Indonesia kini genap 63 tahun. Usia yang patut disyukuri karena mencapai rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Namun, masalahnya apakah Indonesia saat ini sudah benar-benar merdeka. Pertanyaan itu layak dilontarkan sebab selama 63 tahun Indonesia merdeka cita-cita kemerdekaan berupa terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera masih jauh dari kenyataan.
Pertanyaan itu mungkin akan terjawab oleh fenomena balap karung yang selalu saja dilombakan tiap 17 Agustusan. Permainan itu sesungguhnya mencerminkan jiwa bangsa.
Balap karung persis menunjukkan perjalanan bangsa Indonesia yang selalu saja kesrimpung. Maklum, nafsu untuk berlari besar tapi tenaga mampat karena kedua kaki terbelenggu (ujung karung). Ironisnya, (karung) belenggu itu kita pegang sendiri kencang-kencang dengan kedua belah tangan.
Kita teriak-teriak, “kita harus bangkit, kita harus mandiri, kita harus bisa bersaing dengan bangsa lain”. Atau kita gembar-gembor “merdeka merdeka!” Tapi, di saat yang sama kita menghamba pada Amerika. Amien Rais mengatakan demikian itu sebagai mental inlander. Lewat bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, ia secara gamblang menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang mayoritas sudah dikuasai asing.
Pengurasan kekayaan alam Indonesia dimulai dengan intervensi terhadap produk hukum RI yang mengizinkan asing menguasai aset nasional nyaris tanpa batas. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform“. Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).
Mengenai kenaikan harga BBM, USAID menyebut keterlibatan Bank Dunia sebagai berikut “Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring.” Jadi betapa telah sangat dalam dan jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia.
Hal itu dipertegas dengan laporan berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM”, yang diterbitkan Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001. Kajian ini ternyata dibiayai AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia. Tentu saja, di sini berlaku hukum tidak ada makan gratis. Kajian tersebut memuat skenario meliberalisasi harga BBM.
Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Jadi begitu hinanya sebuah bangsa yang telah berumur 63 tahun. Namun langkah demi langkah masa depannya digariskan Asing. Terutama Amerika Serikat. Faktanya campur tangan asing itu tak hanya di sektor migas. Tapi, juga di sektor lainnya. RUU Kelistrikan misalnya dibuatkan Bank Dunia. Sedangkan RUU BUMN dibuatkan oleh Price Waterhouse Coopers. RUU SDA, RUU Maritim, RUU BHP, dan regulasi mengenai hajat hidup rakyat juga tak lepas dari intervensi asing.
Pendidikan Hingga Hankam Tunduk pada Asing
Dalam bidang pendidikan sejumlah perguruan tinggi Favorit seperti UGM, UI, ITB, dan IPB sejak 2000, berubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP No 60/1999 dan PP No 61/1999. Kelak, mereka bakal menjadi perusahaan jasa pendidikan murni dengan payung Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdasarkan UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 53 ayat 4.
Darwis SN, pemerhati kebijakan publik yang alumnus University of Adelaide Australia, mengungkapkan, draft RUU BHP sebenarnya dirancang sejak pertemuan “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” di Paris tahun 1998 yang disponsori UNESCO.
Ia merupakan salah satu konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS) WTO yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, dan pendidikan selama hayat.
Bersama Amerika dan Inggris, Australia memang paling getol mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Pasalnya, sejak tahun 1980-an, mereka mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi jasa pendidikan (Ender dan Fulton, Eds, 2002). Pada tahun 2000 saja, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp 126 triliun.
Asing juga dibiarkan mengambil alih perusahaan-perusaahan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti BUMN. Dengan UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkompetisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi “nasionalisasi” dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN.
Tahun ini, Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi (melego) 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya. Privatisasi melalui IPO di bursa efek dan dengan penjualan strategis (strategic sales) langsung kepada investor yang ditunjuk (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).
Inilah privatisasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang dalam kurun 1991 – 2001 telah 14 kali melego 12 BUMN. Pada periode 2001 – 2006, kembali 14 privatisasi menjual 10 BUMN. Sedangkan hanya setahun, pada 2008 ini melego 37 BUMN. Masih pula disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN dijual dengan kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lagi dijual kepada asing.
Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa dikuasai oleh asing. Beberapa BUMN besar yang sudah menjadi perusahaan terbuka dan selalu membukukan keuntungan, antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Bukit Asam Tbk (Tempo Interaktif, 23 Pebruari 2006).
Di sektor perbankan, dengan pasal 22 ayat 1b UU Perbankan, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia.
Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing. Menurut data Biro Riset InfoBank, Singapura merupakan yang paling banyak mengoleksi bank swasta Indonesia, yakni Bank Danamon, BII, Bank NISP, dan Bank Buana.
Tidak termasuk bank campuran, seperti Development Bank of Singapore (DBS) Indonesia, Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Indonesia, dan United Overseas Bank (UOB) Indonesia. Totalnya tujuh bank. Kalau dirunut, kepemilikan Singapura ini perpanjangan tangan dari Temasek Holding.
Sementara di bidang migas, berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001, pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR Hendri Saparini, lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel per hari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas Medco 75 ribu barrel. Itu pun, menurut pasal 22 ayat 1 UU Migas, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barrel per hari. Berdasar UU Migas yang radikal itu, pada 2004 sebanyak 105 perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas. Termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004).
Perusahaan itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Mereka mulai beroperasi setelah pemerintah dua kali menaikkan harga BBM pada 2005.
Di bidang pertahanan-keamanan, kita diatur asing lewat program-program seperti IMET (dengan Amerika), DCA (Singapura), Densus 88 (AS), NAMRU 2 (AS). Proyek NAMRU 2, disebut Koordinator MER-C Dr Jose Rizal sebagai pangkalan militer AS di jantung Indonesia.
Asing juga menguasai bisnis mutiara, pelayaran, jasa perawatan, dan industri petrokimia. Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan dari sekitar 20-an industri petrokimia di Indonesia hanya empat yang dimiliki oleh pengusaha lokal. “Dari 20-an perusahaan petrokimia, hanya empat yang dimiliki lokal. Selebihnya Filipina, Taiwan, dan Korea,” kata Menperin dalam seminar Indonesia Investor Forum 2 di Jakarta (Kapanlagi.com, 31 Mei 2007).
Membebaskan Diri
Tanggal 17 Agustus 2008 bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-63. Namun, peringatan itu menjadi hilang maknanya tatkala melihat kondisi bangsa kita saat ini yang masih memprihatinkan karena diatur dan dikuasai oleh Asing. Melalui bantuan para kompradornya asing terbukti telah menguasai hampir semua kekayaan alam kita. Termasuk mengendalikan arah kehidupan bangsa ini. Sungguh ironis.
Sebagai bangsa yang berdaulat tentu kita tidak ingin terus menerus berada dalam cengkraman asing tersebut. Karena itu bagi bangsa yang terjajah seperti Indonesia ini hanya satu jalan yang layak diupayakan, yaitu membebaskan diri dari penjajahan itu sehingga diraihnya kemerdekaan hakiki.
Kemerdekaan hakiki itu hanya bisa diraih dengan mengganti sistem kapitalis sekuler dengan sistem Islam. Sebab sistem kapitalis sekuler inilah yang terbukti telah melahirkan para pemimpin pembebek dan menghamba kepada materi sehingga rela menggadaikan kekayaan alam di negerinya.
Agar kita bisa membebaskan diri keterjajahan asing maka sekali lagi kita harus kembali kepada sistem Islam. Sistem Islamlah yang nanti akan membebaskan negeri ini dari penghambaan kepada manusia atau materi menuju penghambaan kepada Allah semata. Wallahualamu. (Pendi Supendi)
yuk… bangkit beneran yuuukkk….
yuk… bangun beneran yuuukkk….
so pasti ganti sistem yuk….
Banyak sekali upaya kebangkitan di negeri ini-mulai kemahasiswaan, gerakan sosial, hingga program pemerintah- yang mengatasnamakan “kemandirian nasional”…
.
Sayangnya upaya rekonstruksi yang diusulkan masih banyak sekali yang pragmatis bahkan absurd dan menjauhkan Indonesia dari makna kebangkitan yang hakiki.
Misalnya dibidang energi.
.
Sangat kontras rasanya, slogan “Indonesia Bangkit” yang dielu-elukan kepemerintahan SBY, pada hari kebangkitan nasional kemarin, jika dibandingkan dengan kebijakan energi nasional yang justru menggelar karpet merah pada kapitalis asing.
.
Sungguh aneh!
.
Meminjam bahasa teman “Negeri bangkit macam apa ini?”.
.
Ya, negeri ini BELUM bangkit, HINGGA terterapkannya syariat Islam secara kaaffah dan terformalisasikan dalam daulah khilafah islamiyah, yang akan mengantarkan Indonesia menjadi Negeri Adidaya. Bahkan tidak sekedar Indonesia, pastinya. Amiin.