HTI-Press. Sudah 63 tahun Indonesia merayakan kemerdekaannya. Namun yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia ini sudah benar-benar merdeka. Kalau kita sudah merdeka kenapa kita masih tetap miskin, padahal negeri ini kaya dengan sumber daya alamnya. Untuk mengetahui hal tersebut berikut wawancara Abu Ziad dengan Harist Abu Ulya, ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia beberapa waktu lalu.
Setelah 63 tahun Indonesia berdiri apa benar kita sudah merdeka?
Dari segi penjajahan fisik itu, tidak bisa dibohongi semua orang baik yang awam atau pandai melihat bahwa Indonesia sudah merdeka. Tapi kalau dilihat lebih jauh, setelah 63 tahun kemerdekaannya itu apa benar-benar Indonesia itu sudah merdeka. Bisa dikatakan kenyataannya belum. Contoh yang paling dzohir adalah KUHP yang dipakai masih buatan penjajah. Jadi ketika penjajah pergi, yang ditinggalkan hukumnya. Masyarakatnya di sini akhirnya menggunakan perundang-undangan peninggalan penjajah tersebut. Ini menunjukkan bahwa kita masih berada dalam keterjajahan.
Dalam aspek ekonomi, ternyata yang mengelola sebagian besar sumber daya alam kita bukan bangsa Indonesia sendiri. Tapi negara-negara lain terutama kaum kafir. Sehingga yang menikmati SDA itu bukan bangsa Indonesia sendiri tapi orang-orang Barat, para kapital-kapital Barat. Bahkan mereka makin kuat cengkramannya ketika memiliki umala atau antek-antek, seperti para penguasa dan para politikus yang menggolkan beberapa rancangan UU terkait penanaman modal, dan hal-hal terkait hajat hidup orang banyak.
Dari sisi perpolitikan, sikap para penguasa tampak tidak aspiratif terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat. Ini menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan mereka kepada seluruh lembaga yang ada baik eksekutif, legislatif atau pun yudikatif. Jadi intinya mereka yang menjadi wakil atau representasi rakyat tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat dalam sikapnya. Jadi rakyat ini dari sisi kemerdekaannya di lihat dari segi apa. Sebab apa yang mereka inginkan melalui orang-orang yang dianggapnya pemimpin dia baik yang ada di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, kenyataannya mereka tidak mendapat apa-apa sesuai yang diharapkan. Keterjajahan juga bisa dilihat dari banyaknya intervensi asing yang telah menjadikan Indonesia ini makin terpuruk.
Jadi bukti bahwa kita masih terjajah adalah adanya intervensi asing?
Iya betul. Pada aspek politiknya itu terlihat. Pada aspek ekonominya juga terlihat. Pada beberapa kasus, keputusan-keputusan yang terkait dengan pertahanan seperti perjanjian DCA dengan singapura, ternyata bukannya menjaga kedaulatan tapi malah ini bisa menginjak-injak kedaulatan.
Termasuk dalam kasus Papua begitu?
Dalam kasus Papua, juga kita melihat sekiranya pemerintah Indonesia itu merespon keinginan dari sebagian anggota kongres Amerika, maka ini salah satu bentuk penjajahan juga. Sebab itu mendelegitimasi kedaulatan yang selama ini didengung-dengungkan. Intervensi anggota kongres Amerika atau pemerintahnya bukan hanya dalam kasus upaya disintegrasi Papua, tapi juga dalam persoalan lain, misalnya bagaimana penguasaan sumber daya alam yang besar di Papua oleh mereka. Indonesia dalam hal ini sudah terjajah. Bagaimana tanda tangan itu dikeluarkan sehingga menjadikan Indonesia itu tidak memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Apa semua bidang kita masih dijajah?
Jadi perkara-perkara apa yang disebut kita terjajah bisa dilihat dalam aspek politik, ekonomi, apalagi dalam budaya. Nah ini perkara yang dalam isitilah fikih itu ma’lumun minad diin bidarurah. Cuma jarang orang yang berani mengatakan bahwa ini adalah penjajahan. Benar penjajah Belanda memang telah pergi, penjajah Jepang telah pergi, tapi penjajahan sekarang mengejawantah dalam bentuk lain. Yang selama ini tentu digunakan oleh negara-negara Barat dalam melakukan invansi ke negeri-negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah sehingga menjadikan mereka bertahan hidup. Itu penjajahan dalam bentuk lain. Sebagian besar negeri-negeri muslim dijajah dengan uslub penjajahan politik.
Kalau dulu yang menjajah negeri ini jelas yakni Belanda, Jepang. Sekarang siapa yang menjajah negeri ini?
Ya bangsa-bangsa Barat yang berideologi kapitalisme. Dalam hal ini Amerika Serikat sebagai komandan dengan para sekutunya. Amerika ini menyebarkan ideologi kapitalisme ke seluruh negeri kaum Muslim dengan berbagai uslub seperti kerjasama politik, kerjasama ekonomi, kerjasama militer dan sebagainya.
Tapi tampaknya masyarakat sendiri tidak merasakan bahwa mereka sedang dijajah?
Masyarakat itu baru merasakan dirugikan kalau sandal jepitnya itu diambil dan itu terlihat di depan mata. Kalau kita bicara tentang korupsi, tidak pernah masyarakat merasakan bahwa harta mereka itu dirampok. Masyarakat itu merasa tidak terjajah karena kesadaran politik mereka sangat rendah. Karena itu persoalan-persoalan seperti ini butuh kesadaran, butuh posisi masyarakat yang melek politik sehingga merasakan bahwa mereka itu sedang terjajah.
Riilnya apa yang perlu dilakukan sehingga masyarakat mengetahui keadaan yang sebenarnya?
Ya butuh edukasi secara continue dan simultan. Harus disampaikan dalam proses edukasi itu tentang konstalasi hubungan kaum muslimin di negerinya dan negeri-negeri Barat. Serta apa yang dilakukan Barat yang merugikan kaum muslimin. Juga harus diungkap rencana-rencana jahat mereka.
Kalau begitu peringatan kemerdekaan selama itu telah kehilangan esensinya?
Ya peringatan-peringatan itu hanya sekadar seremonial yang kehilangan esensi dan kehilangan makna yang sebenarnya. Karena barangkali asumsinya mereka sekarang dalam konteks untuk mengisi kemerdekaan. Tapi mereka tidak punya kesadaran, benarkah mereka telah merdeka yang sesungguhnya. Makanya kemudian, ketika seremonial itu menjadi kultur, maka ini merupakan pekerjaan yang berat bagi penyadaran umat bahwa sesungguhnya mereka itu belum merdeka.
Jika dilihat dari perspektif akidah, kemerdekaan yang sesungguhnya seperti apa?
Dalam perspektif akidah atau iman kita, merdeka yang sesungguhnya itu secara personal seperti disampaikan oleh Rab’i bin Amir kepada panglima Rustum. Ketika bertemu, panglima Rustum bertanya kepada Rab’i, Anda datang ke sini membawa apa? Kemudian utusan kaum muslimin ini mengatakan, saya datang kepada kalian untuk membebaskan kalian dari penyembahan hamba kepada hamba menuju penyembahan hamba kepada tuhannya. Melapangkan perkara yang sempit dan menegakkan perkara-perkara yang bengkok atau membuat keadilan dari perkara-perakara yang bengkok. Ini artinya dalam pespektif theologi seperti yang diajarkan Rasulullah SAW bahwa merdeka yang sesungguhnya adalah kemerdekaan ketika menjalankan kehidupan pribadi atau kehidupan publiknya itu bebas dari penghambaan terhadap hamba baik dari konteks individu, keluarga atau masyarakat. Contohnya ketika kita membuat suatu sistem, suatu aturan atau parameter yang jadi acuan untuk kehidupan publik itu sumbernya adalah manusia berarti hamba itu sebagai sesembahannya. Nah seorang muslim itu itu tidak dianggap sudah merdeka sehingga dia menjadikan tuhannya Allah sebagai sumber hukum dari hukum yang ada, atau sumber dari sistem yang digunakan, atau menjadi pijakan atau pondasi dari bangunan suatu kehidupan masyarakat baik individu, keluarga ata negara. Inilah kemerdekaan hakiki yang diajarkan oleh Islam
Yang perlu dilakukan supaya kita bisa meraih kemerdekaan secara hakiki?
Dibutuhkan pemimpin yang berani. Kemudian negara ini harus berdiri di atas ideologi yang benar. Jadi pemimpin yang berani dan ideologi yang jelas ini harus dikombain. Nah bagi kaum muslimin tidak ada pilihan lain kecuali negara ini harus berideologi Islam. Sebab, untuk melawan setiap upaya penjajahan, atau upaya yang mengarahkan kepada pebghambaan seorang hamba kepada hamba yang lain, hanya Islam yang bisa dijadikan spirit. (li)
assalamualaikum bi
gmn kbr abi?ahmed sehat.now abi gi ngapain?