing dengan adat-istiadat maupun bahasanya sendiri-sendiri. Hal tersebut menimbulkan rasa kesukuan yang sangat tebal yang menyebabkan menonjolnya peranan kepala suku maupun kepala adat (Ondofolo dan Ondoafi). Kebanggaan kesukuan yang telalu besar menyebabkan suku-suku tersebut hidup secara eksklusif, di mana kepentingan lingkungan yang akhirnya sering menimbulkan perang antara suku yang satu dengan suku yang lainnya. Untuk mengurangi sikap eksklusif tersebut telah ditempuh berbagai upaya diantaranya dalam bentuk resettlement (pemukiman kembali).

Kebudayaan penduduk asli Irian Jaya belum banyak mendapatkan pengaruh dari luar dan masih meneruskan adat-istiadat yang dipelihara secara turun temurun. Isolasi lingkungan dan keadaan topografi menyebabkan sebagian besar penduduk, khususnya di daerah pedalaman, tidak dapat saling berhubungan satu sama lain sehingga menimbulkan beraneka ragam kebudayaan/adat istiadat.

Di zaman Pemerintahan Hindia Belanda, daerah pegunungan Tengah yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Jayawi Jaya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai dijadikan daerah karantina untuk semua orang (pendatang) yang akan masuk daerah ini. Bagi penduduk (pegawai) pendatang baru harus memliliki surat keterangan bebas karantina. Usaha ini pada kenyataannya cukup berhasil, karena penduduk pedalaman jarang terkena penyakit asal daerah pantai/daerah panas. Namun dewasa ini menunjukkan kecenderungan adanya kebebasan keluar masuknya masyarakat di suatu daerah di satu pihak, dan kurangnya pengawasan terutama dalam bidang kesehatan di lain pihak, sehingga mengakibatkan kemungkinan-kemungkinan bagi berkembangnya penyakit yang justru merupakan beban hagi pihak Pemerintah dan masyarakat sendiri unuk terus berusaha menanggulanginya.

Masalah sosial lain yang bersifat menghambat pembangunan daerah adalah sebagai berikut :Keterbelakangan. Sebagian besar penduduk daerah Irian Jaya kehidupan terasing, dimana masyarakat hidup dalam kondisi fisik alam yang sangat terisolir dari dunia kehidupan modern, sehingga tidak terjadi interaksi sosial yang mempengaruhi kehidupan dari alam tradisionil ke arah perubahan, pembaharuan dalam pembangunan. Kehidupan sosial penduduk Irian Jaya pada urnumnya sangat sederhana, di samping itu masih ada penduduk suku-suku terasing yang diperkirakan 54 % dari jumlah penduduk di Irian Jaya.

Kemiskinan dan ketidakmampuan. Kemiskinan dan ketidakmampuan serta implikasinya di Irian Jaya merupakan masalah yang sangat serius. Hal tersebut sebagai gambaran penduduk masih menujukkan tingkat kehidupan relatif rendah, kemampuan management skill dan ketrampilan kerja pun masih relatif rendah dengan ditandai; kemelaratan, keterlantaran anak, masalah kekurangan gizi, kecacatan, dan lain sebagainya.

Masalah bencana yang menimbulkan korban. Tidak dapat dibantah bahwa Wilayah Irian Jaya adalah termasuk daerah jalur gempa bumi sehingga Irian Jaya sering-sering terjadi bencana alam dan sulit dibuat suatu perkiraan.

G. Agama

Mayoritas penduduk Papua beragama Kristen. Jumlahnya terpaut sedikit dengan Islam. Namun, sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris baik asing maupun Indonesia yang melakukan misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman  Papua.  Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat baik melalui sekolah-sekolah misionaris, pengobatan-pengobatan maupun secara langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar bahasa Indonesia maupun pengetahuan-pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler. Data mengenai jumlah pemeluk agama dan tempat ibadahnya dapat dilihat pada tabel dibawah.

Jumlah penduduk berdasarkan pemeluk agama di Papua:

Data

2005

2006

Satuan

Agama

1. Jumlah Pemeluk

a. Islam

762,300

822,000

Orang

b. Kristen

1,705,405

1,084,967

Orang

c. Katolik

675,244

714,194

Orang

d. Hindu

10,869

7,210

Orang

e. Budha

4,400

Orang

f. Konghucu

Orang

g. Lainnya

Orang

2. Sarana Ibadah

1. Masjid

921

921

Unit

2. Langgar/Mushola

600

600

Unit

3. Gereja Kristen

5,611

5,611

Unit

4. Gereja Katolik/Kapel

1,450

Unit

5. Pura/Kuil/Sanggah

32

32

Unit

6. Vihara/Ceta/Klenteng

Unit

3. Pondok Pesantren

1. Jumlah Pesantren

3

34

Unit

2. Santri

3,604

3,965

Orang

4. Jumlah Jamaah Haji

Orang

H. Pertahanan dan Keamanan

Peran utama kekuatan pertahanan keamanan di Papua saat ini seharusnya difokuskan dalam rangka memelihara, dan menangkal ancaman, hambatan serta gangguan, baik dari dalam negeri dan terutama dari luar negeri. Sampai sejauh ini, yang masih tetap merupakan prioritas adalah masalah-masalah sebagai berikut:

Masih adanya separatis Gerakan Pengacau Keamanan/Organisasi Papua Merdeka dengan segala dampak negatifnya, khususnya masalah pelintas batas perbatasan antara Republik Indonesia – PNG yang memerlukan perhatian serta penanganan tersendiri;

Masalah pengawasan dalam rangka penegakkan kedaulatan dan hukum di perairan wilayah Irian Jaya;

Masalah pengamanan obyek-obyek vital, baik di darat maupun di laut;

Mengamankan kekakayan alam dari penguasaan pihak asing;

Persoalan yang menonjol bagi keamanan diperbatasan adalah masalah lintas batas dan ini kurang menjadi perhatian pemerintah. Hampir seluruh daerah perbatasan Negara kita merupakan daerah terbelakang. Akibatnya masyarakat memilih menyebrang/melintas batas ke Negara lain karena kehidupan dan perhatian pemerintah di Negara tetangga lebih baik.

Majelis Rakyat Papua (MRP)

MRP atau Majelis Rakyat Papua adalah sebuah lembaga di provinsi Papua, Indonesia yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. Dalam materi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan MRP.

DPRP berkedudukan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai eksekutif, dan MRP sebagai lembaga representatif kultural orang asli Papua. Sebagai lembaga legislatif, DPRP berwenang dalam melaksanakan fungsi legislatif, yang mencakup (1) legislasi; (2) budgeting (anggaran); (3) pengawasan. Pemerintah provinsi sebagai eksekutif berwenang dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pemberdaya-an masyarakat serta melaksanakan program pembangunan.

Ketua Umum Majelis Rakyat Papua adalah Agustinus Alua, mantan rektor Sekolah Teologi dan Filsafat Jaya Timur, sedangkan wakil ketua umum adalah Frans Wospakrik, mantan rektor Universitas Cendrawasih serta Hana Salomina Hikoyabi.

Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Pembentukan Organisasi Papua Merdeka ini sebagai ekspresi dari sebagaian tokoh-tokoh masyarakat Papua yang ingin merdeka setelah Belanda hengkang dari tanah Papua, sehingga pada tahun 1969 diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang difasilitasi oleh PBB untuk memilih merdeka atau integrasi dengan NKRI, dan mayoritas memilih integrasi dengan NKRI. Akhirnya bagi sebagian tokoh masyarakat Papua yang tidak puas dengan hasil Pepera tersebut melanjutkan misi Organisasi Papua Merdeka.

Nama-nama tokoh OPM yang disebut-sebut saat ini antara lain seperti ; Filep Karma, Saul Bomay, Isak Yapsenang, Murib, Yoweni, Mandacan, Matias Wenda, Kelly Kwalik, Wellem Onde, serta tokoh OPM diluar negeri seperti Seth Rumkorem, Yakop Pray, Moses Werror, Jakop Rumbiak, dan Fred Atamboe.

Informasi & Pendidikan

Layanan pemerintahan di pedalaman Papua nyaris tak tersentuh layanan pemerintahan. Bahkan pendidikan dan kesehatan pun di daerah pedalaman nyaris tak diperhatikan pemerintah. Pemerintah daerah tak punya kemampuan dana dan SDM untuk menjangkau daerah tersebut. Sementara pemerintah pusat sibuk dengan urusan demokrasi dan menjaga citra kekuasannya. Para politisi pun sibuk dengan kepentingan partai serta tak jarang memeras dan mengambil keuntungan dari kepentingan pemerintah daerah yang memerlukan bantuan pemerintah pusat.

Informasi yang ada di daerah perbatasan terkadang tak terjangkau oleh media elektronik nasional. Bahkan masyarakat daerah lebih serinag mendengarkan siaran radio Australia dan radio lainnya ketimbang dari RRI. Akibatnya berita miring yang sering dilansir radio australia menjadi opini yang berkembang dan memprovokasi benih-benih separatis.

Belum lagi ulah para misionaris yang pro asing dan cenderung berkedok dalam aktivitas kemanusiaan namun sejatinya juga memprovokasi gerakan separatis. Gerakan separatis di Papua nyaris tak bisa dihentikan sepanjang masih ada aktivitas para misionaris yang berkedok mengajarkan ajaran kristen namun sekaligus menumbuhkan bibit-bibit separatis.

Langkah Strategis

Sesungguhnya masyarakat Papua sulit disatukan untuk merdeka karena latar belakang kepemimpinan mereka yang begitu banyak dengan sejarah panjang perang suku di antara mereka. Hal ini memerlukan waktu panjang dan dana yang besar untuk mendorong kemerdekaan Papua. Tanpa campur tangan asing, nyaris tak ada peluang untuk merdeka. Namun kekayaan alam yang ada di Papua membua silau para penjajah untuk menguasainya. Inilah celah terkuat untuk mendorong gerakan separatis menuntut kemerdekaan. Sementara kaum separatis sibuk menuntut merdeka dan pemerintah pusat sibuk menanganinya maka Bangsa eropa dan Amerika dengan leluasa penjajah dan penjarah kekayaan alam di tanah Papua. Cantiknya, hal ini akan berlangsung sampai kekayaan alam itu nyaris habis barulah akan didorong untuk merdeka.

Untuk mengantisipasi gerakan separatis maka peran pemerintah harus difungsikan kembali dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Hal terpenting adalah bidang pendidikan dan kesehatan yang selama ini dijadikan dalih para misionaris menjalankan aktivitasnya. Selanjutnya menghentikan aktivitas para misionaris dan menguatkan pemerintah. Jika selama ini masyarakat lebih loyal kepada pihak gereja (misionaris) maka harus dikembalikan kepada pemerintah. Sebaliknya Pemerintah harus independen dan tidak mudah diintervensi pihak asing. Meninjau kembali berbagai aturan dan kesepakatan yang dibuat dengan pihak asing demi kepentingan rakyat, sampai taraf mengganti sistem yang ada.

Hal yang perlu dicermati adalah meninjau kembali berbagai usulan pemekeran daerah yang dapat diduga dan disinyalir untuk menyedot dana dari pusat dan mempersiapkan diri membangun infrastruktur dalam mempersiapkan kemerdekaan. Sebagaimana terjadi di Timor Timur yang sudah menyedot dana amat banyak namun akhirnya merdeka. Saat ini ada berbagai usulan pemekaran yang memang secara kepentingan dibutuhkan tapi juga banyak yang bernuansa kepentingan politis ke depan. Menjadikan manokwari sebagai ibukota provinsi Papua Barat telah terbukti memicu rencana pembentukan kota injil. Sekali lagi ini bagian dari rekayasa para misionaris dan pemerintah untuk meminggirkan umat islam.

Usulan pembentukan provinsi Papua Tengah dan Papua Selatan ini juga perlu dikaji lebih jauh. Sudah ada indikasi bahwa Papua Selatan dengan ibukota Merauke oleh para misionaris akan dijadikan sebagai kota Katolik.. Jika Manokwari sebagai Kota Injil khususnya agama kristen protestan maka Merauke akan dijadikan kota Katholik. Semua ini akan menegasikan umat Islam meski di Manokwari jumlah Muslim dan Kristen berimbang, demikian juga di Merauke. Sementara kota-kota basis Muslim akan terus terpinggirkan seperti Sorong, Fak-fak, Kaimana dll karena tidak dijadikan prioritas kebijakan pembangunan.

Lebih jauh lagi posisi pemekaran provinsi dan kabupaten dapat menguntungkan rencana merdeka karena memacu pembangunan sarana & prasarana yang ada. Pada sisi lain, upaya Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus bergerak. Pada sisi lain, pemekaran justru akan menyulitkan disintegrasi Papua. Hal ini perlu dicermati. Satu hal yang penting dicatat adalah ada kerjasama antara misionaris dengan pihak asing untuk memisahkan Papua dari negeri Muslim Indonesia. Selama ada misionaris, sementara pemerintah tetap tunduk pada pihak asing maka dapat dipastikan upaya disintegrasi di Papua merupakan skenario asing (by designed) bukan secara alamiah. Papua harus menjadi perhatian kaum Muslim. Sebab, upaya disintegrasi sedang terus digelindingkan di sana [Lajnah Siyasi -HTI, 29/7/2008].

9 comments

  1. iman ti bandung

    Jangan
    Lepaskan
    Papua///

  2. papua daerah yang kaya tapi sengsara
    jangan biarkan asing kuasai papua
    di sana masih banyak saudara-saudara kita kaum muslimin
    negara kuat, negara yang berani bersikap atas kekuatan asing

  3. haram hukumnya menyerahkan tanah kaum muslimin kepad orang-orang kafir

  4. Berikan kesempatan kepada saudara-saudara kita di Papua untuk merasakan indahnya ukhuwah islamiyah maupun ukhuwah insaniyah….jangan lepaskan…P…A…P…P..U…A………………ALLAHU AKBAR….Khilafah will be back…insya Allah…

  5. p a p u a is Indonesia, Indonesia is papua

  6. euis citra wulan sari

    ternyata krisis disentgrasi bangsa ini kian marak saatnya kita bersatu untuk melawan kafir

  7. sitti jumilah dano syaifuddun

    mengapa yach……skrng banyak orng yg menutupi2 sejarah asli papua……….

    papua itu bukan sultan yg ke 10 yng temui….

    tp sudah dr sultan ke 2 papua yaitu SULTAN NUKU SYAIFUDIN.
    DAN beliu jga yg menjabat menjadi sultAN tidore karena waktu itu kan papua ibu kotanya kan soa-sio di tidore.

  8. sitti jumilah dano syaifuddun

    agama yang pertama kali masuk di papua itu agama isla n bukan kristen

  9. usitti jumilah dano syaifuddin

    agama yg pertama kali masuk ke papua tuch agama islam……..

    coz yg menjd sultan pertama papua n ke dua papua kan dari tidore……….

    n sultan kedua yaitu sultan nuku syaifuddin………

    n mskX di raja ampat setelah ituy fak2….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*