Patent Benih Bertentangan Dengan Syariah Dan Menghambat Kemajuan Pertanian

(M. Anwar Iman, Direktur Agricultural Policy Watch dan Ketua DPP HTI)

HTI-Press. Benih, meski berukuran kecil, memiliki posisi vital dalam usaha pertanian. Dalam sebutir benih, terkandung potensi yang mempengaruhi produksi dalam usaha pertanian. Sebaik apapun lingkungan tumbuh tanaman, dari segi iklim maupun ketersediaan haranya, jika kualitas benih yang ditanam rendah, maka hasil yang didapat juga akan rendah.

Dalam hal produktivitas pertanian, khususnya tanaman pangan dan hortikultura, Indonesia masih jauh tertinggal dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Salah satu penyebabnya adalah kualitas benih yang digunakan. Karakter petani kita, masih banyak yang belum menggunakan benih unggul. Mereka umumnya terbiasa menggunakan benih dari hasil panennya sendiri. Jika kebiasaan ini dipertahankan, akan berpengaruh pada penurunan potensi genetik dari benih itu sendiri. Akibatnya produksi pertaniannya akan semakin merosot. Sebagai contoh untuk padi, menurut Achmad Suryana, Kepala Bandan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, saat ini petani yang menggunakan benih unggul bersertifikat baru sebanyak 35%. Sisanya masih menggunakan benih yang diperoleh dari penanaman sebelumnya.

Mengapa hal ini terjadi? Disamping karena masih lemahnya penyuluhan kepada petani tentang penggunaan benih unggul, juga karena tingginya harga benih unggul tersebut; apa lagi jika berasal dari impor. Jika harga benih biasa hanya sekitar Rp.3,000 – Rp. 5,000 per kg, harga benih unggul bisa mencapai Rp.30,000 – Rp.50,000 per kg. Belum lagi biaya-biaya tambahan yang harus dikeluarkan karena tuntutan perlakuan khusus dari benih unggul tersebut.

Tingginya harga benih unggul disebabkan karena adanya monopoli perusahaan-perusahaan benih. Mereka bisa melakukan monopoli kerena memiliki hak patent atas benih yang dipasarkannya. Jadi, hak petent benih inilah yang telah menjadikan petani kehilangan kedaulatannya, yaitu dengan dikuasainya benih oleh perusahaan agribisnis raksasa seperti Du Pont, Charoen Phokphand, Sygenta, Novartis, Monsanto, Sakata, Bayer, Delta and Pine Land dan anak-anak perusahaan mereka di tingkat nasional.

Bukan hanya itu, hak patent ini pun telah membawa “kurban”. Tukirin dan tetangganya, Suprapto, petani di Nganjuk, Jawa Timur, pada Maret 2005, diseret ke meja hijau, karena dituduh mencuri benih PT. BISI, sebuah perusahaan produsen benih jagung hybrida. Anak perusahaan Charoen Pokphand, konglomerasi usaha input pertanian terbesar di Asia ini, juga menuduh Tukirin melakukan sertifikasi liar atas benih jagung yang mereka patentkan.

Padahal yang dilakukan Tukirin sangat jauh dari apa yang dituduhkan. Ia memperoleh benih yang dijual bebas tersebut secara sah dari penyalur benih resmi. Lewat pengetahuannya tentang budidaya jagung, ia kembangkan benih jagung tersebut agar dapat digunakan sebagai benih. Yang dilakukannya adalah menanam benih jagung BISI yang dibelinya dalam 4 jalur. Ketika jagung-jagung tersebut berumur 3 bulan, dan mulai mengeluarkan serbuk sari, maka 3 jalur jagung dipotong serbuk sarinya. Dia sebut jalur ini jagung betina. Satu jalur jagung tetap dibiarkan serbuk sarinya berkembang, jalur ini dia sebut jagung jantan. Dengan pengaturan ini, maka 3 jagung betina tadi akan mengalami penyerbukan silang dari jalur jantan.

Cara budidaya yang tidak lazim ini ternyata berhasil. Jagung yang dipanen ternyata dapat digunakan sebagai benih dan berproduksi dengan baik. Petani-petani lain yang mengetahui hal ini sangat senang, karena tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli benih. Tukirin lalu membagi pengetahuan dan benihnya tersebut kepada petani lain. Berita tentang hal ini kemudian sampai ke manajemen perusahaan PT. BISI. Mereka khawatir, jika ini berlanjut petani tidak akan bergantung lagi pada benih yang dijualnya. Petugas lapangan PT. BISI pun kemudian terjun ke kebun Tukirin dan memperhatikan ladang jagungnya. Hingga akhirnya perusahaan melaporkan ke polisi dengan tuduhan sertifikasi liar. Ia dicecar dengan tuduhan melakukan pencurian benih induk jagung dari perusahaan dan kemudian menanamnya.

Akhirnya, persidangan memutuskan Tukirin dan Suprapto didakwa melakukan pembenihan illegal menggunakan teknik dari penangkaran benih milik PT BISI Kediri. Dalam putusannya pada tanggal 15 Februari 2005, majelis hakim yang diketuai oleh Makmun Masduki, SH, menyatakan keduanya melanggar pasal Pasal 61 (1) “b” junto Pasal 14 (1) UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Hak Patent; Bentuk Penjajahan Baru

Hak Peten merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Di Indonesia, hak peten di bidang pertanian secara khusus diatur di dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 9 Tahun 2000, tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah hak khusus dari negara kepada pemulia tanaman atau pemegang PVT. Dengan hak khusus ini, pihak pemegang PVT memiliki hak monopoli atas produk benih yang dilindungi oleh PVT. Petani memang masih memiliki hak untuk menggunakan benih dari hasil tanamannya sendiri yang berasal dari varietas yang dilindungi PVT, namun tidak boleh memperbanyak dan menjual, atau meniru hasil temuannya.

Sesungguhnya hak patent adalah ide yang berasal dari ideologi kapitalis. Negara-negara industri kapitalis, telah membuat konvensi Paris pada tahun 1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan hak cipta. Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat beberapa kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan. Kemudian terbentuklah Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau WIPO (World Intellectual Property Organization), yang bertugas mengontrol dan menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan bagi negara-negara yang ingin bergabung dengannya, harus membuat undang-undang terkait, guna mengatur dan melindungi hak kekayaan intelektual.

Undang-undang tentang perlindungan kekayaan intelektual merupakan salah satu cara penjajahan ekonomi dan peradaban yang dilakukan negara-negara kapitalis besar terhadap negara-negara di seluruh dunia dan penduduknya melalui WTO. Setelah negara-negara tersebut berhasil menguasai teknologi, yakni pengetahuan yang berhubungan dengan industri, produksi barang dan jasa, mereka membuat undang-undang agar bisa memonopoli hasil-hasil penemuan tersebut, dan mencegah negara-negara lain mengambil manfaat hakiki dari penemuan itu. Tujuannya, agar negara-negara lain tetap menjadi pasar konsumtif bagi produk-produk mereka dan tunduk di bawah pengaturannya; juga agar mereka bisa mencuri kekayaan dan sumberdaya alam negara-negara kecil atas nama investasi dan globalisasi.

Patent dalam Pandangan Islam

Karya cipta adalah pemikiran atau pengetahuan yang ditemukan seseorang dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya cipta ini adalah pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian atau pertanian, baik dalam hal produksi barang atau jasa.

Dalam hal ini, orang-orang kapitalis menganggap pengetahuan-pengetahuan individu sebagai ‘harta’ yang boleh dimiliki. Sedangkan bagi orang lain yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut dilarang memanfaatkannya, kecuali atas izin pemegang patent dan ahli warisnya, sesuai aturan-aturan tertentu. Misalnya, jika seorang petani membeli benih unggul dari hasil temuan baru yang dipatentkan, maka ia berhak menggunakan benih dari hasil tanaman tersebut, namun dia tidak boleh memperdagangkannya.

Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim ‘kepemilikan’ untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, seperti binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi, dengan cara yang halal. Di sisi lain Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang, seperti khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi seorang Muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang, seperti jual-beli, perdagangan, dan waris; dan mengharamkan sebab-sebab kepemilikan yang bertentangan dengan Islam, seperti riba, judi, jual beli saham, dll.

Kepemilikan dalam Islam, diartikan sebagai ijin Syaari’ (Allah) untuk memanfaatkan barang. Karena itu, hak individu untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari’ untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar’iy, seperti jual-beli dan hadiah. Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara’. Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.

Mengenai kepemilikan individu atas “pemikiran baru”, mencakup dua jenis. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang. Kedua, sesuatu yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.

Apabila kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk dagang yang mubah, maka seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material, karena keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar’iy. Merk dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk membedakan dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untuk mengenal produknya. Seseorang boleh menjual merk dagangnya. Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.

Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket atau pita kaset, maka semua itu adalah milik individu pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam.

Bila ia telah menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar’iy boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku bagi petani yang membeli benih atau bibit, dari hasil penemuan ilmiah. Dia berhak menanam dan memanfaatkan hasilnya untuk benih lagi bagi dirinya atau menjualnya kepada petani lain. Akan tetapi ia tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan) benih tersebut pada selain pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya diharamkan secara syar’iy. Karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlak. Akan tetapi, orang-orang kapitalis telah memfokuskan seluruh aktivitas dan undang-undang mereka untuk meraih nilai materi saja. Nilai materi itu pula yang digunakan sebagai totok ukur (standar) ideologi mereka dalam kehidupan. Bahkan mereka telah mengabaikan nilai-nilai ruhiyyah, insaniyyah (kemanusiaan), dan akhlak yang difitrahkan dalam diri manusia demi meraih nilai-nilai materi.

Jadi, ketentuan-ketentuan dalam hukum positif, yang membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan hak patent, merupakan syarat-syarat yang tidak syar’iy, dan tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, pembeli berhak untuk mengelola apa yang ia miliki dari hasil pembelian tersebut. Setiap syarat yang bertentangan dengan akad syar’iy hukumnya haram, walaupun pembelinya rela meski dengan seratus syarat.

Dari ‘Aisyah ra: “Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya untuk mereka, maka loyalitasmu akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian tuannya menolak dan mensyaratkan agar loyalitas budak tersebut tetap menjadi miliknya. Hal itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.”

Jadi, jika dalam hak patent mensyaratkan bahwa barang yang dijual boleh digunakan sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad jual-beli syar’iy yang memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apapun yang sesuai syar’iy, seperti jual-beli, perdagangan, hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.”

Demikianlah, Islam telah mengatur dengan baik penggunaan hasil-hasil penemuan, yang memungkinkan masyarakat secara luas dengan mudah dapat mengambil manfaatnya, tanpa hambatan proteksi seperti dalam sistem kapitalis. Dengan cara ini, kesejahteraan masyarakat dapat dengan mudah diwujudkan.

Adapun alasan bahwa hak patent diberikan untuk menjamin manfaat ekonomi bagi penemu atau penciptanya, karena yang bersangkutan telah mencurahkan tenaga, pikiran, dan dana yang besar; maka ini terjadi karena dalam sistem kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator. Jadi, negara tidak berkewajiban memberikan kompensasi materi secara langsung kepada para penemu atau peneliti. Karena itu, individu-individu dan perusahaan-perusahaan swasta diberi kebebasan melakukan penelitian-penelitian untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru, dengan sarana dan biaya mereka sendiri. Atas penemuan-penemuan baru yang mereka hasilkan, negara hanya bisa memberikan hak patent, sebagai jaminan perlindungan atas manfaat ekonomi dari hasil penemuan tersebut.

Peran negara seperti ini jelas bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, negara berkewajiban menyediakan sarana-sarana penelitian, seperti laboratorium, dll, dengan segala kelengkapannya. Negara juga bertanggung jawab mendanai proyek-proyek penelitian dan memberikan imbalan yang layak bagi siapa saja yang berhasil menemukan hal-hal baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan cara ini, semangat para peneliti akan terpacu untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru. Sementara di sisi lain, dengan tidak adanya patent, masyarakat akan mudah memanfaatkan hasil penelitian tersebut, sehingga kemajuan dan kesejahteraan bisa diwujudkan. []

9 comments

  1. iman ti bandung

    Islam
    tidak
    mengenal
    Hak
    Atas
    Kekayaan
    Intelektual///

  2. wah subhanallah.. penjelasannya cukup lugas..

    memang benar paradigma ekonomi hak paten itu hanyalah produk zaman kapitalisme.. Jika Islam diterapkan, niscaya tidak akan ada lagi kekhawatiran akan ketidakadilan bagi para pengembang Ilmu Pengetahuan.. karena epistemologi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam itu sangat berbeda dengan kapitalisme..

  3. ini yang aku tunggu2… ternyata datang juga… jazakallah ust

  4. Tanya : Apa bedanya akad & syarat ? Bila salah satu atau beberapa syarat rusak dalam suatu perjanjian, apakah otomatis merusak akad ? Solusinya apa ?

  5. Paragraf terakhir sangat menarik.. Subhanallah, saya yakin ketika khilafah tegak akan muncul scientist2 muslim yg hebat, yang ilmunya benar2 bermanfaat dan berkah.. ayo, kita siapkan dari sekarang!

  6. Yup. Setuju! Petani bisa berinovasi sekreatif mungkin, asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

  7. semakin mengerti,memang kapitalisme menghalalkan semua yang haram dari Syariah Islam demi materi. Dan hak cipta salah satu sarana penjajahan,merugikan negeri2 kaum muslimin. Sampai kapan ya penguasa kaum muslimin ini mau melepaskan diri dari kapitalisme dan mendukung Khilafah Islamiyyah???

  8. hanif mudzakkir

    Subhanallah ustadz…
    ana mau tanya nih bagaimana membuat pemahaman kepada para petani agar mau mengenal bahkan ingin mengaplikasikan sistem politik pertanian dalam islam? ana seorg penyuluh pertanian dan ana sedikit tahu bahwa sektor pertanian itu dekat sekali dengan hal – hal yang haram, mohon infonya ust, jzkmllah

  9. Subhanallah, konsep Islam IS THE BEST
    Konsep Kapitalisme Merusak Kehidupan……….
    AAAAAyyyyooooooooo TEGAKKAN ISLAM HANCURKAN KAPITALISME
    ALLAHU AKBAR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*